Sunday, February 28, 2016

Mahasiswa Jajan, Jajan Mahasiswa

"Foodgasm - ilustrasi: firstwefeast.com"

Nah lho, judul yang saya fikir akan ambigu jika dipahami dengan baik. Dan memang apa yang coba saya bahas disini membahas keambiguan tersebut. Sebuah realitas kehidupan intra-kampus dan luar kampus yang kadang dianggap kehidupan yang sekarang adanya. Pada keambiguan tadi, ada yang diuntungkan. Sedang pada sisi ambigu lain, banyak pihak yang prihatin. Namun pada prakteknya, dua dunia kehidupan mahasiswa berjalan. Saat satu sisi hidup di dunia yang terang benderang. Sisi lain mencoba terus menggeliat di sisi kelam.

Karena kata 'jajan' sendiri memiliki dua konotasi. Karena bisa saja, jajan yang dimaksud adalah membeli sesuatu yang dianggap pelengkap. Kita membeli bakwan goreng adalah jajanan. Walau perut sudah terisi nasi padang. Anak kita jajan permen, karena tidak permen adalah pelengkap makan siang mereka. Dan tentu, makna 'jajan' yang lain adalah memiliki keinginan mencoba sesuatu yang baru. Seperti istilah 'suami yang sering jajan'. Bukan berarti ia membeli permen atau sekadar bakwan goreng. Jajan disini juga pelengkap. Yaitu mencari hasrat lain dengan jalan icip-icip. Dan tentunya beragam alasan terjadi dalam tindak esek-esek 'jajan'.

Mahasiswa Jajan

Potongan judul yang saya ambil dan ini terjadi setiap hari di dalam dan sekitar kampus. Sebuah fenomena yang sepertinya sejak anak menjadi siswa, tidak lepas dari kehidupan di luar rumah. Mahasiswa pun jajan. Dan sering, jajannya lebih banyak, lengkap dan mahal dari saat mereka SD/SMP/SMA. Mungkin karena mereka sudah besar, sehingga uang jajan pun bertambah. Atau karena mereka merantau dari jauh. Sehingga uang jajan jadi ekstra banyak. Siang dan pagi hari adalah waktu yang tepat melihat mahasiswa jajan di kantin, warung atau minimarket terdekat. 

Sayangnya, banyak mahasiswa setelah jajan yang membuang sembarangan bungkus jajanannya. Di bangku taman, di tempat duduk depan kelas, atau di pojok-pojok bangku umum, bungkus jajanan berserakan. Mulai dari bungkus permen sampai botol air minum kemasan, adalah pemandangan umum yang terjadi. Padahal yang saya lihat, tempat sampah tidak jauh dari tempat mereka duduk. Kadang, tempat sampah penuh dengan sampah bekas jajanan. Jadi akhirnya dibiarkan tergeletak seadanya. Mahasiswa jajannya banyak dan sering. Sampai-sampai tempat sampah tidak mampu menampung. 

Tidak ada yang salah dengan mahasiswa jajan. Toh mereka punya uang dan mampu memakan jajanan mereka sendiri. Yang memprihatinkan mungkin kesadaran mereka membuang bungkus jajanan. Entah karena sejak kecil tidak diajarkan orangtua, membuang sampah serasa sulit buat mahasiswa. Padahal mereka katanya adalah siswa yang sudah beranjak dewasa. Mampu membedakan mana baik dan mana buruk. Namun sepertinya tidak dengan membuang sampah.

Jajan Mahasiswa

Kalau untuk memahami istilah ini, diperlukan 'investigasi' yang memvalidkan. Karena kali ini, mahasiswa bukan subjek pelaku jajan. Namun mahasiswa menjadi objek. Dan secara khusus, konotasi yang tercipta tentu tidak baik. Karena jajan mahasiswa erat kaitannya dengan dunia prostitusi. Dimana dunia ini begitu samar, namun ada disekitar kampus. Banyak yang menutup mata soal hal ini. Toh karena oknum-oknum ini diuntungkan dengan bisnis esek-esek ini. Namun tidak sedikit juga yang perduli untuk memberangus, atau setidaknya mengurangi mahasiswa yang terjun ke dunia prostitusi.

Selain faktor ekonomi menjadi pendorong mahasiswa terjun ke dunia ini, ada faktor lain. Mulai dari diajak teman iseng-iseng sampai terjerumus oleh pacar adalah motif lain. Bahkan mungkin ada juga tempat-tempat kos yang memang 'menjual' mahasiswi untuk menjadi pelampiasan hidung belang. Istilahnya, ada mucikari yang sengaja menampung mahasiswa di satu tempat. Lalu menjalankan bisnis sebagai kos seperti biasa. Baik di kampus di kota besar atau pinggiran kota, bisnis menjual mahasiswa untuk pemuas nafsu menjadi permasalahan tersendiri. Menggerebek kost dan merazia penghuninya hanya menyentuh permukaannya saja.

Saya hanya prihatin jika mahasiswa yang menempuh menjadi jajanan sepertinya hilang jati diri mereka. Selain norma kesusilaan yang mungkin sudah tidak diindahkan, norma agama mungkin juga dilupakan. Saat pesan orangtua mereka untuk menjaga diri, mahasiswa lupa untuk melakukannya. Mungkin juga ada orangtua yang cuek, tapi bukan salah mahasiswa. Karena mendidik anak bukan sekadar menyekolahkan. Namun menjadikan anak seorang yang benar-benar memiliki integritas. Ketahanan menjalani hidup mandiri tanpa harus terkulai lemah pada keadaan. Ada jalan yang lebih baik daripada sekadar melacurkan diri demi uang atau kebahagiaan.

Lalu, Semua Menjadi Satu

Saat mahasiswa menjadi jajanan, si mahasiswa pun membeli jajanan. Dengan uang yang mereka dapat mereka bisa jajan snack dan cemilan semau mereka. Atau jajan baju atau barang elektronik yang mungkin tidak terbayangkan bisa dibeli seorang mahasiswa. Mereka yang terjerumus menjadi jajanan hidung belang, pun bisa jajan dengan bebasnya. Membeli semua yang mungkin mereka belum pernah bayangkan sebelum. Sebuah lingkaran nafsu yang tidak putus. Nafsu sebagai pemuas nafsu si tukang jajan yang juga menjadi jajanan.

Salam,

Solo, 28 Februari 2016

07:54 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)

Author:

0 Comments: