Monday, March 7, 2016

Piala Oscar 2016: Supremasi Kulit Putih, Penantian DiCaprio dan Kita

#OscarSoWhite - ilustrasi: theoscarbuzz.blogspot.com
Jauh sebelum Oscar 2016 dihelat, pada saat nominasi diumumkan isu rasisme berhembus. Banyak artis Hollywood melihat ketimpangan jumlah nominee yag berasal dari mereka yang colored-skin. Dominasi ras Kaukasus menjadi kentara. Banyak artis yang mencoba memboikot Oscar. Artis Hollywood bereaksi. Digawangi Jada Pinkett Smith (istri Will Smith) dan seorang aktifis kemanusiaan Al-Sharpton, pemboikotan Oscar dibuat. Beberapa nominee Oscar pun sadar hal ini. Brie Larson (The Room) dan Mark Ruffalo (Spotlight) pun turut serta dalam pemboikotan. Walau kedua orang ini nyata hadir saat perhelatan Oscar.

Kontroversi rasisme Oscar pun berlanjut saat acara tersebut berlangsung. Setelah jagad netizen memberikan tagar #OscarSoWhite, pada hari-H Chris Rock pun secara frontal (tapi nyleneh) menyinggung hal ini. Sebagai host Oscar pada malam itu, Chris Rock langsung menohok. Ia membuka dengan berucap "I'm here at the Academy Awards. Otherwise known as White People Choice Awards." Bukan cuma pembukaan yang cetar. Chris Rock pun menambahkan "You're damn right Hollywood's racist, but not the racist that you've grown accustomed to. Hollywood is sorority racist. It's like, 'We like you, Rhonda, but you're not a Kappa.' Banyak artis bertepuk tangan. Bagi mereka yang menjadi 'korban' dalam ucapan Chris Rock mungkin mendukung. Tapi entah bagi mereka yang mungkin 'rasis'.

Gurita Rasisme Hollywood yang Telah Menjadi Kraken

Apa yang terjadi? Mengapa jurang rasial sangat besar di piala Oscar? 

Dari sebuah studi yang dilakukan Los Angeles Times di tahun 2012 badan Oscar sendiri, The Academy of Motion Pictures, terdiri dari 94% orang kulit putih dan 77% pria. Walau secara psikologis pilihan atas kulit putih oleh badan ini masih tentatif, namun nominee dari Oscar tiap tahun terulang. Dari 20 nominasi Oscar 2016, 20 diantaranya ditujukan untuk aktor dan aktri kulit putih. Walau nominasi Golden Globe untuk Afro-American sebenarnya tidak kalah menarik. Contohnya Idris Elba (Beasts of No Nation) dan Will Smith (Concussion), namun mereka tidak sama sekali dinominasikan.

Permasalahan pelik rasial di Oscar sebenarnya lebih holistik. Menurut Whoopi Goldberg, rasisme di Hollywood terjadi dalam sistem perfilmannya sendiri. Pada wawancara Entertainment Tonight, Goldberg mengajukan pertanyaan "How many black films are being produced each year? How are they being distributed?" Menyadur pertanyaan Goldberg, Viola Davis mengutarakan hal yang serupa. Menurutnya, Oscar bukan menjadi masalah peliknya. Oscar hanyalah gejala dari penyakit yang lebih besar. Dan sekarang adalah kesempatan untuk membuat pernyataan. Sebuah perubahan sosial tambahnya.

Leonard DiCaprio Oscar Meme - ilustrasi: randomoverload.org

Namun nampaknya isu ini tertutupi euforia kemenangan Leonardo DiCaprio.

Setelah menunggu 2 dasawarsa lebih, DiCaprio (The Revenant) akhirnya membopong Oscar pertamanya. Dinominasikan sebagai Best Actors, ternyata impiannya menjadi kenyataan. Dunia pun bergempita. Meme yang dulu mengolok-olok DiCaprio akhirnya mencapai ejakulasinya. DiCaprio akhirnya mendapat 1 piala Oscar. Filmnya yang dibintanginnya pun menyabet gelar bergengsi untuk The Best Director. Nampaknya DiCaprio benar-benar bisa berbangga hati.

Dunia netizen pun gempar. Tagar #LeonardoDiCaprio plus #Oscar pun menjadi trending. Meme DiCaprio memegang Oscar pun diimbuhi beragam caption. Mulai dari ucapan selamat sampai (kembali) nyinyir atas terpilihnya DiCaprio sebagai aktor, ditulis dalam meme. Media dalam dan luar negri pun memberitakan kemenangan DiCaprio dengan 'lebay'. Tak lupa acara gosip di negri kita pun turut rembug kelebayannya memberitakan hal ini. Dan jarang yang benar-benar mengkritisi isu rasisme dibalik Oscar itu sendiri.

Rasisme Oscar dan Kita Orang Indonesia

Sepertinya karena orang Indonesia sudah biasa melihat film bule, yang menang kaum Kaukasus adalah wajar. Jika yang menang orang Afro-American, ya cukup selamat saja. Tidak begitu ngeh kontroversi dibaliknya. Pun, banyak yang merasa rasisme di Amerika Serikat tidak berpengaruh banyak ke Indonesia. Tapi tahukah kita, bahwa superioritas kaum Kaukasus dalam film menjadi racun dalam kepala orang Indonesia. Karena film Hollywood begitu wah, hebat, high-tech dengan aktor-aktris 'sempurna', bawah sadar kita begitu teracuni superioritas ras Kaukasus.

Buktinya, lihat saja betapa senang orang kita berfoto dengan 'bule'. Kalau sudah berambut pirang, kulit pucat, dan berbahasa asing, pokoknya minta untuk berfoto bareng. Betapa bangga dan pongahnya orang kita seusai berfoto dengan si bule. Disebarlah di sosial media mereka. Walau entah siapa bule tadi. Artiskah? Atau wisatawan biasa? Kalau sudah berfoto dengan bule ada 'kebanggaan' tersendiri. Beda rasanya jika berfoto dengan orang asing yang colored skin.

Inilah superioritas yang begitu subliminal merasuk dalam fikiran kita. USA sebagai negara adikuasa tidak sekadar omong kosong. Dari semua segi, USA memanfaatkan citranya. Dengan film pun demikian. Dengan film yang sulit disaingi negri sendiri, Hollywood menjadi silent weapon khusus. Terutama negara ketiga seperti kita. Supremasi ras tertentu yang dibalut apik dengan hiburan dan bisnis nampaknya tidak terasa. Apalagi isu rasisme didalamnya.

Referensicnn.com | time.com | theguardian.com

Salam,

Solo, 07 Maret 2016

12:54 am
(Reblog dari Kompasiana disini)

Author:

0 Comments: