Tuesday, May 17, 2016

Awas, Digital Eye Strain Mungkin Mengancam Anda

Awas, Digital Eye Strain Mungkin Mengancam Anda

ilustrasi: wellnessbeyondfifty.com 




Menurut laporanThe Vision Council, 9 dari 10 orang dewasa (93,3%) di US menghabiskan waktu lebih dari dua jam menggunakan perangkat digital setiap hari. Dan setiap hari pula, 6 dari 10 (60,8%) orang dewasa ini menghabiskan lima jam atau lebih dengan perangkat digitalnya. Baik mengetik atau bekerja di depan komputer, menonton TV LED dirumah, bermain dengan gawainya, atau ber-medsos dengan smartphone, semua hal ini dapat menimbulkan efek Digital Eye Strain (DES). 

Dan umumnya, DES inilah yang akan banyak dirasakan generasi millenial saat ini. Sebagai generasi milenial, berinteraksi dengan perangkat menjadi hal yang tidak mungkin dihindari. Hampir semua lini kehidupan, dapat ditemui perangkat digital. Dari mulai komputer, laptop, layar LCD, layar proyektor, TV LED, smartphone dsb, akan memaparkan efek DES. Perangkat digital ini memaparkan mata dengan Efek yang dirasakan dari paparan sinar HEV (High-Energy Visible). 

Sinar HEV ini memancarkan sinar berwarna biru yang berada diantara batas aman dengan Invisible Light yang berupa sinar ultra-violet. Semakin lama terpapar HEV, semakin DES terasa di mata kita. [caption id="" align="aligncenter" width="585" caption="(Light Visibility Chart - ilustrasi: thevisioncouncil.org)"](Light Visibility Chart - ilustrasi: thevisioncouncil.org)[/caption] Efek yang dirasakan saat mengalami DES adalah mata kering, mata merah, iritasi, kelelahan mata, pandangan kabur, mata berair bahkan sampai kepala pusing. Pada sebuah penelitian 2014 lalu menemukan bahwa pekerja yang menghabiskan banyak di depan layar komputer, merasakan DES. Selain itu, terjadi perubahan cairan air mata serupa dengan orang yang mengalami gejala mata kering. 

(ilustrasi: digitaltrends.com)
ilustrasi: digitaltrends.com
Hal ini berefek pada perubahan secara fisiologis. Normalnya, kita akan berkedip 18 kali dalam satu menit. Namun pada saat menatap layar perangkat digital, jumlah kedipan berkurang. Frekuensinya berkurang karena mata harus membaca huruf yang terlalu kecil atau gambar yang agak buram di layar. Ditambah paparan brightness (terang) layar juga berpengaruh, apalagi di ruang dengan cahaya yang minim. Semakin redup satu ruang, maka semakin paparan sinar HEV terasa di mata kita. Efek DES pun akan semakin terasa nantinya. 

Solusinya, gunakan rumus 20/20/20 menurut The Vision Council. Rumus ini berarti setiap 20 menit di depan layar komputer, berhentilah 20 detik dan pandanglah sesuatu yang berjarak 20 kaki (sekitar 7 meter). Adapun Canadian Ministry of Labor mencanangkan 5 menit istirahat saat bekerja di depan komputer saat jam kerja. Di Inggris, perundangan mengenai hal ini pun telah diatur. 

Tertuang dalam Health and Safety (Display Screen Equipment) Regulations, pekerja di depan komputer berhak atas istirahat dengan frekuensi berkala. Dalam aturan ini, dianjurkan istirahat 5-10 menit setelah bekerja di depan layar digital selama 50-60 menit. Guna menghindari efek DES lebih lanjut, beberapa hal juga perlu diperhatikan. Saat kita bekerja dengan perangkat digital, pastikan waktunya tidak berlebihan. 

Aturlah kondisi pencahayaan ruang. Pastikan terangnya perangkat digital setidaknya sama terang dengan terangnya ruang. Atur pula jarak mata dengan layar perangkat digital. Terlalu dekat dengan layar monitor, berarti paparan cahaya yang berlebih untuk mata. Efek dari DES bisa lebih cepat terasa. 


Salam,

Solo, 17 Mei 2016

08:30 pm

Friday, May 13, 2016

Occipital Neuralgia Mengancam dari HP Anda

Occipital Neuralgia Mengancam dari HP Anda


ilustrasi: teachingwithipad.org

Kecanduan gadget atau smartphone tidak bisa dihindari lagi. Sebuah pemandangan umum jika menemui orang sibuk memandangi gadget. Baik duduk, atau berjalan sendiri atau bersama orang lain mereka menunduk memperhatikan HP mereka. Mungkin ini sekilas yang terlihat. Bisa jadi mereka, bahkan saya sendiri, menghabiskan banyak waktu memandangi layar gadget atau HP. Dan sadarkah kita, ada beban sekitar 27 kg di leher kita saat memandangi layar HP? Berbahayakah?

Seorang jurnalis Gizmodo, Adam Clark Estes pernah mengalami betapa berbahayanya beban 27 kg di leher akibat HP. Ia sempat mengira sakit kepala seperti migrain yang ia alami adalah tumor. Namun ternyata bukan. Sakit kepala hebat menyerupai migrain yang ia alami lebih sakit dari sakit kepala biasa. Rasa sakitnya serupa seorang menghantamkan besi panas ke kepala Adam. Dan sakitnya serasa menyelubungi kepalanya dengan hebat. 

Adam pun berkonsultasi ke seorang neurologis, Dr. Myrna untuk mengeceknya. Dan yang ia dapati, ia mengalami occipital neuralgia. Dr. Myrna Cardiel menyatakan penyakit saraf seperti ini sering ditemui pada pasien yang cenderung ketagihan gadget. Sakit yang muncul terutama seperti rasa terbakar di sekitar daerah belakang, samping atau atas kepala. Occipital neuralgia disebabkan oleh tekanan berlebih atau kerusakan pada ujung saraf. Rasanya sakitnya biasanya muncul mulai dari tulang belakang sampai ke atas tengkorak kepala.

Dr. Myrna pun memberikan 20 kali suntikan di beberapa tempat. Adam pun hampir pingsan menahan rasa sakitnya. Dr. Myrna pun menganjurkan Adam untuk menegakkan kepalanya. Juga lakukan gerakan yoga dan beberapa pijatan guna meringankan rasa sakit. Tentunya, Adam pun mulai mengurangi waktu untuk menunduk memandangi gadget-nya.  

"Seorang yang sering membaca, biasanya mengalami gejala ini" terang Dr. Jeremy Poulsen dalam sebuah makalah. "Jika saraf-saraf disekitar kepala ditekan dan ditarik sedemikian rupa, occipital neuralgia dapat terjadi. Sakit kepala hebat pun tidak bisa dihindari." tambahnya.
Foto: Kenneth K. Hansraj, MD, Chief of Spine Surgery , New York Spine Surgery & Rehabilitation Medicine

Kenneth K. Hansraj dalam makalahnya menyatakan bahwa rata-rata berat kepala orang dewasa sekitar 5 sampai 9 kg pada posisi netral. Saat menunduk 15°, ada sekitar 12 kg beban di leher, 18 kg pada 30°, 23 kg pada 45°, dan 27 kg pada 60°. Posture ini menyebabkan tekanan pada tulang leher. Dan jika terus menerus ditekan dalam waktu yang lama, akan merusak otot leher. Kemungkinan untuk mendapatkan pembedahan bisa saja terjadi.

Dan, sekarang pun saya coba untuk tidak terlalu menunduk memandangi gadget yang saya punya. Waktunya pun saya kurangi untuk sekadar membaca berita terbaru. Dan, bermain games pun sudah jarang saya lakukan. Setidaknya, tidak memberikan beban 27 kg pada leher saya. 


Salam,

Solo, 13 Mei 2016

01:30 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)

Thursday, March 24, 2016

Pilih Tidur Sama Pasangan Apa Sama Handphone?

Pilih Tidur Sama Pasangan Apa Sama Handphone?

(ilustrasi: empoweringblog.com)
ilustrasi: empoweringblog.com
Penyakit era gadget yang mungkin mewabah cepat. Lebih penting tidur dengan handphone atau smartphonenya (HP) atau gadgetnya. Daripada tidur sambil didampingi pasangannya, pilih tidur bareng HP atau gadgetnya. Karena dengan tidur dekat HP atau gadgetnya, ada hal-hal yang bisa dilakukan. Dan seolah hal-hal tersebut menjadi alasan utama HP atau gadget wajib harus ada disamping tempat tidur. Bahkan bukan hanya di tempat tidur. Kadang di bawah atau di samping bantal. Lebih ekstrim lagi, sambil pegang HP atau gadget sambil tertidur. Mungkin alasan-alasan ini yang menjadikan HP atau gadget lebih penting berada di tempat tidur. Dan mungkin pula, peran pasangan digantikan dengan adanya HP atau gadget di tempat tidur. Baik sebelum atau sesudah bangun tidur, alasan berikut seolah menggantikan 'peran' pasangan.

1. Karena di HP atau gadget ada alarmnya Bagi yang bekerja atau kuliah, kehadiran alarm seolah penting menjelang kita terlelap. Tujuan utamanya, membangunkan kita subuh atau pagi hari. Dan mungkin masih ada beberapa orang yang setia dengan jam wekernya. Namun saya sendiri, sejak HP masih berlayar hijau, jam weker terpaksa saya tidak pernah pakai. Seolah pula, fungsi alarm pada gadget menggantikan pasangan yang membangunkan suami atau istrinya sendiri. Walau kadang baik suami atau istri yang bangun terlebih dahulu harus membangunkan yang masih tertidur.

2. Karena ada SMS, pesan, atau panggilan telepon penting Menyandingkan HP atau gadget disamping tempat tidur juga kadang memiliki alasan di atas. Takut jika ada pesan atau panggilan penting yang masuk. Sehingga, jika ada SMS, pesan BBM/WA/Line/ apapun itu, akan bisa terdengar jelas, walau tertidur. Karena pesan atau panggilan telponnya berasal dari orang penting, atasan, saudara, atau bahkan selingkuhan? Alih-alih memperhatikan manisnya raut wajah pasangan saat tertidur. Pilih mengecek SMS yang masuk. Sambil memelototi layar HP atau gadgetnya sampai mata benar-benar tinggal 5 Watt.

3. Karena mau mendengarkan musik dahulu sebelum tidur Entah mendengarkan musik instrumental, murottal Quran, HP atau gadget menjadi pilihan utama. Selain ringan dan mudah di plug-and-play dengan media player dan headphone yang ada. HP atau gadget pun otomatis terbawa ke tempat tidur. Karena bisa saja, saking enaknya mendengar musik, lalu pulas tertidur. Baru melepas headphone saat terbangun menjelang pagi. Daripada mendengar pasangan yang mungkin mendengkur. Atau mendengar curhatan pasangan menjelang tidur. Pilih pasang musik di telinga dan biarkan pasangan tertidur, sendiri duluan.

4. Karena hendak bermain game, mengecek medsos atau email sebelum tidur Baik sengaja atau tidak sengaja, kadang iseng bermain game sebelum tidur membuat HP atau gadget terbawa ke tempat tidur. Atau iseng membuka medsos seperti Facebook, Twitter, Instragram, dll, HP atau gadget terbawa tertidur karena sudah saking ngantuknya. Alih-alih mengobrol dengan pasangan yang mendampingi, pilih sibuk sendiri sampai tertidur dengan game atau medsos. Pasangan pun kadang akhirnya pilih mengalah dan tidur duluan. Saat kita masih sibuk dengan HP atau gadget. Jadi, masih pentingkah pasangan kita mendampingi kita tidur? Tentunya masih.

Karena membawa HP atau gadget juga merugikan kesehatan. Contohnya dampak sinar radiasi HP atau gadget yang keluar. Walau belum secara holistik radiasi ini dijelaskan, kewaspadaan juga harus diingat. Layar HP atau gadget yang terang, bukan saja menyilaukan mata yang makin mengantuk. Tapi merangsang otak untuk terus mengganggap hari masih siang. Tidak heran kadang kita kelelahan saat bangun.

Juga, bahaya penggunaan headphone yang terlalu lama. Mendengarkan lewat headset diajurkan tidak lebih dari 2 jam. Pasangan kita tetap menjadi pendamping utama saat kita mulai terlelap. Karena dengan pasangan kitalah, hidup kita benar-benar hidup. Ada ketenangan jika ia berada disamping kita. Ada kebahagiaan melihatnya tidur terlelap dan tetap sehat. Ada masanya nanti, pasangan hidup kita akan beralih ke peraduan lain. Peraduan abadi menuju singgasana surga nanti. Sedang kita mungkin hanya bisa menyesal. 

Kenapa dahulu tidak bercakap sebelum tidur bersama istri atau suami? Kenapa dahulu tidak memandangi kerutan di wajahnya yang membuatnya semakin berarti di hati? HP atau gadget tidak mampu menggantikan itu semua.

Disadur dari cnet.com

Salam,

Solo, 24 Maret 2016

10:38 am
(Reblog dari Kompasiana disini)

Wednesday, March 23, 2016

Foto Balita Merokok; Akumulasi Zero Parenting?

Foto Balita Merokok; Akumulasi Zero Parenting?

(ilustrasi: atomicreal.deviantart.com)
ilustrasi: atomicreal.deviantart.com

Sebuah keprihatinan mendalam buat orangtua jika menyaksikan foto balita merokok. Entah rokok itu benar dihisap sang balita atau hanya sekadar bermain-main. Tapi sangat konyol dan di luar nalar orangtua berakal sehat memfoto balitanya demikian. Kalau bukan dikatakan orangtua labil. Sebutan apalagi yang pantas untuk orangtua yang nampaknya masih senang mencari sensasi konyol seperti itu. Bagi sang balita, ia tidak tahu apa-apa selain reaksi orangtua yang anggap hal ini lucu. Tidak ada dalam pikiran si balita bahaya merokok.

Namun, nampaknya orangtua si balita seolah tidak punya kedewasaan sesuai predikat orangtua yang disandangnya. Ada empat foto berbeda yang dijadikan satu. Rokok tersebut terlihat ditempelkan, bahkan dimasukkan ke mulut atau bibir sang anak selayaknya seseorang sedang merokok. Rokok tersebut pun terlihat menyala. Foto kemudian diberi keterangan "Jagoan mom&papp". Dari keterangan foto itu, Ve Royy diduga kuat ibu dari sang anak. (berita: kompas.com) 


(ilustrasi: kompas.com)
ilustrasi: kompas.com
Maaf, Balita Bukan Mainan 

Lucu dan lugunya balita memang membuat semua orang gemes dan ingin menggendong. Dan wajar adanya jika seorang balita selalu menjadi rebutan jika saudara, kakek-nenek, atau karib kerabat kita berkumpul. Apalagi jika balita kita gemuk pipinya, murah senyum dan mau saja digendong semua orang. Dicubiti pipinya, dicium dan diajak berbicara dan menirukan gerakan pun biasanya dilakukan orang dewasa di sekitar balita. Ada pula yang bernyanyi untuk si bayi lalu mnta si balita menirukan. Semua yang mungkin membuat hati balita dan si orang dewasa senang. Walau kadang, apa yang diperlakukan orang dewasa ke balita tidak selalu berarti untuk si balita itu sendiri. 

Balita adalah seorang peniru ulung. Apa yang dilakukan orang-orang di sekitarnya akan dengan mudah ia tirukan. Entah itu ucapan, tindakan bahkan emosi. Kata yang pasti orangtua atau orang dewasa ingin balitanya tirukan adalah kata-kata yang konkrit seperti makan, mimi, atau bobo. Lalu tindakan seperti membuka mulut saat makan, menyanyi, sampai menari. Bahkan, sampai emosi orangtua pun orang dewasa sekitarnya bisa ditirukan. Balita memperhatikan dan merekam apa yang kita ucap dan lakukan saat kita marah, sedih, risau, dll, Maka jangan heran jika balita kita marah, ada kesan emosi yang terpancar adalah serupa yang dilakukan orangtuanya saat mereka marah.

Dan kasus diatas, dimana balita bahkan minta untuk merokok adalah orangtuanya atau orang  dewasa di sekitarnya yang patut disalahkan. Kalau balita tidak mencontoh atau meniru perilaku merokok dari orang dewasa disekitarnya, lalu dari mana. Tidak mungkin keinginan dan perilaku merokok didapat seorang balita. Apalagi jika sudah difoto dan merasa bangga si balita ini sebagai 'jagoan mam and pap'. Maaf jika saya ucap orangtuanya adalah orang brengsek dan norak. Brengsek karena anak balita yang tidak tahu mudarat rokok meminta rokok dan meniru orang merokok. Norak karena merasa bangga anak balita lelakinya merokok lalu menjadi jagoan. Lalu memposting foto balita merokok di Facebook. Banggakah mereka sebagai orangtua? Mereka seharusnya malu! 

Mendekati Zero Parenting? 

Zero Parenting, sebuah wacana dimana pola pengasuhan dan didik anak dibiarkan begitu saja. Dengan kata lain, tidak ada sama sekali asuhan dan didikan orangtua saat anak berada dalam masa tumbuh kembang. Dan dalam kasus seperti diatas, zero parenting yang saya maksud adalah tidak adanya asuhan terpola dan baik untuk anak dalam masa kembang. Orangtua si balita hadir, namun tidak dengan baik mengasuh. Dalam hal ini, membesarkan anak secara fisik mudah. Namun dalam segi psikologis dan emosional, hal ini yang belum banyak disentuh. Karena sejatinya karakter anak terbentuk saat Golden Age (0-5 tahun). Saat orangtua hanya sekadar membesarkan anak dan mengesampingkan hal pengasuhan dan pendidikan bukankah sudah masuk wacana zero parenting.
  
(ilustrasi: michael-streeter.blogs.charentelibre.fr)
michael-streeter.blogs.charentelibre.fr
Dari kasus di atas, balita ini saja bisa diajarkan untuk merokok. Dengan tidak berburuk sangka, bagaimana hal lain? Jika si balita bisa ngamuk atau tantrum tidak diberikan rokok, bagaimana orangtuanya mendidik dan mengarahkan hal ini? Lalu, mental orangtua yang sepertinya menjadikan anak sebagai objek 'mainan' semata, memperparah pola asuh. Entah karena mereka masih labil atau karena mencari sensasi. Namun hal ini memang di luar kewajaran. Dan satu kasus ini yang terungkap di media. Mungkin banyak lagi contoh lain.

Seperti pernah berita menghebohkan anak perokok yang sempat mendunia karena fotonya. Penekanan dan fokus pengembangan pola asuh tentunya ada pada orangtua. Orangtu harus mau dan mampu mempelajari pendidikan pola asuh anak, Jika tidak di mulai sejak dini, mana mungki tercapai generasi Indonesia yang baik. Pemerintah, melalui Depdikbud sepertinya mencoba mem-prevent kasus serupa terjadi di lain waktu. Anies Baswedan telah memulai Ditjen Keayahbundaan. Sebuah Ditjen yang akan mencoba memetakan program pola asuh yang baik. 

Dan sepertinya, berfokus pada Generasi Emas Indonesia 2045 nanti. Selengkapnya di artikel saya, Direktorat Keayahbundaan Kemenedikbud, Buat Apa? Dan tentunya, kasus diatas harus pula dijadikan contoh orangtua lain. Dalam hal ini, ada hukum pidana yang mungkin dijatuhkan kepada orangtua yang memberikan balitanya rokok.

JAKARTA, KOMPAS.com - Orangtua yang dengan sengaja mengajari anak-anak merokok dapat dipidana. Sebab, perilaku tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang mewajibkan orangtua untuk melindungi anak, termasuk dari bahaya merokok.(berita: kompas.com)

Salam,

Solo, 29 Maret 2016

07:00 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)

Tuesday, March 8, 2016

Bahaya Multitasking Otak, IQ Menurun 15 Poin

Bahaya Multitasking Otak, IQ Menurun 15 Poin

Multitasking Jobs - ilustrasi: workplacepsychology.net

Seringkah Anda me-multitask pekerjaan di kantor? Sedang menulis laporan sembari menunggu email konsinyasi masuk di depan layar. Juga disambi menunggui printout perjanjian kontrak jual beli bulan lalu yang jumlahnya ratusan. Ditambah menunggu notifikasi BBM istri yang hendak titip belanjaan bulanan. Atau apapun kegiatan atau pekerjaan yang Anda lakukan, multitask seolah menjadi penanda Anda orang modern. Individu modern yang bisa menyelesaikan segalanya dalam satu waktu. Ya, padanannya serupa smartphone atau PC Anda.

Tapi benarkan otak kita sudah di-desain untuk ber-multitask? Tidak benar adanya. Sebuah penelitian seorang neurosaintis MIT di US menyimpulkan bahwa otak kita tidak dibuat untuk multitask. Saat seseorang merasa dirinya ber-multitask, sebenarnya ia hanya berganti-ganti aktifitas dengan sangat cepat. Dan setiap kali ia melakukan hal ini, ada konsekuensi yang harus ditanggung.

Saat orang (merasa) melakukan multitask menyebabkan prefontal cortex dan striatum menghabiskan glukosa teroksigenasi. Kandungan ini yang memungkinkan seseorang berfokus pada pekerjaan. Saat (merasa) ber-multitask dengan cepat, maka kandungan ini terbakar cepat. Akibatnya, orang tersebut menjadi lelah dan linglung setelah beberapa waktu. Kelelahan kinerja secara kognitif dan fisik pun terjadi.

Berpindah-pindah aktifitas seperti ini pun juga memicu ketegangan. Hal ini mendorong hormon kortisol penyebab stress meningkat. Yang berakibat munculnya perilaku agresif dan impulsif. Bersamaan dengan proses ini, terjadi loop berupa feedback dopamine. Otak akan mudah hilang fokus. Otak pun akan mencari stimulasi eksternal yang memberikan efek kebaruan dan menyenangkan. Akibatnya, aktifitas yang baru atau ditunggu-tunggu bisa mengalihkan fokus dari aktifitas yang mungkin lebih penting.

Multitask - ilustrasi: motherjones.com

Sebuah studi di Universitas London mendapatkan fakta yang mengusik fikiran. Hasilnya, para peserta penelitian yang ber-multitask mengalami penurunan IQ. Penurunan IQ ini serupa efek merokok marijuana atau ganja, dan juga pada orang yang begadang semalam suntuk. IQ para peserta penelitian ini turun hingga 15 poin yang dapat dikatakan setara IQ anak usia 8 tahun. Sedang hasil studi University of Sussex mengungkap bahwa mutitask secara permanen merusak otak. Hasil scan MRI dari para multitasker tulen memperlihatkan pengecilan volume otak di bagian anterior cingulate cortex. Bagian ini berfungsi mengatur rasa empati dan kontrol emosi.

Multitask pun bukan hanya pada pekerjaan. Saat anak Anda menonton TV sembari sambil belajar juga merupakan multitask yang memberi efek tidak baik. Russ Poldrack, seorang neurologis di Stanford menemukan fakta mencengangkan. Jika anak belajar sambil melihat TV, informasi yang salah bisa masuk ke bagian otak yang salah. Informasi pelajaran masuk ke striatum, bagian yang menyimpan memori skill dan prosedur, bukan informasi tentang fakta dan pelajaran. Tanpa TV sebagai distraksi, informasi pelajaran harusnya masuk ke hippocampus agar mudah diingat kembali.

Walau hasil pasti akibat dari multitask masih belum final, namun hasil yang ada bis menjadi cerminan. Betapa otak kita memang bukan pekerja yang bisa segala hal dalam satu waktu. Baiknya memilah dan mengerjakan satu persatu pekerjaan bisa dilakukan. Memberi minimum-dose atau dosis hormon minimun pada otak saat bekerja memberikan efek kesehatan yang lebih baik. Menyelesaikan satu persatu pekerjaan dengan pencapain yang tuntas akan lebih memberi ketenangan. 


Salam,

Solo, 8 Maret 2016

07:00 am
(Reblog dari Kompasiana disini)