Children Playing Toys - ilustrasi: parentinghub.co.za |
Putri saya yang berusia 3 tahun
saat ini sudah 'agak' malas membereskan mainannya. Ledakan kosakata yang ia
miliki, membuatnya pintar membuat alasan. Ditambah, teman sepermainan yang juga
malas membereskan mainan membuat putri saya ogah-ogahan. Dengan alasan karena
temannya juga main tapi temannya pulang, lalu ia pilih tidak mau membereskan.
Ada sekali waktu ia malas membereskan mainannya karena capek. Capek bukan ia
kelelahan, namun karena kelamaan bermain. Lama kelamaan, saya sebagai orangtua
juga agak senewen melihat rumah acak-acakan. Ancaman membuang mainannya pun
saya lakukan. Karena saya sudah beberapa kali diperingatkan, maka pernah sekali
waktu saya benar buang mainannya. Ancaman bukanlah hal yang baik. Dan saya akui
itu.
Selain
mengajarkan tanggung jawab pada anak, membereskan mainan saya kira mencerminkan
hal lain. Hal yang kadang orangtua seperti saya sepelekan. Atau beberapa
orangtua malah lebih pilih membereskan mainan anaknya daripada kesel sendiri
meminta anaknya membereskan mainan. Dari waktu ke waktu, mungkin sifat ini
mencegah 'konflik'. Tapi dari waktu ke waktu, anak juga memahami pola
orangtuanya. Kalau ada orangtua, maka mainan akan dibereskan. Tanggung jawab
anak pun diragukan bisa menjadi kebiasaan dalam hidupnya kelak. Atau malah anak
bergantung kepada orangtuanya saat bermain. Karena ia tahu dan faham pola
bermain. Mainan akan dibereskan orangtua.
Atau
mungkin juga ada orangtua yang membentak anaknya untuk membereskan mainannya.
Bisa saja dengan menangis anak akan membereskan mainannya. Apa yang mungkin
terekam anak? Bermain dengan mainan berarti dimarahi orangtuanya nanti. Karena
anak tidak melihat pra-bermain dan paska-bermain. Namun bermain dengan mainan
adalah satu proses utuh. Saat orangtua memarahi anak tiap kali tidak
membereskan mainannya, maka bermain mainan sama dengan dimarahi. Apalagi saat
orangtua mengawasi, mungkin ada kesan 'monster' bagi anak. Lalu kenapa
orangtua membelikan anaknya mainan jika untuk dimarahi? Senangnya anak
hanya saat membeli. Namun derita anak saat bermain dengan mainannya, akan lebih
menyiksa saya fikir.
Ada hal
yang menarik yang saya fahami saat anak saya dan teman sepermainannya bermain.
Bisa jadi, pola anak bermain dengan mainannya di rumah tercermin saat ia
bermain di rumah temannya. Seperti teman sepermainan anak saya yang datang
main, lalu tinggal keluar begitu saja. Walau sudah diingatkan istri untuk
membereskan mainannya kalau sudah selesai, tapi beberapa kali anak ini
malah ngluyur pulang.
Apa mungkin si anak tadi tidak diajarkan membereskan mainan di rumah? Tidak
juga. Karena beberapa kali saya perhatikan, saat orangtua si anak menjemputnya
untuk pulang, si anak membereskan mainan. Tentunya dengan perintah orangtua si
anak. Berarti ia mau membereskan jika diperintah orangtuanya. Jadi kesan
'monster' yang saya utarakan di atas bisa jadi benar adanya.
Hal
terpenting agar kita tidak menyepelekan membereskan mainan kiranya adalah
pemahaman 'konsekuensi'. Konsekuensi adalah by-product dari tidak
bertanggungjawab. Saya mencoba menghilangkan, ancaman agar anak membereskan
mainannya. Karena takut ia anggap saya 'monster'. Maka cukup saya peringatkan
saja. Jika beberapa kali saya peringatkan, tetap saya coba tidak memberi
ancaman. Saya membantunya membereskan. Tentu bukan membereskan semuanya, tapi
menolong ia agar mau membereskan. Juga saya coba tidak pasang wajah cemberut
saat menolongnya. Karena saya yang menawarkan bantuan, maka saya harus ikhlas.
Tidak pula ada rasa kesel atau marah saat memasukkan mainannya ke kotak. Saya
selalu ingat, karena saya yang mau menolongnya.
Kenapa
saya yakin, jika saya menolongnya membereskan mainannya sekali, ia akan mencari
saya untuk menolongnya lain waktu. Dan memang benar adanya saat ini. Terus saya
coba pasang senyum dan hati senang saat menolongnya. Karena saya yakin, anak
akan faham kemana harus meminta tolong. Saat ia dewasa, ia tahu kemana harus
meminta tolong. Bukan ke orang lain, tetapi ayah ibunya sendiri. Karena ia
ingat siapa yang membantunya saat kecil membereskan mainan. Karena mainan
adalah hal terpenting saat ia kecil. Maka hal penting dan pelik saat ia dewasa,
ia tahu kemana harus mengadu dan meminta bantuan.
Salam,
Solo, 18 Februari 2016
08:30 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)
0 Comments: