"Foodgasm - ilustrasi: firstwefeast.com" |
Nah lho, judul yang
saya fikir akan ambigu jika dipahami dengan baik. Dan memang apa yang coba saya
bahas disini membahas keambiguan tersebut. Sebuah realitas kehidupan
intra-kampus dan luar kampus yang kadang dianggap kehidupan yang sekarang
adanya. Pada keambiguan tadi, ada yang diuntungkan. Sedang pada sisi ambigu
lain, banyak pihak yang prihatin. Namun pada prakteknya, dua dunia kehidupan
mahasiswa berjalan. Saat satu sisi hidup di dunia yang terang benderang. Sisi
lain mencoba terus menggeliat di sisi kelam.
Karena kata 'jajan'
sendiri memiliki dua konotasi. Karena bisa saja, jajan yang dimaksud adalah
membeli sesuatu yang dianggap pelengkap. Kita membeli bakwan goreng adalah
jajanan. Walau perut sudah terisi nasi padang. Anak kita jajan permen,
karena tidak permen adalah pelengkap makan siang mereka. Dan tentu, makna
'jajan' yang lain adalah memiliki keinginan mencoba sesuatu yang baru. Seperti
istilah 'suami yang sering jajan'. Bukan berarti ia membeli permen atau
sekadar bakwan goreng. Jajan disini juga pelengkap. Yaitu mencari hasrat lain
dengan jalan icip-icip. Dan tentunya beragam alasan terjadi dalam tindak
esek-esek 'jajan'.
Mahasiswa Jajan
Potongan judul yang
saya ambil dan ini terjadi setiap hari di dalam dan sekitar kampus. Sebuah
fenomena yang sepertinya sejak anak menjadi siswa, tidak lepas dari kehidupan
di luar rumah. Mahasiswa pun jajan. Dan sering, jajannya lebih banyak, lengkap
dan mahal dari saat mereka SD/SMP/SMA. Mungkin karena mereka sudah besar,
sehingga uang jajan pun bertambah. Atau karena mereka merantau dari jauh.
Sehingga uang jajan jadi ekstra banyak. Siang dan pagi hari adalah waktu yang
tepat melihat mahasiswa jajan di kantin, warung atau minimarket terdekat.
Sayangnya, banyak
mahasiswa setelah jajan yang membuang sembarangan bungkus jajanannya. Di bangku
taman, di tempat duduk depan kelas, atau di pojok-pojok bangku umum, bungkus
jajanan berserakan. Mulai dari bungkus permen sampai botol air minum kemasan,
adalah pemandangan umum yang terjadi. Padahal yang saya lihat, tempat sampah
tidak jauh dari tempat mereka duduk. Kadang, tempat sampah penuh dengan sampah
bekas jajanan. Jadi akhirnya dibiarkan tergeletak seadanya. Mahasiswa jajannya
banyak dan sering. Sampai-sampai tempat sampah tidak mampu menampung.
Tidak ada yang salah
dengan mahasiswa jajan. Toh mereka punya uang dan mampu memakan jajanan mereka
sendiri. Yang memprihatinkan mungkin kesadaran mereka membuang bungkus jajanan.
Entah karena sejak kecil tidak diajarkan orangtua, membuang sampah serasa sulit
buat mahasiswa. Padahal mereka katanya adalah siswa yang sudah beranjak dewasa.
Mampu membedakan mana baik dan mana buruk. Namun sepertinya tidak dengan
membuang sampah.
Jajan Mahasiswa
Kalau untuk memahami
istilah ini, diperlukan 'investigasi' yang memvalidkan. Karena kali ini,
mahasiswa bukan subjek pelaku jajan. Namun mahasiswa menjadi objek. Dan secara
khusus, konotasi yang tercipta tentu tidak baik. Karena jajan mahasiswa erat
kaitannya dengan dunia prostitusi. Dimana dunia ini begitu samar, namun ada
disekitar kampus. Banyak yang menutup mata soal hal ini. Toh karena oknum-oknum
ini diuntungkan dengan bisnis esek-esek ini. Namun tidak sedikit juga yang
perduli untuk memberangus, atau setidaknya mengurangi mahasiswa yang terjun ke
dunia prostitusi.
Selain faktor ekonomi
menjadi pendorong mahasiswa terjun ke dunia ini, ada faktor lain. Mulai dari
diajak teman iseng-iseng sampai terjerumus oleh pacar adalah motif lain. Bahkan
mungkin ada juga tempat-tempat kos yang memang 'menjual' mahasiswi untuk
menjadi pelampiasan hidung belang. Istilahnya, ada mucikari yang sengaja
menampung mahasiswa di satu tempat. Lalu menjalankan bisnis sebagai kos seperti
biasa. Baik di kampus di kota besar atau pinggiran kota, bisnis menjual
mahasiswa untuk pemuas nafsu menjadi permasalahan tersendiri. Menggerebek kost
dan merazia penghuninya hanya menyentuh permukaannya saja.
Saya hanya prihatin
jika mahasiswa yang menempuh menjadi jajanan sepertinya hilang jati diri
mereka. Selain norma kesusilaan yang mungkin sudah tidak diindahkan, norma
agama mungkin juga dilupakan. Saat pesan orangtua mereka untuk menjaga diri,
mahasiswa lupa untuk melakukannya. Mungkin juga ada orangtua yang cuek, tapi
bukan salah mahasiswa. Karena mendidik anak bukan sekadar menyekolahkan. Namun
menjadikan anak seorang yang benar-benar memiliki integritas. Ketahanan
menjalani hidup mandiri tanpa harus terkulai lemah pada keadaan. Ada jalan yang
lebih baik daripada sekadar melacurkan diri demi uang atau kebahagiaan.
Lalu, Semua Menjadi Satu
Saat mahasiswa
menjadi jajanan, si mahasiswa pun membeli jajanan. Dengan uang yang mereka
dapat mereka bisa jajan snack dan cemilan semau mereka. Atau jajan baju atau
barang elektronik yang mungkin tidak terbayangkan bisa dibeli seorang
mahasiswa. Mereka yang terjerumus menjadi jajanan hidung belang, pun bisa jajan
dengan bebasnya. Membeli semua yang mungkin mereka belum pernah bayangkan
sebelum. Sebuah lingkaran nafsu yang tidak putus. Nafsu sebagai pemuas nafsu si
tukang jajan yang juga menjadi jajanan.
Salam,
Solo, 28 Februari 2016
07:54 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)
0 Comments: