#OscarSoWhite - ilustrasi: theoscarbuzz.blogspot.com |
Jauh sebelum Oscar 2016 dihelat,
pada saat nominasi diumumkan isu rasisme berhembus. Banyak artis Hollywood
melihat ketimpangan jumlah nominee yag berasal dari mereka yang colored-skin. Dominasi ras
Kaukasus menjadi kentara. Banyak artis yang mencoba memboikot Oscar. Artis
Hollywood bereaksi. Digawangi Jada Pinkett Smith (istri Will Smith) dan seorang
aktifis kemanusiaan Al-Sharpton, pemboikotan Oscar dibuat. Beberapa nominee
Oscar pun sadar hal ini. Brie Larson (The Room) dan Mark Ruffalo (Spotlight)
pun turut serta dalam pemboikotan. Walau kedua orang ini nyata hadir saat
perhelatan Oscar.
Kontroversi
rasisme Oscar pun berlanjut saat acara tersebut berlangsung. Setelah jagad
netizen memberikan tagar #OscarSoWhite, pada hari-H Chris Rock pun secara
frontal (tapi nyleneh)
menyinggung hal ini. Sebagai host Oscar pada malam itu, Chris Rock langsung
menohok. Ia membuka dengan berucap "I'm
here at the Academy Awards. Otherwise known as White People Choice Awards."
Bukan cuma pembukaan yang cetar. Chris Rock pun menambahkan "You're damn right Hollywood's racist,
but not the racist that you've grown accustomed to. Hollywood is sorority
racist. It's like, 'We like you, Rhonda, but you're not a Kappa.'
Banyak artis bertepuk tangan. Bagi mereka yang menjadi 'korban' dalam ucapan
Chris Rock mungkin mendukung. Tapi entah bagi mereka yang mungkin 'rasis'.
Gurita
Rasisme Hollywood yang Telah Menjadi Kraken
Apa yang
terjadi? Mengapa jurang rasial sangat besar di piala Oscar?
Dari
sebuah studi yang dilakukan Los Angeles Times di tahun 2012 badan Oscar
sendiri, The Academy of Motion Pictures, terdiri dari 94% orang kulit putih dan
77% pria. Walau secara psikologis pilihan atas kulit putih oleh badan ini masih
tentatif, namun nominee dari Oscar tiap tahun terulang. Dari 20 nominasi Oscar
2016, 20 diantaranya ditujukan untuk aktor dan aktri kulit putih. Walau
nominasi Golden Globe untuk Afro-American sebenarnya tidak kalah menarik.
Contohnya Idris Elba (Beasts of No Nation) dan Will Smith (Concussion), namun
mereka tidak sama sekali dinominasikan.
Permasalahan
pelik rasial di Oscar sebenarnya lebih holistik. Menurut Whoopi Goldberg,
rasisme di Hollywood terjadi dalam sistem perfilmannya sendiri. Pada wawancara
Entertainment Tonight, Goldberg mengajukan pertanyaan "How many black films are being
produced each year? How are they being distributed?" Menyadur
pertanyaan Goldberg, Viola Davis mengutarakan hal yang serupa. Menurutnya,
Oscar bukan menjadi masalah peliknya. Oscar hanyalah gejala dari penyakit yang
lebih besar. Dan sekarang adalah kesempatan untuk membuat pernyataan. Sebuah
perubahan sosial tambahnya.
Leonard DiCaprio Oscar Meme - ilustrasi: randomoverload.org |
Namun nampaknya isu ini tertutupi
euforia kemenangan Leonardo DiCaprio.
Setelah
menunggu 2 dasawarsa lebih, DiCaprio (The Revenant) akhirnya membopong Oscar
pertamanya. Dinominasikan sebagai Best Actors, ternyata impiannya menjadi
kenyataan. Dunia pun bergempita. Meme yang dulu mengolok-olok DiCaprio akhirnya
mencapai ejakulasinya. DiCaprio akhirnya mendapat 1 piala Oscar. Filmnya yang
dibintanginnya pun menyabet gelar bergengsi untuk The Best Director. Nampaknya
DiCaprio benar-benar bisa berbangga hati.
Dunia
netizen pun gempar. Tagar #LeonardoDiCaprio plus #Oscar pun menjadi trending.
Meme DiCaprio memegang Oscar pun diimbuhi beragam caption. Mulai dari ucapan
selamat sampai (kembali) nyinyir atas terpilihnya DiCaprio sebagai aktor,
ditulis dalam meme. Media dalam dan luar negri pun memberitakan kemenangan
DiCaprio dengan 'lebay'. Tak lupa acara gosip di negri kita pun turut rembug
kelebayannya memberitakan hal ini. Dan jarang yang benar-benar mengkritisi isu
rasisme dibalik Oscar itu sendiri.
Rasisme Oscar
dan Kita Orang Indonesia
Sepertinya
karena orang Indonesia sudah biasa melihat film bule, yang menang kaum Kaukasus
adalah wajar. Jika yang menang orang Afro-American, ya cukup selamat saja.
Tidak begitu ngeh kontroversi dibaliknya. Pun, banyak yang merasa rasisme di
Amerika Serikat tidak berpengaruh banyak ke Indonesia. Tapi tahukah kita, bahwa
superioritas kaum Kaukasus dalam film menjadi racun dalam kepala orang
Indonesia. Karena film Hollywood begitu wah, hebat, high-tech dengan
aktor-aktris 'sempurna', bawah sadar kita begitu teracuni superioritas ras
Kaukasus.
Buktinya,
lihat saja betapa senang orang kita berfoto dengan 'bule'. Kalau sudah berambut
pirang, kulit pucat, dan berbahasa asing, pokoknya minta untuk berfoto bareng.
Betapa bangga dan pongahnya orang kita seusai berfoto dengan si bule.
Disebarlah di sosial media mereka. Walau entah siapa bule tadi. Artiskah? Atau
wisatawan biasa? Kalau sudah berfoto dengan bule ada 'kebanggaan' tersendiri.
Beda rasanya jika berfoto dengan orang asing yang colored skin.
Inilah
superioritas yang begitu subliminal merasuk dalam fikiran kita. USA sebagai
negara adikuasa tidak sekadar omong kosong. Dari semua segi, USA memanfaatkan
citranya. Dengan film pun demikian. Dengan film yang sulit disaingi negri sendiri,
Hollywood menjadi silent weapon khusus. Terutama negara ketiga seperti kita.
Supremasi ras tertentu yang dibalut apik dengan hiburan dan bisnis nampaknya
tidak terasa. Apalagi isu rasisme didalamnya.
Referensi: cnn.com | time.com | theguardian.com
Salam,
Solo, 07 Maret 2016
12:54 am
(Reblog dari Kompasiana disini)
0 Comments: