Wednesday, October 12, 2016

Frasa "Itu Karena" yang Selalu Dihilangkan di Iklan

Frasa "Itu Karena" yang Selalu Dihilangkan di Iklan

Thinker


Iklan televisi tidak menggunakan logika kausatif. Yang ditekankan adalah akibat, bukan sebab. Contohnya sederhana, hanya kita saja mungkin yang tidak ngeh selama ini. Contoh:

Iklan susu formula yang menggambarkan anaknya bernyanyi. Lalu orang-orang disekitarnya senang dan bertepuk tangan.
Akibat: si anak berani bernyanyi di hadapan umum
Sebab: nil 

Lalu tanpa dinyana dan dikira, ditayangkanlah merek susu formula. Dibahaslah pentingnya nutrisi bagi si kecil. Alih-alih menggambarkan sebab si anak berani bernyanyi. Yang ditekankan seolah-olah susu formulanya yang membuat demikian. Berani bernyanyi tidak hanya dikontribusi nutrisi saya kira. Peran ortu dan oran sekitar pada ranah psikologis dan afektif anak juga menjadi pendorong. 

Jadi, frase 'itu karena' tidak pernah disebutkan dalam iklan. Iklan kosmetik pun demikian. Si A itu cantik bukan karena A itu cantik. Tapi karena produk B, yang membuatnya demikian. Juga dengan iklan provider atau TV kabel pun sama tekniknya. Kalau mau komunikasi lancar bukan karena jaringan bagus. Itu karena ada biaya lagi yang harus ditambah. Iklannya wow, tapi kadang faktanya low.

Adapun dalih 'tapi karena' hilang dengan substitusi 'syarat dan ketentuan berlaku'. Biasanya di iklan cetak banyak dicetak dengan tanda asterik (*). Tanda ini kadang begitu kecil dibawah kata gratis/diskon/sale/promo, dll.

Kadang memang tanda (*) dilengkapi keterangan cukup panjang dan bertele-tele. Yang memang membuat orang yang membacanya malas. Di iklan kosmetik/perawatan tubuh, biasanya ada tulisan kecil di bawah layar. Yang bahkan TV 64 inchi tidak bisa membacanya. Selain samar, keterangan ini mungkin muncul seperseratus detik. 

Lalu apa yang menjadi fokus iklan selain produknya adalah feeling. Manusia adalah mahluk virtual. Akan mudah takjub dengan apa yang dilihat. Lalu dirasakan di dalam hati. Saat hati senang, keputusan yang cenderung impulsif dibuat. Keputusan ini biasanya didorong kegembiraan atau sensasi yang dilihat dan dirasa. Tidak heran visualitas iklan akan selalu menarik perhatian. Dalam durasi 15-30 detik kita dibuat terpesona, sedih, tertawa, terinspirasi, dll. Ada perasaan yang distimulasi. Bersamaan dengan ini mereka menyusupi pikir kita 'ini lho produk kami yang bisa bikin pesona, tawa, inspirasi, dll'. 

Tanpa sebab yang harus dilihat dan ditelaah; kenapa seorang model bisa cantik, anak bisa sehat, badan pria itu bisa atletis, orang-orang terlihat nikmati makan, dll. Iklan tidak perlu menunjukkan ini. Jika ditunjukkan bisa saja iklan malah jadi film dokumenter. Menjual produk dengan efektif dengan menyentuh sisi afektif adalah kunci. Sehingga keputusan atas dasar sensasi bisa dibuat.

Itu karena menjadi keputusan yang harus kita buat. Logika yang harus benar-benar disadur sebelum kita pergi tidur. Benar tidak anak saya berani bernyanyi karena susu formula? Kenapa Chelsea Islan yang sudah cantik harus didandani untuk iklan produk kosmetik? Apa benar para model pria ber-sixpack itu minum susu biar seperti itu? Apa benar ada jaringan 4G di daerah kaki gunung seperti desa saya?
Artikel lain dari saya:
  1. Tiga Elemen Pengecoh pada Iklan Produk Kosmetik
  2. Iklan-iklan Rokok yang Tayang Semaunya (Kembali)
  3. Menelanjangi Iklan LA Light Cari yang Kerja
Salam,

Wollongong, 12 Oktober 2016

03:32 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)

Wednesday, June 29, 2016

Bahagia Kekinian Dilegitimasi Media Sosial

Bahagia Kekinian Dilegitimasi Media Sosial

Happiness - ilustrasi: macleans.ca
Meng-upload foto makan siangmu di Instagram. Puluhan like dari teman pun datang di notifikasi. Hatimu merasa bahagia bukan main. Upload-lah foto keluargamu berpiknik di Bali. Like dan komentar pun membubuhi foto wisata tadi. Sambil menyungging senyum, kamu balas komentar. Lalu, update statusmu di BBM saat kamu berbuka puasa Senin-Kamis nanti sore. Saat teman di kontakmu memberi komen dan jempol, tambah khusyuk kamu berbuka. Sepertinya.

Bukankah bahagia itu sederhana. Namun, era kekinian membuat bahagia kian kompleks. Bahagia harus dibagi. Share button menjadi kebutuhan primer di medsos. Seolah, seseorang belum benar-benar bahagia jika orang lain belum tahu. Belum sah bahagia memiliki mobil baru kalau foto unggahan mobil baru belum di-like di Facebook. Belum bahagia jika foto anak dengan sepeda barunya belum menjadi DP di BBM. Sebegitu sulitkah bahagia di era kekinian?

Terlepas dari rasa unjuk diri atau arogan, kita semua ingin eksis dengan ceria. Dengan dasar yang kadang begitu klise. Hanya berbagi kebahagiaan agar orang lain bisa termotivasi. Tidak pernah terbersit rasa sombong atau pamer harta di foto-foto Facebook. Semua hanya bagian dari berbagi kesyukuran mendapat harta titipan yang lebih dari cukup. Semoga yang teman-teman lain bisa lebih terpacu berusaha. Ah, masih rumit sekali merasakan kebagiaan era kekinian.

Saat legitimasi bahagia menjadi ranah kuasa orang lain, masihkah bisa disebut rasa bahagia? Saat tidak ada orang yang me-like atau berkomentar foto prewed-mu di Instagram, apa kamu rasa berbeda? Temanmu tidak pedulikah? Temanmu tidak mau tahukah hari berbahagiamu berdua dengan calon istrimu? Tapi setidaknya, kamu sudah mengunggah foto prewed-mu. Resahmu pada foto tanpa like menggantikan resahmu berucap janji depan penghulu. 

Rumit sekali meresapi rasa bahagia jika ada medsos menjadi perantaranya. Medsos mengobral momen berbahagiamu dengan orang lain. Secara tidak sadar, momen itu menjadi milik bersama. Dalam share button pada aplikasi medsos menjadi plakat kematian bahagiamu. Karena rasa bahagia yang kamu impi dan nanti saat sudah terbagi, maka kekhawatiran yang muncul. Resah menanti like, RT, komentar, double tap, dll yang fana. Namun begitu nirvana rasa bahagia berbagi di medsos itu di era kekinian.

Bukankah rasa bahagia itu sederhana? Saat yang merasa bahagia saya sendiri yang mendapat kenaikan promosi kerja, rayakan. Memaknai bahagia jauh di dalam batin saat dipromosikan, adalah esensi bahagia. Lalu bagikan bahagia ini bersama keluarga dan teman. Bahagia memang boleh dibagi. Namun tidak untuk diobral. Ada kegugupan rasa akan rasa bahagia jika banyak orang yang tahu. Perdulikah mereka? Banggakah mereka? Penasarankah mereka?

Rasa bahagia tidak untuk dibalut keresahan yang begitu inklandestin. Sampai legitimasi salah kaprah ini menjadi shared-ground di era kekinian.Saat banyak keresahan ini berkumpul di satu media bernama medsos, legitimasi bahagia ini bukan menjadi masalah. Epidemi penjangkitan bahagia berbalut keresahan ini pun begitu halus masuk ke kepala. Akhirnya, mereka sebut ini trend. Kalau tidak ikut trend, bisa-bisa dianggap katrok. Legitimasi berbahagia ala kekinian pun menjangkiti.

Salam,

Solo, 29 Juni 2016

05:00 pm 
(Reblog dari Kompasiana disini)

Wednesday, May 18, 2016

Jenis-Jenis Senyum di Lampu Merah

Jenis-Jenis Senyum di Lampu Merah

(ilustrasi: news.com.au)
ilustrasi: news.com.au
Lampu lalulintas, lampu merah, bangjo, apapun sebutannya menjadi alat pengatur keselamatan berkendara yang penting. Ia mengatur persimpangan padat agar kendaraan bergantian melintas dengan teratur. Ditambah dengan timer agar pengendara bisa waspada dan ancang-ancang. Karena kadang lampu kuning (oranye) tidak berguna menyimbolkan aba-aba baik untuk berhenti atau bersiap-siap jalan. Lampu kuning berarti jalan atau terobos saja. Banyak orang menanti dan mengejar lampu hijau. 

Namun, banyak orang gerah dan mrengut jika mendapati lampu merah. Namun, tahukah Anda ada senyum yang tersungging saat lampu merah menyala. Beberapa pengendara seolah 'senang' menemui lampu merah menyala. Seolah dengan berhenti ada momentum yang patut dirayakan dan dinikmati. Bahkan, dari senyum pun ada yang berlanjut ke canda ceria di lampu merah. Ada pengendara juga yang mengurai senyum agar tidak ada rasa gundah. Ada pula yang senyumnya, dipaksakan. Senyumnya senyum jujur karena hal yang membuatnya harus jujur.

1. Senyum Sepasang Kekasih Inilah senyum yang begitu tulus terurai saat lampu merah menghentikan mereka. Baik di motor maupun mobil, lampu merah ada momentum bertutur mesra dengan singkat dan padat. Kekasih di atas motor tentunya akan menikmati tiap detik timer di lampu merah. Karena saat motor melaju, sulit berucap dengan posisi belakang depan. Saat lampu merah, setidaknya si pacar di bangku belakang bisa lebih mendekat. Lalu mulai berkata dengan lebih natural, mungkin juga mesra. 

Sepasang kekasih di dalam mobil, mungkin inilah waktu saling pandang. Melihat rona merah di pipi sang perempuan yang coba digoda pacarnya. Mungkin saja, timer 120 detik tidak terasa bagi mereka yang dimabuk asmara. Ngobrol, bertukar senyum dan pandangan bisa berlanjut ke canda kecil. Lampu merah adalah momentum yang mungkin dinanti. Bukan untuk tidak disenangi. Berhenti sejenak di lampu merah adalah cara sepasang kekasih menunda waktu berpisah. 

2. Senyum Orang Kepada Anaknya Ada pula pengendara yang membawa anaknya, akan berusaha menyungging senyum. Senyum ini tak lain adalah makna bahwa ada pelajaran yang penting di lampu merah. Dengan menaati warna lampunya, maka keselamatan pun bisa terjamin. Ada pula, orangtua yang saat berhenti memberi senyum agar anaknya bersabar. Entah bersabar untuk sampai rumah atau bersabar mendapat sesuatu di tempat yang mereka tuju. Orangtua akan lebih bisa bersabar daripada sang anak. 

Orangtua pun, lebih memilih tersenyum kepada anaknya yang masih kecil agar bisa menyimak pelajaran penting di lampu merah. Senyum yang dibuat berbeda dengan tipe senyum yang pertama. Senyum yang dibuat bukan untuk menunda, tapi lebih bertujuan memberi edukasi atau 'penenang'. Tidak terbayangkan jika banyak orangtua yang tidak sabar dan menerobos lampu merah. Atau malah marah-marah mendapati dirinya berhenti di lampu merah. Memberi contoh buruk untuk anak. Bahwa lampu merah adalah hambatan. Bahwa lampu merah adalah masa untuk marah-marah. 

3. Senyum Jujur Ketika Ditilang Yang ketiga, adalah senyum yang jujur. Senyum yang tersungging karena ada salah yang dibuat. Senyum yang jujur sekali datang dari hati. Senyum yang benar-benar menunjukkan kepasrahan total akibat perilaku buruk yang dibuat. Anda mungkin lihat orang yang nekat nylonong menembus lampu merah. Tiba-tiba ada polisi yang menghadang di depan. Atau ketika lampu merah, ada polisi yang menghampiri motor seorang pengendara karena tidak memakai dua spion. 

Senyum yang tercipta adalah senyum pasrah meratapi nasibnya yang kena tilang. Senyum yang sebaiknya jangan Anda coba tiru saat di lampu merah. Walau kadang polisi tidak berjaga di pos dekat lampu merah. Atau memang tidak ada polisi atau posnya, senyum model ini akan datang kepada yang melanggar di satu masa. Mereka yang melanggar rambu setiap kali, hanya menumpuk karma yang mungkin terjadi di masa depan. 

Dan, satu senyum lagi adalah senyum dari saya. Mengamati senyum-senyum yang ada di lampu merah kadang membuat saya tersenyum. Betapa dinamis dan berwarna lampu merah ini. Walau banyak yang mengeluh di lampu merah, ada juga aura senyum yang mungkin bisa Anda amati. 
Salam,

Solo, 18 Mei 2016

07:30 am
(Reblog dari Kompasiana disini)

Wednesday, February 24, 2016

Harta, Tahta, dan Perempuan

Harta, Tahta, dan Perempuan

(Sexism - ilustrasi: blogs.bath.ac.uk)

Banyak orang, bahkan saya sendiri, mungkin aneh membaca judul 'Harta, Tahta dan Perempuan'. Kebanyakan dari kita akan langsung menyandingkan kata 'Wanita' setelah 'Harta dan Tahta'. Karena toh sudah menjadi konvensi bersama dan demi keserasian rima ' a-a-a' maka 'Wanita' tepat dirasa. Sebuah konsensus yang secara tidak sadar menjadi peng-iyaan bersama untuk istilah tersebut. Atau demi estetika rima, kata 'Wanita' akan lebih klop. Namun tidak dengan kata 'Perempuan'. Yang secara konsensus tidak umum dan secara ritmik mengganggu estetika rima.

Lalu apa salah dengan kata 'Wanita' atau 'Perempuan'? Mungkin itu yang akan coba Anda pertanyakan? Tidak ada yang salah, secara rima dalam kata 'wanita'. Namun yang coba saya garis bawahi adalah betapa sebuah konvensi kata 'wanita' atau 'perempuan' itu sudah wajar. Bahkan Anda yang kebetulan perempuan, membaca dan memahami kata 'wanita' sebagai salah satu kata ganti adalah wajar demikian. Namun sadarkah kita, jika kita sudah tidak dengan sengaja mengaplikasikan pemahaman sexist?

Wanita atau dalam etimologi Jawa berasal dari kereta-basa 'wanita = wani ditoto' (berani ditata). Mensimbolisasikan wanita sebagai 'subornasi' dari sesuatu yang menatanya. Dengan kata lain, kaum pria adalah yang menata. Dalam budaya partriarki, hal ini diangap innate atau dari sananya. Atau secara morfologis, kata 'wanita' sendiri tersirat kepriaan di dalamnya. Jika mengacu akhiran pada kata 'dermawan dan dermawati' maka imbuhan -wan mengacu pria. Maka tamsilannya, kata 'wanita' terdiri atas kata wan-ita. Dalam hal ini, acuan pria tetap ada. Hal ini juga terjadi di bahasa Inggris dalam mengacu kata ganti she. Dimana kata she tetap memiliki unsur maskulin s-he. Atau kata lain seperti female (femme-male), woman (wyf-man/wife-man) adalah beberapa contoh lain.

Bahasa Sexist, Tersirat dan Tersurat

Kajian metaforis kata 'she' dalam bahasa Inggris telah memicu kontroversi demikian panjang. Sehingga muncullah gerakan anti-sexist yang mencoba mencerabut dominasi pria dalam bahasa. Mungkin sampai ada yang mewacanakan menggati kata 'history' sebab ada possesesive pronoun (kata ganti kepunyaan) his- dalam history. Wacana yang kemudian didukung pergerakan femisme tahun 1970-an di Amerika. Dan sampai sekarang ekuilubrium yang coba dicari penganut feminis terus dibenturkan dengan kultur partriarkal. 

As we saw in discussing seminal, metaphorical etymologies that are no longer transparent -- metaphors that are not only dead but also obscured by changes in form -- can be interesting evidence of past attitudes but generally do not have a lot to do with the significance of current uses. But transparent metaphors, even if dead and not revivified in some way, can indeed still reinforce the kinds of conceptual connections that motivated their initial uses. (Ecker & McConnell-Ginet: 2003)

Dalam membahas etimologi seminal, atau metafora yang tidak lagi terlihat, menjadi bukti masa lampau yang tidak begitu berpengaruh saat ini. Namun metafora transparan, bahkan jika sudah tidak ada atau dikembalikan, tetap memiliki kaitan konseptual yang lalu mendorong penggunaan awal.

Mari kita kembali dalam konteks 'wanita' dan 'perempuan' diatas. Kedua kata ini memiliki 'kasta' dalam bahasa Melayu. Kata wanita lebih tinggi daripada perempuan. Karena merunut pemahaman 'perempuan' menurut KBBI adalah 1) orang (manusia) yg mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui. Karena puki sendiri mengacu kepada organ genital wanita. Dan mungkin dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia, kata ini sudah cukup deregatoris. Sedang 'wanita' sendiri adalah salin-suara dari wani ditoto dalam bahasa Jawa.

Sehingga, 'perempuan' sendiri memiliki metafora seminal yang mungkin bagi banyak orang tidak menyadari arti implisit. Dan kaitannya dengan istilah konsensus pun dianggap netral. Atau setidaknya baik-baik saja. Sedang metofora transparan dalam kata 'wanita' sendiri menimbulkan pemahaman yang jika sudah bisa difahami secara literal morfologis, terlihat maknanya. Dan bisa saja, tingkat 'kasta' yang terjadi bisa sebaliknya. Perempuan lebih tinggi dibanding wanita.

Sehingga istilah wanita dan perempuan pun dicopot pasang dalam bidang pemerintahan. Pada tahun 1987 sampai 1999 ada Mentri Peranan Wanita untuk kemudian diganti Mentri Pemberdayaan Perempuan pada 2001. Untuk kemudian diganti kembali menjadi Mentri Pemberdayaan Wanita tahun 2004. Lalu pada 2009 dicopot kembali kata 'Wanita' untuk diganti 'Perempuan'. Sedang saat ini, Kementrian ini juga merangkul Perlindungan Anak selain Pemberdayaan Perempuan.

Lalu Mau Pilih Mana, Wanita atau Perempuan?

Benturan maskulinitas dan budaya yang terus diwariskan menjadi salah satu 'serba-salahnya' kita sebagai penutur. Baik kata 'wanita' dan 'perempuan' sendiri memposisikan wanita sebagai subordinat dan objek. Dalam kata 'wanita' wanita adalah objek semata yang patut ditata oleh pasangannya. Dengan kata lain, wanita harus mau dan siap untuk ditata sedemikian rupa, berdasar pasangannya. Lalu, dalam kata 'perempuan' sendiri terdapat istilah yang deregatoris. Kata 'perempuan' mengacu pada siapa saja yang secara seksual memiliki vagina. Sehingga hal ini menimbulkan segregasi secara fisik dan seksualitas. Terlepas dengan gender atau peran dalam masyarakat. Mereka yang memiliki vagina pada akhirnya akan tetap menjadi objek 3MMacakMasak Manak (berdandan, memasak dan beranak).

Baik 'wanita' maupun 'perempuan' dalam etimologi bahasa tetap tidak bisa digantikan. Agak aneh jika coba saya ciptakan istilah gender-neutral seperti misalnya nerian. Kata yang tidak sama sekali ada kaitan kultur atau berbau maskulinitas. Bahkan kata ini pun tanpa arti etimologis. Tau ada kata ganti untuk wanita yaitu gadis dalam bahasa Indonesia. Yang saya kira kesan metaforis gadis menjadi peyoratif. Atau terjadi penyempitan makna hanya pada mereka yang belum menikah. Oleh sebab itu anak SMA bisa disebut gadis. 

Untuk saat ini, karena mengacu pada pemerintah maka kata 'perempuan' lebih 'klik'. Sehingga dalam hal ini, kata 'wanita' berada dibawah 'kasta' daripada perempuan. Dan kembali pada istilah 'Harta, Tahta, dan Wanita' yang dulu kita fahami untuk sebaiknya diganti. Dalam hal ini menjadi 'Harta, Tahta, dan Perempuan'. Terlepas dari konvensi atau rima yang kurang enak didengar.

Referensi: Ecker & McConnell-Ginet. 2003. Language and Gender. Cambridge University Press. | kbbi.web.id | siperubahan.com | wikipedia.org.id 

Salam,

Solo,  23 Februari 2016

11:00 am
(reblog dari Kompasiana disini)

Monday, February 22, 2016

Terselip Penyakit dalam Istilah 'Kurang Piknik'

Terselip Penyakit dalam Istilah 'Kurang Piknik'

(Wanderlust - ilustrasi: slideshare.net)

Siapa sih yang tidak ingin piknik. Sebuah aktifitas leisure time yang selalu didamba tiap akhir pekan, waktu liburan panjang sekolah, atau hari-hari libur plus kejepit. Bersama keluarga, teman, kekasih bahkan sendiri, piknik menjadi kenikmatan relatif untuk setiap kita. Pilih objek wisata alam, kuliner, budaya atau sejarah di seluruh pelosok Indonesia bisa dilakukan. Atau bagi yang berduit banyak atau model pengalaman backpacker, keluar negri oke juga. Namun, karena pemerintah gencar-gencarnya memamerkan slogan 'Pesona Indonesia'. Dan dunia pun mengakui Indonesia memiliki rangkaian objek wisata eksotis. Baik yang sudah terpromosikan maupun belum.

Dan istilah 'Kurang Piknik' pun selalu menjadi pemandangan sehari-hari. Baik di sosial media atau sekadar obrolan ringan, nampaknya kita semua dihinggapi dengan cepat epidemi stress. Karena orang malas kerja, atau mahasiswa yang ogah-ogahan kuliah dicap sebagai mereka yang kurang piknik. Rasa tidak betah dan ingin segera mencari hideways untuk sejenak melepas penat menjadi 'epidemi'. Yang kadang penyakit ini malah membuat bekerja atau belajar tidak bergairah. Alih-alih menyelesaikan semua pekerjaan. hati, fikiran dan raga kadang sudah merasa di tempat tujuan. 

Wanderlust, Mungkin Menjangkit

Adalah sebuah keniscayaaan modern, dimana orang harus bekerja dibawah naungan korporasi. Bekerja dan terus bekerja atas nama kesejahteraan pribadi adalah jargon muluk para korporat dengungkan. Bahkan ada axioma nyleneh buat para pekerja bahwa: "Semakin kita bekerja keras, semakin kaya para konglomerat". Alih-alih pekerja bisa menikmati waktu luang, lembur untuk uang menjadi iming-iming. Lalu pekerja pun merasa jika tambah uang, maka tambah lama dan menyenangkan waktu piknik nanti. Dengan angan berjuta akan keindahan tempat wisata dan suasanya yang tenang menyenangkan. Bisa saja, Anda terjangkit wanderlust.

What do suppose will satisfy the soul, except to walk free and own no superior. (Park E. Robert 2012)

Seolah piknik adalah penenang jiwa-jiwa yang gusar dan lelah, memikirkannya sudah menjadi ekstasi tersendiri. Ini adalah sebuah wanderlust. Wanderlust, yang bisa difahami sebagai keinginan atau angan-angan untuk bepergian. Seperti seorang yang bebas dari perintah dan pekerjaan, piknik adalah konteks yang sesuai untuk manusia modern. Walau Park sendiri mengacu wanderlust untuk the Hobo atau para Bohemian  yang cenderung hidup menggelandang dan bebas. Namun esensi kebebasan tersirat mencerminkan psikologis wanderlust. Walau Park sendiri dengan tegas merasa wanderlust bertentang sekali nilai status dan perusahaan. Sederhananya, wanderlust adalah penyakit sosial.

Dalam hal ini, berandai-andai yang berlebihan bisa menghambat produktifitas. Kejenuhan dan impuls untuk bisa lari dari rutinitas kehidupan sehar-hari seperti kebanyakan orang, adalah awal dari wanderlust. Orang akan mencoba perubahan atas nama perubahan itu sendiri. Lalu menjadi kebiasaan yang menjadi candu yang kemudian bergerak dalam lingkaran setan. Semakin ia ingin terus lari dari kenyataan, semakin ia harus melakukannya. Sehingga, ia mengorbankan hubungan sosial dan korporasi demi mengejar romatisme kebebasan individu. (Park: 2012)

(Catarsis - ilustrasi: revistasexcelencias.com)

Dalam kajian psikologi, jiwa-jiwa wanderlust bisa masuk ke dalam karakter Tipe Subliminal. Dalam karakter Tipe Subliminal, pelepasan ego memang dapat dilepaskan (channel) dengan baik. Namun tetap, pada tipe ini wanderlust memunculkan konflik antara keinginan instingtif dan sistem ego. Jika konflik sudah wanderlust 'akut', maka karakter akan masuk ke dalam karakter Tipe Reaktif. Dan secara spesifik jatuh ke sub-tipe reaction-formation.

Dimana karakter reaction-formations ini akan menunjukkan kamuflase keinginan mendalam dengan cara melebih-lebihkan perilaku dan counter-cathexis (catarsis penahan energi mental). Seseorang akan terus bekerja demi rencana piknik yang lebih menyenangkan saat liburan nanti misalnya. Ia menyimpan keinginan namun dengan ketat ia tutupi keinginan itu dengan terus bekerja. Dengan terus menyibukkan diri, maka keinginan untuk segera piknik bisa hilang. Walau, keinginan itu menghantuinya selalu. Pada titik tertentu, bahkan wanderlust ini bisa masuk kategori gangguan bipolar. (Gerson: 1993)

Jadi wanderlust adalah penyakit? Walau belum ada parameter pasti mengukur hal ini, tapi kondisi berangan-angan ingin piknik terlalu sering juga tidak baik. Karena dalam dimensi kasuistik wanderlust mungkin tersingkap pada surface saja. Namun jika kita amati disekitar kita, bisa saja hal ini terjadi. Apalagi mereka yang selalu memposting soal 'Kurang Piknik' sedang mereka selalu sibuk dibalik meja. Atau mereka yang mengeluh untuk segera berwisata kepad teman dan keluarga, namun belum menyempatkan diri saat sempat. Kita patut waspada.


Salam,

Solo, 22 Februari 2016

01: 42 pm
(reblog dari Kompasiana disini)

Thursday, May 28, 2015

Saat Batu Akik Mulai Berbicara

Saat Batu Akik Mulai Berbicara


14260898101883921376
(ilustrasi: scienceblogs.com)
Duduk menikmati laju kereta menuju Kota Solo, pandang saya langsung tergugah pada satu fenomena. Ada satu penumpang, seorang bapak datang duduk di depan saya. Tidak ada yang aneh dari penampilannya, secara 'kekinian'. Jajaran cincin batu akik menghias jemarinya, menadi lumrah adanya. Kurang lebih ada tiga cincin kedua jari tangan sang bapak. Dan ada satu liontin akik yang cukup besar menggantung di dadanya. Saya maknai sedikit, sang bapak rupanya penggemar batu akik. Dan itu pun wajar adanya, secara 'kekinian'.

Beberapa saat duduk di depan saya, sang bapak mulai sibuk merogoh kantongnya. Dikeluarkanlah sehelai kain perca yang biasanya untuk mengelap kacamata. Tidak lama, segera digosok-gosoklah salah satu cincin akik yang berada di jari manis tangan kanan. Dengan gerakan maju-mundur teratur dan pendek, cincin akik sang bapak terus digosok. Saya agak sungkan bertanya kenapa ia melakukan hal ini. Saya juga akan kerepotan jika sang bapak malah nantinya menjelaskan soal cincin akik yang sedang digosoknya.

Mungkin pula, nanti saya diceritakan soal yang 'katanya' unggul soal si batu akik yang dikenakannya.
Walau terdiam dan khusyuk menggosok cincin akiknya, ada komunikasi yang hendak dibuat sang bapak. Ada makna 'kekinian' dan 'katanya' yang coba disampaikan. Mengurai makna ini, saya pun mencoba menuliskannya.

Komunikasi 'Kekinian' (Contemporary Trend)

Sebenarnya, sudah beberapa kali saya lihat orang yang khusyuk menggosok cincin akiknya. Entah apa yang hendak dicapai dengan terus menggosok sebuah batu. Namun, ada makna terselip dan sangat halus terbaca dari aktivitas ini. Nalar saya sebagai orang yang berada di luar (outsider), mungkin tidak bisa menerima mengapa batu harus terus-terusan digosok. Buat apa? Kalau untuk dikilapkan, bukankah cukup beberapa kali menggosok saja? Elemen solid atau padat gem stone, bukankah tidak bisa berubah. Tidak seperti elemen cair atau gas. Nalar awam saya, sebagai outsider, hanya bisa bertanya-tanya. Sedang untuk bertanya, ada kemungkinan skeptisisme yang mungkin dipahami oleh mereka para pecinta batu akik, insider.

Dengan menggosok, ada komunikasi yang hendak diciptakan oleh para insider. Seolah, jika menggosok batu akik mereka mengguratkan dua makna sekaligus. Pertama, 'mendeteksi' para pecinta akik. Dengan terus menggosok dan menggosok, mungkin saja ada pecinta batu akik yang heran dan bertanya. Seolah ingin menunjukkan dengan cara subtle (tidak sadar), menggosok adalah mendeteksi keberadaan pecinta akik lain. Mungkin saja, ketika sudah tahu ada yang menggosok batu akik, lalu bertanya-tanya. Batu apa yang digosok? Jenis apa? Hargaya berapa? Belinya di mana? Tentunya, secara kasar yang terjaring pada tahap deteksi adalah insider saja.

Sedang yang komunikasi kedua, adalah 'menseronokkan' batu akik. Jika tahap deteksi tidak tercapai, atau kebetulan di sekitar penggosok batu akik tidak para insider. Maka tahap ini pun secara subtle tercipta. Lebih tepat sepertinya komunikasi ini ditujukan untuk para outsider, seperti saya. Dengan terus menggosok cincin batu akik seolah memberi tahu ada yang istimewa di sana. Ada yang seronok yang hendak ditunjukkan. Walau akal awam saya sebagai outsider tidak bisa menerima aktivitas menggosok yang terlalu intens. Tetap bagi insider yang melakukannya, adalah hal biasa. Dan dengan biasa ini, ada yang hendak diseronokkan.

Dan dengan konteks kekinian (contemporary), baik outsider dan insider memaklumi (take for granted) hal ini. Dengan booming-nya cincin gem stone, dan salah satunya akik, maka dianggap 'wajar' menggosok atau aktivitas lainnya. Ada yang menggerinda, mencari alur warna batu, sampai menggosok dengan intens dianggap wajar saat ini. Dan komunikasi antar insider pun terjadi dengan dasar 'katanya'.

Komunikasi 'Katanya' (Group Bewilderment)

Mungkin agak sulit mencermati komunikasi yang coba saya urai pada 'katanya' ini. Karena saya sendiri adalah outsider dan hanya mendengar yang 'katanya' menarik di dunia gem stone. Maka komunikasi jenis ini hanya bisa saya hipotesis dari berita yang beredar. Atau kabar-kabar yang mengabarkan menyoal demam batu akik yang mewabah di Indonesia. Juga melihat mulai dari gerai batu akik pinggir jalan sampai pameran besar di mall, tidak heran ada kecenderungan kegembiraan yang sangat (bewilderment) yang terjadi saat kita menjadi insider.

Mulai dari ada yang berani membeli gem stone dari puluhan ribu, sampai ratusan juta hanya sebagian kecilbewilderment ini. Ada pula aktivitas mencari batu sampai ke dalam hutan berhari-hari. Adapun yang rela seharian menggerinda dan menggosok batu. Kegiatan yang saya saksikan di samping kos saya di Bandung beberapa waktu lalu. Seolah insider ini mencoba mengomunikasikan 'keahlian' dan 'kepiawaian' dalam mengolah batu mentah menjadi batu jadi. Setelah berbentuk apik dan menarik, mulailah diberi bumbu-bumbu katanya. Mulai dari corak yang menyimbolkan bentuk, nama, sampai gurat yang langka dan aneh. Para insider berkutat dalam komunikasi berdasar bewilderment ini.

Komunikasi grup ini berpendar semakin kuat jika masuk ke dalam lingkaran bewilderment. Di mana dari yang sekadar bertanya-tanya batu akik, sampai rela merogoh dalam kocek untuk mengoleksi beberapa buah komunikasi insider begitu kuat adanya. Karena tren yang sedang booming ada yang sengaja ikut dan terlarut. Atau adapun, yang seolah ikut dan terlarut, namun tahan akan hempasan bewilderment dalam lingkar insider. Orang-orang ini bukan outsider, namun mereka yang mencari kesempatan (opportunity) dalam tren ini. Biasanya kesempatan ekonomilah yang menjadi pendorong mereka.

Saya mungkin akan disebut sok tahu, jika mengurai lebih jauh bewilderment yang terjadi. Karena apa pun itu, ada pembenaran atas apa yang insider lakukan. Tentunya, hal ini bukanlah hal yang salah. Dan tidak sama sekali salah atau buruk mengikuti tren booming batu akik atau gem stone ini. Yang saya coba uraikan adalah, sebenarnya ada komunikasi yang hendak dijalin si batu akik.

Salam,

Solo,  28 Mei 2015

08: 34 am
(reblogged dari Kompasiana di sini)

Tuesday, November 25, 2014

Membongkar Akar Korupsi

(ilustrasi: illustrationart.blogspot.nl)
(ilustrasi: illustrationart.blogspot.nl)

Melihat tayangan berita menyoal korupsi di media sudah serupa melihat gosip. Press conference KPK selalu ditunggu dan dinanti awak media. Sedang kita dirumah menunggu siapa yang akan menjadi tersangka korupsi berikutnya. Yang biasanya pula, yang disampaikan publik figur. Seperti baru saja, Mentri ESDM Jero Wacik yang diduga membuat-buat pos anggaran yang merugikan negara 9,9 milyar. Itu baru yang terindikasi. Mungkin masih ada puluhan bahkan ratusan milyar lagi uang negara yang dikentit dengan sengaja. Tentunya dari oknum-oknum disekitar Jero Wacik. Perilaku korupsi, tentunya tidak dilakukan sendiri. Mari kita bongkar korupsi itu sendiri.

Bukan membongkar kasus-kasus laten yang mungkin sudah masuk 'DPO' dari KPK. Namun lebih melihat akar kata korupsi itu sendiri. Kata korupsi dalam Bahasa Indonesia merupakan kata pinjaman (loanword) dari bahasa Inggris, corruption. Walaupun sebenarnya ada padanan dalam Bahasa Indonesia, yaitu kata rasuah. Namun kata pinjaman corrupt atau corruption yang sudah 'terefisiensi' menjadi korupsi lebih dipilih. Sehingga kita lihat, KPK merupakan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dan bukan bernama, KPR atau Komisi Pemberantasan Rasuah. Sehingga agak lucu dan mungkin tertukar dengan istilah KPR dalam bidang properti.

Membongkar Akar Korupsi

Verba (to) corrupt yang merupakan dasar (base) dari kata corruption merupakan kata dengan dua akar (root) Latin. Dua akar tersebut adalah kata infleksi (inflection) dari sistem bahasa Latin. Dikatakan, kata corruptsendiri hadir di masa Middle English, sekitar 1300-1350 masehi di Inggris. Pada masa ini, bentuk tulisannya adalah corrupcio. Sedang imbuhan -ion sendiri hadir setelah kaum Anglo-French berkuasa di Inggris. Pada masa ini, kata tersebut berubah menjadi corrupti'on.

Sehingga jika dipisah, kata corrupt sendiri terdiri dari dua akar (root) Latin yaitu cor- dan -rumpere. Akar cor-,col-com- atau co- yang berarti altogether atau bersama-sama, beramai-ramai. Contoh kata dengan akar yang serupa bisa dijumpai dalam kata turunan Latin seperti collaboratecoauthor atau compulsive. Semua kata tersebut memiliki nuansa kegiatan yang bersama-sama dilakukan. Sehingga, akar cor- dalam kata (to) corrupt tentu mengindikasikan kegiatan ini dilakukan bersama-sama.

Sedang akar kedua adalah -rupt berarti to destroy atau to break. Sebenarnya ada kata Latin yang disebut stem dari akar -rupt ini, yaitu rumpere dengan arti serupa. Namun akibat sistem lesapan dalam sistem infleksi bahasa Latin, maka banyak berubah menjadi akar -rupt. Kata turunan dari bahasa Latin yang masih bisa ditemui dalam bahasa Inggris dengan akar -rupt seperti, abruptinterrupt atau bankrupt. Semuanya mengesankan ada tatanan atau sistem yang dirusak. Dan nyata, korupsi memang merusak.

Makna-Tanda Korupsi

Pada awal abad ke-14 kata korupsi dari bahasa Latin corruptionem sendiri sebenarnya mengacu pada perusakan atau pembusukan dari mayat. Pembusukan memang terjadi bersama-sama dan sporadis pada mayat. Sehingga lama kelamaan mayat pun hancur dan rusak. Namun, secara figuratif pada pertengahan abad 14, kata korupsi mulai digunakan untuk mengacu pada penyuapan (bribery). Artinya pun berasal dari kata Latin corrumpere yang berati merusak (to destroy).

Sehingga kesan makna yang sebenarnya tersirat dalam kata korupsi (to corrupt) sudah cukup jelas tandanya. Korupsi adalah tindakan bersama-sama dan secara sadar untuk merusak. Namun pada prakteknya di sini, kasus tindak pidana korupsi hanya berkutat pada satu atau dua tersangka. Bos besar atau dewan Jendral yang bersama-sama merusak tidak pernah tersentuh hukum. Merusak bukan saja tatanan APBN yang sudah disusun. Namun merusak infrastruktur yang sudah dibangun. Tidak heran banyak jalan umum atau gedung pemerintahan yang (selalu) rusak.

Pembusukan negri ini tentunya bisa terjadi jika para koruptor terus membiak dan meliar. Sudah menjadi tanggung jawab kita untuk mengawasi jalannya pemerinntahan. Dan sudah benar adanya, pembentukan KPK sebagai badan yang benar-benar membasmi korupsi. Sampai kapanpun korupsi terus membiak dan meliar.

Salam,

Solo, 24 November 2014

08:34 pm
(reblogged dari Kompasiana di sini)

Tuesday, May 20, 2014

Lari, Berlarilah!

Lari, Berlarilah!

(ilustrasi: alisanagnostakis.com)

Lampu lalulintas masih memendarkan lampu merah. Banyak kendaraan berhenti dan nampak sabar menunggu. Wajah-wajah mendongak ke atas. Beberapa tengok kanan-kiri mencari lampu lalulintas di sudut jalan yang masih berwarna merah. Beberapa wajah gelisah nampak seolah menggunjing merah si lampu. Beberapa nampak tenang dan sesekali menengok kanan-kiri. Seolah orang-orang ini memiliki waktu yang sangat luang. Dan beberapa wajah nampak tidak sabar. Seolah membenci lampu merah. Tengok kanan-kiri, tancap gas.

Lampu merah diterobos dan tanpa sungkan melaju cepat. Cepat menjauh dan menghindari kemungkinan polisi yang akan mungkin mengejar. Walau tidak ada satu pun polisi. Lari menjauhkan diri dari kesalahan menerobos lampu merah. Lari dari kesalahan. Jiwa-jiwa kerdil yang menyangka bisa lari dari masalah. Walau sejatinya, jiwa-jiwa merekalah yang bersalah. Seolah ingin lari masalah. Tapi mereka tidak bisa berlari dari diri mereka sendiri.

Run from you problems, but you can not run from yourself! (YDG - Of Mice & Men)

Seakan-akan berlari meninggalkan kesalahan menerobos lampu merah menyelesaikan masalah. Terburu waktu dan terpatri nafsu, hanya mengumbar mereka melakukan kesalahan. Terobos lampu merah adalah sebuah kesalahan. Ia adalah sebuah objek. Namun subjek pembuat dosa itu, si jiwa-jiwa kerdil itulah yang penting. Kesalahan tidak menghinggapi fikir seseorang. Namun karena orang itu melakukan kesalahan, sehingga hinggap rasa bersalah. Kesalahan dapat dijauhi. Namun rasa bersalah pembuat salah itu yang sulit.

Menjauhi kesalahan adalah bentuk primitif jiwa-jiwa kerdil menebus dosanya. Jauh di dalam diri si pembuat salah, rasa bersalah itu menghantui. Kesalahan yang terjadi di lampu merah itu hilang karena kesalahan tadi tidak ada yang merespon. Polisi yang menjaga lalinn sedang tidak berpatroli. Kesalahan itu tidak diketahui. Ada perasaan seolah kesalahan itu baik-baik saja. Namun jiwa akan terus menggelambir menumpuk rasa bersalah.

Lari berlarilah, umpat kau mengumpat
Dosa kau dustai, ratapi dirimu! (Beside, Dosa Adalah Sahabat)

Saat rasa berdosa itu menggelayuti hati, dustai pun kau lakui. Semua demi mendustai dosa yang dilakukan. Berlari dan terus berlari menjauhi rasa bersalah. Menghapus perilaku menerobos lampu merah dengan terus mengeraskan hati. Menutupi dosa dengan dosa lain. Mendustai kesalahan dengan dusta mengingkari diri sendiri. Menghujam kata hati penerang hati. Semua demi memberi kepuasan atas ratapan berdosa. Ratapan rasa bersalah menerobos lampu merah.

Menderu dan terus melaju sekencang-kencangnya dari lampu merah. Secepatnya menjauhi kesalahan. Dengan rasa bersalah yang terus menderu untuk memacu kendaraan. Menjauh dan menjauh dari kesalahan. Mereka mampu berlari dari kesalahan. Tapi tidak mampu berlari dari diri mereka sendiri. (Sebelumnya:Tangan Tuhan di Lampu Merah)

Salam,

Solo, 09 Mei 2014

23:55 pm

(reblogged from Kompasiana, Mei 20, 2014 13:00 pm)