Friday, April 20, 2018

Siapkan Anak Kita Per(ang)gi ke Sekolah

Siapkan Anak Kita Per(ang)gi ke Sekolah

Snapshot Pemukulan Siswa SMP oleh guru - foto: jabar.tribunnews.com
Baru-baru ini, viralnya seorang guru memukuli seorang siswa SMP membuat kita terenyuh. Walau tempat kejadiannya masih diusut, namun kesan yang timbul mengerikan. Tidak semengerikan saat saya menonton tinju bahkan MMA yang sedang digandrungi. Namun begitu dahsyat (raw) dari 36 detik video tadi membuat saya sebagai orang tua prihatin sekaligus takut.
[EDIT] Kabar berita terbaru, bahwa pelaku pemukulan adalah sesama siswa di sebuah SMK di Pontianak. Namun, ada pula kabar yang mengungkap pemukulan ini dilakukan oleh orangtua yang tidak terima anaknya dilecehkan secara seksual. (Berita disini)
Alih-alih mengantar pergi anak saya sekolah nanti. Saya akan mengantarkan mereka perang. Apa sih yang tidak ada di sekolah dan lingkungannya?
Mulai dari kasus perundungan, asusila, penculikan, gedung roboh, sampai peristiwa keracunan atau peristiwa kesurupan ada di sekolah. Seolah sekolah adalah panggung dari pahitnya realitas hidup. Saat anak sewajarnya mendapat pendidikan laik dan mumpumi, yang terjadi kadang tidak demikian. Ada rasa was-was, syak wasangka, bahkan ketakutan saat anak pergi ke sekolah.
Saya pun yakin tidak semua sekolah atau tingkat sekolah mengalami isu tersebut. Namun apa yang terjadi dan terulang juga diberitakan memang tidak sepositif apa yang dilihat dan dirasa. Semua peristiwa ini seolah menyiratkan beberapa hal darurat dalam pendidikan di Indonesia secara menyeluruh.
Pertama, sekolah seakan memagut faham ono rupo ono rego. Sekolah apa yang paling aman, tenteram, dan membuat anak kita punya daya saing? Ya tentu sekolah swasta mahal. Sekolah yang dijaga kualitas dan kuantitasnya pada domain seberapa besar SPP dan uang gedung yang dibayarkan. Mulai dari fasilitas, staf sekolah, guru sampai sekuriti dijamin kehandalannya. Anak kita akan dijaga dan dibuat pintar sesuai apa yang diimpikan orang tua.
Jatuhnya, orang miskin dan tidak mampu memilih anaknya bersekolah di "pokoknya sekolah'" Sekolah yang gurunya saja digaji sepertiga dari UMP Jakarta. Sarana dan prasarana menyesuaikan setoran bulanan dan uang gedung. Orang tua tidak bermimpi banyak anaknya bisa menggantikan BJ Habibi nanti. Setidaknya ia tidak nganggur di rumah dan digosipi tetangga menyoal anaknya yang putus sekolah.
Kedua, pemegang otoritas sudah waktunya memijakkan sistem pada satu fundamen pendidikan nasional. Terlepas dari sistemnya yang gonta-ganti sesuai titah menteri, cukup sistem tunggal dengan penyempurnaan seiring waktu. Usah lagi mencari duit cipratan proyek kurikulum dengan sebutan yang begitu eksostis, namun hasilnya nol. Bahkan saat hasil belum muncul, sudah dibredel dengan sistem baru.
Kekacauan sistem yang mempengaruhi profesi guru, ranah pedagogis, dan cakupan administratif pun terjadi. Dampaknya pun pada siswa, sekolah dan kualitas generasi yang tercipta. Inilah hasil generasi uji coba Sisdiknas yang kadang hanya sekadar mengikuti ego rezim dan tren global. Sistem yang kadang lupa di mana ia berpijak selama lebih dari 70 tahun kita merdeka. Uji trial and error Sisdiknas kini sudah terlalu banyak error-nya daripada goodness-nya.
Saya kira pun tak sedikit cendekia dan praktisi pendidikan negeri ini. Mereka bisa urun rembug untuk menyusun Sisdiknas tunggal dan visioner yang tidak lekang oleh zaman. Sistem yang tidak jauh berbeda 30 sampai 50 tahun lagi. Sistem dinamis namun fundamental yang didasarkan falsafah hidup dalam kebhinnekaan.
Ketiga, kasus-kasus "mengerikan" di atas mungkin urung dihapuskan menyeluruh. Namun mencegahnya berulang di lain tempat dan waktu kiranya bisa diusahakan. Urgensi pengawasan dan pemberdayaan pihak terkait di sekolah dan dinas sudah tinggi. Sedang seolah pemegang otoritas hanya bertindak saat terjadi dan terliput media. Tindakan preventif dinafikan, sedang tindakan kuratif tak jua menyembuhkan penyakit ini.
Jika kasus-kasus di atas terus terulang dan menjadi ritual kuratif belaka, orang tua mana yang tidak khawatir? Anak saya dan Anda mau jadi apa nanti di sekolah? Sekolah seolah penjara kecil bagi anak. Ia mengurung anak setengah hari. Ada hukuman verbal dan fisik, baik dari guru/teman. Ada makanan yang bernarkoba/beracun pun ditawarkan. Belum lagi ditambah tawuran antar siswa/sekolah. 
Anak kita seakan diciptakan untuk menghadapi kerasnya (bahkan kejamnya) hidup di sekolah. Anak kita diberikan sedikit bahkan tidak sama sekali nilai, norma, dan pengetahuan. Entitas-entitas pengembang dan penguat karakter dan ilmu untuk masa depan mereka menjadi kian nihil. Bekali saja anak kita dengan bela diri dan latihan fisik agar kuat berkelahi. Latih mereka bermuka tembok dan acuh pada cemoohan. Sehingga tidak timbul empati dan simpati dari mereka agar tidak dibodohi dan dimanfaatkan orang lain di sekolah.
Mungkin artikel ini terkesan fatalistik dan mengeneralisasi. Namun apa yang terjadi di sekolah dan sistem pendidikan kita beginilah adanya. Saat banyak yang berwacana memperbaiki semua, tarafnya tidak sampai aktualisasi. Terlalu akut sudah penyakit dalam pendidikan kita. Dan saya kira, tidak cuma saya sebagai orang tua khawatir akan apa yang terjadi. Bagi para pendidik, praktisi, dan cendekia ranah edukasi, hal ini menyiratkan gercep pembenahan holistik.
Salam,
Solo, 20 April 2018

10:39 pm
Reblog dari Kompasiana di sini

Monday, November 14, 2016

5 Alasan Mengapa Harus Gabung Kompasiana

5 Alasan Mengapa Harus Gabung Kompasiana

Ilustrasi. listhatcher.com
Tak terasa sudah 3 tahun lebih saya nangkring di Kompasiana. Dari mulai mondar-mandir jadi silent reader. Sampai ikutan teman jadi Kompasianer, sudah 600-an artikel saya buat. Dari verifikasi penulis hitam, hijau sampai biru sudah saya lalui. Dari syarat administrasi unggah KTP sampai bertemu wajah di kantor Kompasiana juga sudah pernah. Dari sekadar bersapa di kolom komentar, sampai ngobrol asyik di Nangkring juga sempat dilakukan. Betah juga saya di Kompasiana.

Lalu kenapa harus di Kompasiana? Saya pribadi punya blog sendiri. 

Pertama, karena Kompasiana 'besar'. Maksudnya secara literal dan implisit. Karena Kompasianer sampai saat ini mencapai ratusan ribu, artikel kita bisa banyak dibaca. Beda dengan follower blogspot saya. Apalagi termaktub eksplisit brand 'Kompas' di Kompasiana. Memang dulu Kompasiana hanya digunakan jurnalis internal Kompas. Namun mengubahnya menjadi situs publik memang mendatangkan hasil. Semua berkat kerja keras bung Pepih tentunya. 

Secara implisit pun Kompasiana besar gaungnya. Sudah banyak sumber berita portal berita mainstream memetik artikel di Kompasiana. Bertahan sampai tahun 2016 pun tentu menjadikan Kompasiana 'senior' di bidang citizen journalism. Sempat muncul artikel Kompasianer di Harian Kompas sebagai apresiasi admin dulu. Namun program ini hilang. Sempat pula ada KompasianaTV. Yang di mana saya pernah numpang eksis beberapa kali, pun hilang di awal tahun ini. 

Sebenarnya 2 program apresiasi Kompasiana tadi menjadi sebuah timbal-balik. Namun entah kenapa dihilangkan? Namun apresiasi tinggi Kompasiana dalam bentuk Kompasianival pun sangat membanggakan. Bagi para calon penerima award Kompasianival tentu menyenangkan. Menjadi sebuah point penting dalam portofolio hidup. 

Pun bisa menjadi cerita membanggakan tersendiri jika bisa dianugrahi salah satu award-nya. Kebetulan saya belum? #BukanPromosi :-)

Kedua, karena Kompasiana adalah media belajar menulis yang berkesan. Baik menulis formal, non-formal dan informal semua bisa di sini. Tulisan serupa jurnal pun sering saya tulis. Apalagi untuk buat sebuah blog competition. Banyak referensi buku atau jurnal saya cantumkan. Tulisan non-formal seperti laporan Nangkring atau reportase suatu event atau tempat banyak pula dibuat. Atau sekadar curhat dengan bahasa sehari-hari juga ada. 

Berwarna, itulah model tulisan di Kompasiana. Walau ada juga tulisan copas atau hoax, admin sudah berusaha memfilter hal ini. Dengan model prosa atau puisi, banyak juga penulis hebat menjadi referensi saya menulis disini. Ada pejabat, penulis novel, akademisi, praktisi, diaspora, dll adalah rupa-rupa Kompasianer. Dan mungkin juga ada orang-orang besar yang mungkin 'bersembunyi' di akun anonimus Kompasiana. Dulu pernah heboh akun Gayus beredar di Kompasiana. #SudahDiPetiEs?

Komentar pedas, manis, asem atau pahit pernah saya terima di artikel saya. Dengan cara 
inilah saya 'dilatih' menjadi penulis. Tulislah artikel politik dengan judul yang mengundang decak kagum. Jangan heran hater/lovers akan segera nimbrung di artikel semacam ini. Dan kadang malah saya yang membuat artikel terkekeh sendiri melihat gontok-gontokan di kolom komentar. Tapi itulah dinamika aspirasi pro-kontra satu isu.
Sumber: www.quotesfrenzy.com
Ketiga, karena banyak blog competition di Kompasiana. Tak ayal hal ini pun mengundang banyak orang ingin bergabung di sini. Hadiahnya pun lumayan daripada menulis artikel di blog denganrate blogger yang standar. Nama-nama besar produsen produk dan jasa sudah pernah membuat blog competition. Dari pihak swasta maupun instansi pemerintah daerah dan pusat juga pernah memajang blog competition mereka. Hebat.

Sudah sering kali saya pun ikutan blog competition. Sayang seribu sayang, tidak pernah menang. #CurCol. Hadiah yang benar-benar pernah saya terima dulu adalah sebuah printer plus scanner. Saya sangat bersyukur sekali menjajal dan mereviewnya. Printer gratis dan 
hanya 'dibayar' 2 tulisan membuat saya sendiri heran. Kata-kata yang saya buat mewujud dalam bentuk printer

Keempat, karena Kompasiana dianggap referensi 'valid' karya ilmiah. Mungkin hal ini masih tentatif untuk parameter ilmiah. Namun artikel saya sendiri sudah hampir 4 kali dijadikan referensi karya ilmiah. Saya Google akun nama dan muncullah beberapa PDF anstrak dan konten lengkap karya ilmiah dari beberapa universitas di Indonesia yang mengutip artikel saya. Membanggakan tentunya. 

Artikel yang kita buat dianggap memiliki indikator 'berisi'. Dan wajar jika mahasiswa atau peneliti mengutip artikel kita. Dan dalam hal ini tentu harus ada link di mana artikel kita ditaut. Sebuah konvensi yang sama-sama menguntungkan. Walau ada juga artikel ilmiah yang salah mengutip nama saya menjadi Lukmato. #NggaApa2

Kelima, karena Kompasiana adalah keluarga Indonesia. Ini yang saya rasakan saat jauh dari tanah air. Dengan Kompasiana, muncul rasa memiliki tanah air air yang lebih banyak. Banyak tulisan Kompasianer di luar negri yang inspiratif. Artikel mereka memberikan analogi, saran, kritik untuk negri sendiri. Dan semua untuk membangun negri sendiri tentunya.

Dan kolom Kompasiana pun menjadi ajang 'silaturahim' Kompasianer. Tidak perlu formal-formal sekali dalam berkomentar. Namun juga harus menjaga etika yang biasanya kita lakukan saat mengobrol saja. Ada pula komentar lucu dan sarkas. Tapi itulah dinamika 'keluarga' Indonesia di Kompasiana. Kompasiana adalah gambaran kecil Indonesia.

Pada akhirnya, sungguh ingin saya hadir Kompasianival sekali waktu. Mungkin banyak penasaran wajah saya seperti apa? Mungkinkah ganteng atau menawan? #Halah. Ingin merasakan bangganya menjadi orang Indonesia di Kompasianival. Berjumpa dan bertegur sapa dengan Kompasianer dari segaa penjuru Indonesia dan dunia, mungkin. 

Dan tentunya ingin terus bersumbang tulisan untuk Indonesia. Walau sederhana atau malah berkesan sangat subjektif. Namun inilah perspektif saya sebagai anak bangsa untuk negerinya. 

Salam,

Wollongong, 14 November 2016

11:00 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)

Saturday, July 2, 2016

Menulis dengan Prinsip GWIGWO

Menulis dengan Prinsip GWIGWO

Reading - ilustrasi: blog.writersdomain.net
Mungkin belum banyak yang tahu singkatan GWIGWO. Namun, saya pikir hal ini sudah sering dilakukan. Dalam menulis artikel di media apa pun, GWIGWO sudah sering dilakukan. Agak mustahil jika aktivitas ini tidak dilakukan. GWIGWO adalah singkatan Good Writing In, Good Writing Out. Dalam terjemah bahasa Indonesia sederhana, tulisan bagus masuk, tulisan bagus keluar. Membaca karya tulisan bermutu, maka akan muncul karya tulis bermutu pula.

Benarkah demikian?

Membaca buat saya sendiri seperti konsumsi makanan. Mulai dari koran, artikel di portal berita, novel, dan buku teks menjadi makanan sehari-hari saya. Walau lama membaca novel tentunya tidak selama membaca koran. Saya sendiri banyak membaca novel thriller, horor dan crime. Kebanyakan pula hasil terjemahan. Beberapa dengan tetap bahasa Inggris.

Saat ini saya membaca Torture Garden karya Octave Mirbeau. Novel ini berkisah tentang pembunuhan sadistik berkesan psikotik. Mungkin bagi banyak orang novel ini tidak bermutu, tapi tidak dengan saya. Saya pun menyenangi novel klasik Inggris karya Charles Dickens dan George Elliot. Banyak yang 'jijay' melihat novel klasik ini karena tebal dan berbahasa Inggris. Apalagi deskripsi diksi karya George Elliot yang detail dan panjang bisa menjemukan bagi sebagian orang. Atau novel-novel wayang karya Pitoyo Amrih, Seno Gumira Aji Darma dan Agus Sunyoto yang saya kira bagi sebagian orang dianggap kuno. 

Jadi ukuran bagus atau bermutu bagi setiap orang akan tentu berbeda? Namun yang menjadi dasar GWIGWO buat saya sendiri bisa dipetakan menjadi beberapa poin:


  1. Memperkaya diksi. Semakin banyak membaca, maka semakin banyak kosakata. Ya itu benar adanya. Bahkan kata seperti kata cinding dan pullulation baru saya tahu. Lain kali menulis, kata-kata seperti ini bisa saya gunakan. Tentu dalam hal ini tidak selamanya kata baru menyampaikan konteks arti yang diinginkan. Namun, kata baru akan memberi kesan wah untuk pembaca tentunya.
  1. Memperdalam style atau gaya menulis. Yang saya amati, novel seperti Scorch Trial karya James Dashner jauh berbeda dengan gaya menutur James B. Stewart dalam novelnya Blind Eye. Target pembaca Scorch Trial tentu anak muda, sedang tidak dengan Blind Eye. Sehingga style-nya pun berbeda. Atau detail yang begitu panjang dalam Grotesque karya Natsuo Kirino, berbeda dengan fase cepat dalam The Missing karya James Mooney. Walau kedua-duanya sama-sama mencekamnya.


Write - ilustrasi: polyvore.com
Jadi, Good Writing sendiri menjadi esensi relatif bagi setiap orang. Tidak semua orang suka bacaan tekstual serupa modul kuliah. Namun, tidak dapat disangkal banyak juga yang suka bahasa formal. Tidak semua orang suka membaca novel horor, psikopat, atau thriller. Juga banyak pula yang begitu hanyut dalam novel romansa dan epos. Semua orang memiliki selera atas karya atau tulisan yang dianggap bermutu.

Namun, tentunya semakin banyak membaca, naluri memahami bacaan bagus atau tidak jadi terasah. Semakin menyelami satu genre tertentu, semakin peka alur cerita yang benar-benar captivating atau sekadar basa-basi. Sehingga, Good Writing menjadi sebuah akumulasi membaca dari yang kiranya level sederhana ke level yang lebih advanced. Dan dalam hal ini, konsistensi saya kira menjadi kunci.

Maka setelah berkutat dan diekspos pada karya tulis bermutu, muncullah Good Writing diri. Dan hal ini saya kira menjadi satu siklus yang utuh. Tidak ada yang terlahir bisa menulis panjang sebelum ia membaca terus-menerus. Seperti Stephen King pernah berkata:

"If you want to be a writer, you must do two things above all others: read a lot and write a lot. There's no way around these two things that I'm aware of, no shortcut."

Jadi esensi GWIGWO memang harus dipegang teguh bagi mereka yang benar-benar ingin menjadi penulis. Dan penulis bisa berarti novelis, cerpenis, kolumnis, akademisi atau peneliti, dsb. Memaparkan diri ke karya yang bermutu dianggap perlu untuk menelurkan karya yang bermutu adanya.

Salam,

Solo, 2 Juli 2016

11:00 am
(Reblog dari Kompasiana disini)

Friday, March 25, 2016

Komentar Terus, Kapan Nulisnya?

Komentar Terus, Kapan Nulisnya?

Adding Comment - ilustrasi: www.melhamada.com

Melanjutkan artikel saya, Membaca Terus Kapan Nulisnya. Tulisan ini kembali melongok diri saya pribadi. Entah kenapa, kalau sudah lama tidak menulis inginnya hanya menulis komentar. Sekadar nimbrung komentar pada artikel Kompasianer yang hot dan bergas, jadi sering saya lakukan. Seolah masih ingin eksis di Kompasiana, berkomentar pun saya lakukan. Beberapa Kompasianer yang kebetulan saya kenal, masih mau membalas komentar. Yang baru juga pun ada. Ada juga Kompasianer yang bertanya kemana saja. Antara sibuk dan sok sibuk, menulis disini jadi jarang dilakukan. Kalau saya hitung hampir 2 minggu berlalu tanpa 1 artikel yang dibuat.

Ada beberapa draft tulisan saya yang belum sempat di-publish. Entah mengapa, kadang setengah jalan terhenti menulisnya. Atau tiba-tiba ada urusan yang haru diprioritaskan. Ingin segera melanjutkan artikel untuk segera di-publish. Tapi ide serasa sudah luntur. Terasa pendaran inspirasi dulu ketika menggebu menulisnya meredup. Karena meredup, akhirnya ide yang masih terang saya coba tulis saja. Ya serupa tulisan sederhana ini. Mau mencoba memahami, kenapa saya lebih senang berkomentar daripada menulis artikel sendiri.

Alasan pertama, mungkin mengisi waktu di Kompasiana. Daripada menjadi silent reader, mungkin numpang komentar bisa melepas penat. Apalagi ada artikel kawan Kompasianer yang aduhai indahnya, jari rasanya ingin mengapresiasi dengan vote dan komentar. Lalu, lama kelamaan jadi asyik sendiri menebar komentar. Yang tadinya ada ide menulis, mulai meredup sendiri. Dalam hati beralasan, idenya ditulis nanti saja. Yang kadang, nanti itu berarti tidak sama sekali.

Alasan kedua, menjaga tali perkawanan di Kompasiana. Saya yakin, komentar yang dibuat lebih dari sekadar apresiasi. Ada makna persahabatan disana. Juga bukan asal cuap-cuap artikel teman Kompasianer lain. Ada ikatan 'keluarga Kompasianer' dibalik setiap komentar. Kadang juga banyak terselip doa dalam komentar. Juga, dalam komentar akan pula dapat merangkul teman baru di Kompasiana. Entah dia mem-follow atau kita follow, aktivitas Kompasianer tersebut akan terlihat dinamikanya. Dari komentar sederhana di dunia maya, ada rasa ingin jumpa nantinya di dunia maya.

Alasan ketiga berkomentar mengafirmasi keinginan untuk menulis. Ya seperti tulisan ketebelece saya ini. Karena beberapa hari ini di Kompasiana hanya numpang komentar. Akhirnya ingin menulis kenapa saya lebih suka komentar. Akun saya bukan akun tuyul, siluman atau bayaran yang cuma tabrak komen lalu kabur. Yang pastinya, akun-akun seperti ini memiliki niat yang kurang baik. Buat saya berkomentar harus hati-hati. Dibalik artikel dan pesannya, ada hati dan perasaan si penulis yang harus dijaga. Dan baiknya menjadi bijak dalam berkomentar. Walau beromentar di dunia maya, kadang rasa yang muncul terbawa ke dunia nyata. (Lihat artikel saya: Ctrl+W atau Submit, Be Wise)

Mungkin alasan Kompasianer lain disini berbeda-beda menyoal kenapa terus berkomentar. Mungkin karena ada yang sedang dalam perjalanan. Sehingga hanya dengan HP dan bukan laptop mengunjungi Kompasiana. Ada juga yang memang sedang 'berpuasa' menulis demi mendapat tulisan yang bermutu. Atau, memang memilih jalan sunyi untuk sekadar berkomentar di Kompasiana. Apapun alasan itu, berkomentar tidak menjadikan Kompasianer makna Kompasianis.

Salam,

Solo, 25 Maret 2016

11:18 am
(Reblog dari Kompasiana disini)

Thursday, January 8, 2015

Pintarnya Mahasiswa Beralasan

Pintarnya Mahasiswa Beralasan

1414101440907333066
(ilustrasi: mbasic.facebook.com)

Menjelang Ujian Tengah Semester minggu ini, ada fenomena 'umum' yang terjadi (lagi). Ujug-ujug (tiba-tiba, Jawa) ada mahasiswa semester atas masuk kelas. Sudah 7 pertemuan, saya belum pernah melihatnya, Kini si mahasiswi itu ikut kelas dan duduk serasa tak berdosa. Saya diamkan dan silahkan mengikuti kelas. Memang, pada kelas menjelang UTS, biasanya saya mafaatkan untuk mendiskusikan materi dan latihan. Si mahasiswi ini mungkin sudah faham kalau kelas saya demikian. Karena mahasiswa senior atau revisi biasanya sudah faham masing-masing karakteristik dosen.

Selesai jam diskusi di kelas, si mahasiswi ini datang ke arah saya. Dengan tanpa dosa, ia meminta saya untuk mengganti ketidakhadirannya dengan tugas. Ia beralasan, banyak, tentang PPL (Praktek Pengalaman Lapangan) yang menyulitkan ia untuk dapat hadir di kelas saya. Karena tidak bisa mendapat ijin mengikuti kuliah dari sekolah ia harus melewatkan 7 pertemuan lalu, Dan, pada pertemuan akhir sebelum UTS ini, ia baru bisa masuk ke kelas saya.

Dengan panjang dan lebar ia jelaskan alasannya. Ia berdalih pula kalau saya sulit sekali ditemui di kampus. Namun, saya jelaskan bahwa kehadiran juga termasuk penilaian saya. Begitupun tugas individu dan kelompok yang harus dikumpulkan atau dibahas saat pertemuan. Jadi intinya, mahasiswi ini tidak saya berikan pengganti tugas atas ketidakhadirannya. Dan, silahkan ikut UTS dengan sesuai pemahamannya.

Gagal Faham Mahasiswa

Mahasiswi ini pun memohon dan menghiba agar bisa mendapat nilai tugas dan kehadiran. Ia bilang ia tidak ingin mengulang atau merevisi mata kuliah yang saya ampu. Dan dengan wajah memelas ia memandang saya. Namun, tentunya ia tetap akan tidak saya berikan penggati. Biarkan ia mengulang dan memahami makul yang sama. Dan juga, memahami pentingnya unggah-ungguh dalam berinteraksi dengan dosen.Ada beberapa hal yang saya kira gagal dipahami mahasiswi ini.

Pertama, meminta maaf atas ketidakhadirannya. Yang malah dilakukannya adalah langsung meminta tugas pengganti. Dan dengan cepat langsung mengutarakan beribu alasan. Yang memang masuk akal. Namun secara normatif tidak bisa diterima. Saya yakin mahasiswi ini merasa bersalah sudah meninggalkan 7 pertemuan. Namun, hatinya tetap merasa 'benar' dengan logika alasannya. Sayangnya, secara unggah-ungguh atau sopan santun gagal memahami pentingnya meminta maaf.

Membolos tanpa kejelasan selama 7 pertemuan untuk beberapa dosen, berarti tidak bisa mengikuti UTS. Bagi saya, saya persilahkan. Dengan konsekuensi nilai tugas dan kehadiran sebelum UTS kosong. Dan merasa salah dan mengakui kesalahannya dengan meminta maaf harusnya dilakukan. Dan hal ini, dilakukan saat pertama kali menghadap. Tentunya dengan tulus dan sepenuh hati. Tentunya, saya akan berfikir lain tentang mahasiswi ini jika ia meminta maaf terlebih dahulu.

Kedua, mahasiswi ini gagal faham administrasi. Dengan mengisi daftar hadir, sudah menjadi nilai buat dosen. Kehadiran juga adalah aspek yang masuk penilaian normatif. Karena rajin dan aktif di kelas, UTS tentunya hanya sekadar mengulang pemahaman saat masuk kelas dan berdiskusi. Dan secara administratif membubuhi daftar hadir juga adalah syarat untuk UTS. Biasanya, syarat mengikuti UTS adalah kehadiran minimal 75% dari pertemuan sebelum UTS/UAS.

Andai saja, si mahasiswi menyempatkan diri bertemu saya untuk menghaturkan izin tidak mengikuti kuliah. Kejadiannya mungkin akan berbeda. Karena ia sebenarnya tahu PPL yang dilakukan akan mengganggu kehadiran kuliah makul lain. Dan sejak awal PPL, ia seharusnya membuat surat keterangan. Surat yang dibuat pihak terkait atau sekolah mitra PPL yang menginformasikan mahasiswi ini akan izin tidak mengikuti kuliah. Atau sekadar bertemu saya dan memohon izin, juga tidak ia lakukan. Malah berdalih sulit ketemu saya. Padahal HP saya selaluon dan bisa bertemu saya jika janjian terlebih dahulu.

Tidak ada dosen yang menghalangi mahasiswanya untuk mendapat nilai terbaik. Namun, selama si mahasiswa atau mahasiswi tidak proaktif akan nilai yang akan diraihnya nanti, percuma menghiba nilai. Nilai makul bukanlah produk atau hasil dari mengikuti makul tertentu. Nilai adalah proses aktif dan proaktif mahasiswa sendiri. Aktif dengan turut serta secara adminsiratif proses perkuliahan. Proaktif menjalin komunikasi dan hubungan akademis dengan dosen. Merupakan cara-cara mendapat nilai yang baik.
Salam,

Solo, 07 Januari 2015

11:46 am
(reblogged dari Kompasiana di sini)

Friday, January 2, 2015

ANTV, Stasiun Televisi Paling Malas di Indonesia

ANTV, Stasiun Televisi Paling Malas di Indonesia

(ilustrasi: deviantart.com)
(ilustrasi: deviantart.com)
Akhirnya, saya bisa benar-benar yakin. Jika ANTV adalah stasiun paling malas di Indonesia. Televisi yang berbasis hiburan ini, saya berani bilang paling malas. Dari 21 rundown acara selama satu hari saja (hari ini Senin 3 November 2014), dari 21 acara 13 diantaranya adalah produk impor. 13 acara ini berupa film-film kartun, serial silat dan epik luar negri. Sisanya, 8 acara adalah acara kuis, lawak konyol-konyolan, berita dan reality show hantu-hantuan. Sehingga, saya membayangkan, setiap hari studio-studio di ANTV sepi. Para crew dalam divisi tim kreatif tidak berbuat apa-apa. Tidak ada inovasi selain banyak-banyak menayangkan serial asing, lagi dan lagi.

Masha & The Bear adalah serial kartun yang di-rerun (ulang) dua kali dalam sehari. Tepat pada pukul 06:00 pagi dan 13:30 siang serial kartun asal Rusia ini nongol. Dan tidak tanggung-tanggung, durasi tayangnya mencapai 3 jam sampai pukul 9:00. Walau kadang diselipi kartun-kartun lawas sepertiWoody Woodpecker. Masha & The Bear kembali (lagi) tayang pukul 13:30. Tentu dengan seri yang sama dari hari ke hari. Sampai-sampai saya dan putri kecil saya hafal gerakan dan ucapan dalam serial kartun ini. Terbukti, putri saya pun sudah agak bosan melihat serial kartun ini.

Berikutnya, ada rerun serial epic India Mahadewa. Walau durasinya hanya sekitar 30 menit, saya kira tidak ada menariknya melihat rerun serial yang juga tayang pada malam hari. Karena, serial Mahadewa yang di-rerun dimulai dari episode awal. Dulu, sempat saya saksikan juga rerun Ramayana dan Mahabarata yang ditayangkan.
Dan seperti demam yang kian menjadi-jadi. Demam serial drama dari negri India merajalela di ANTV. Pagi pemirsa sudah disuguhi rerun serial yang sudah ada, dari episode awal. Kini, mulai pukul 19:30 sampai dengan 22:30, rentetan serial drama atau epic India menjamur (baca, menggila) di ANTV. Seolah-olah pemirsa dibawa ke negri India. Dan tentu, para crew yang 'kreatif' tinggal duduk manis. Dengan kini sibuk mengurusi kuis kecil-kecilan dari sponsor.
(ilustrasi:wikia.net)
(ilustrasi:wikia.net)
Dimulai dari serial Hatim, seorang jagoan yang benar-benar tidak pernah ganti baju. Lalu kini ada yang baru, serial drama romantis Navya. Sebuah serial yang serupa sinetron cinta-cintaan anak muda di Indonesia, sepertinya. Lalu, ada kisah rekaan sejarah epik, Jodha Akbar, yang penuh intrik harta, tahta, wanita (dan agama). Lalu, serial epik Mahabarata yang sepertinya akan segera usai (mudah-mudahan). Lalu kisah drama Ramayana, yang terlalu mengagungkan Rama si raja angkuh. Dan terakhir, serial mitos Mahadewa. Dimana pemirsa diajak menonton kisah rekaan dewa-dewa berseteru.

Bayangkan saja, betapa para crew yang 'kreatif' itu bekerja sehari-hari di studio ANTV. Yang saya lihat, hanya acara-acara seperti Topik Pagi dan Lensa Olahraga yang benar-benar produk para crew ANTV. Sedang kuis Superdeal dan reality show Panah Asmara Arjuna yang tayang tiap hari, sepertinya afiliasi dengan Production House (PH) lain. Dan betapa studio-studio yang ada di ANTV sepi akan acara. Juga sepertinya sepi akan kreatifitas para crewnya.

Wajar saya kira jika televisi swasta menyiarkan acara produk non-lokal. Namun, dengan ANTV, saya kira sudah agak kebablasan. Hampir satu hari acara berisi 13 acara asing dan hanya 8 acara produksi lokal. ANTV benar-benar stasiun televisi malas secara produksi dan kreatifitas. Saluran televisi yang tayang perdana tahun 1993 di Lampung ini menjelma menjadi televisi hiburan yang variatif, dulu. Kini, setelah dibeli Viva dari Bakrie & Brothers, ANTV menjadi TV India. Setidaknya untuk saat ini. Entah 3-5 tahun ke depan.

Salam,

Tangerang, 02 Januari 2015

10:12 pm
(Trending Article di Kompasiana di sini)
Fenomena Bus Ugalan-Ugalan yang Membahayakan di Jalan Raya

Fenomena Bus Ugalan-Ugalan yang Membahayakan di Jalan Raya

(foto: timlo.net)
(foto: timlo.net)
Tidak bus AKAP (Antar Kota Antar Propinsi) atau AKDP (Antar Kota Dalam Propinsi) serta bus Kota, fenomena balapan ini menjadi kelumrahan yang menakutkan. Lumrah karena ada anggapan kalau bis ngebut berarti ngejar setoran. Ada pula yang oke-oke saja karena cepat sampai tujuan. Namun, banyak pula yang deg-deg plas dengan gaya membalap para supir bus. Walau jumlah kecelakaan bis yang minim. Namun dari kemungkinan celaka pasti bisa diperhitungkan. Belum lagi bus-bus yang balapan lalu memakan korban. Apakah itu belum cukup bagi sopir dan kernet untuk bisa lebih hati-hati saat mengendarai bus beserta penumpangnya.

"Sopir kebut-kebutan. Dari Ciputat pertama di depan dulu, cuma pas kira-kira sampai Kampus UIN ada mobil bus kedua di belakang langsung menyalip, lalu disalip lagi. Saya takut, saya duduk di nomor dua dari depan, saya enggak mau liat ke depan. Saya cuma berdoa aja," kata Widiarti (51), seorang penumpang yang selamat kepada detikcom, Jumat (26/12/2014). (berita: detik.com)

Ngejar Setoran, Rebutan Poin, dan Adu Gengsi

Bus yang ngebut dan kadang sampai ugal-ugalan dikendalikan beberapa aspek. Yang pertama adalah mengjar setoran. Baik bus AKAP, AKDP, atau bus Kota tentu ditargetkan jumlah setoran yang harus di dapat satu hari. Baik oleh perusahaan otobus, maupun individual. Dan karena persaingan antar bus ketat, apalagi dengan jurusan atau trayek sama, kejar setoran pun harus sigap dan tangkas dilakukan. Tentunya, kejar setoran ini berimbas dari banyaknya poin atau penumpang yang naik dan turun. Semakin banyak, tentunya semakin targer setoran tercapai. Kalau penumpang jarang, bisa-bisa tombok kocek pribadi untuk bensin dan makan.

Belum lagi pungli liar dari para timer di jalan raya. Entah mereka oknum atau petugas resmi dari perusahaan otobus tertentu. Mereka biasanya akan memberi informasi pada tempat-tempat tertentu. Tempat yang biasanya penumpang menunggu. Dan ini bukan di terminal, seperti perempatan, lampu merah, atau landmark tertentu. Ditambah, orang semakin memilih kendaraan pribadi, baik roda dua atau roda empat. Kejar setoran dan rebutan poin menjadi fenomena maklum di jalan. Dan kadang berujung ugal-ugalan dan memakan korban.

Sering saya diceritakan bus AKAP Jogja-Solo yang berebut poin dengan bus AKAP Surabaya-Jogja. Kebetulan bus AKAP Surabaya-Jogja melintas via Solo. Sehingga, kadang penumpang lebih memilih bus ini daripada yang benar trayeknya, Jogja-Solo. Pernah ada kabar kalau supir dan kernet bus AKAP Surabaya-Jogja babak belur dijotosi supir dan kernet bus AKAP Jogja-Solo. Semua karena rebutan poin atau penumpang. Dan dasarnya semua karena demi kejar setoran.

Akhirnya, kini bus AKAP Surabaya-Jogja hanya menaikkan penumpang yang ke Jogja dari Terminal bus Tirtonadi saja. Mereka tidak mau ambil resiko menaikkan penumpang dari Solo menuju Jogja di jalan raya. Kadang paratimer atau orang-orang yang memberi kabar bus apa yang sudah lewat, memberi informasi. Mereka bisa tahu penumpang yang kadung (terlanjur, Jawa) naik bus AKAP dengan trayek yang bukan pada lajurnya.
Dan yang lebih aneh lagi adalah alasan gengsi antar bus. Gengsi ini terjadi kadang antar bus AKAP dengan trayek yang sama, atau bus Kota macam Metromini. Entah karena memang dendam atau karena sudah menjadi prinsip masing-masing kelompok supir bus, ada persaingan tidak tertulis antar mereka. Seperti pengalaman saya menaiki bus AKAP Solo-Semarang, namun busnya Patas AC.

Bus ini biasanya akan bersaing dengan bus AKAP Solo-Semarang yang bus Ekonomi atau non-AC. Bila sudah saling bertemu, mereka akan tancap gas dan saling mendahului. Supir bus dan kernet pun akan saling berseloroh mereka yang paling hebat jika bisa membalap satu bus. Lalu kadang, mereka saling membunyikan klakson sambil saling ejek. Kadan pula sampai hampir saling serempet atau menempuh lajur kiri yang tidak beraspal.

Diduga, kecelakaan ini, disebabkan aksi ugal-ugalan sopir bus yang melajukan kemudi bus dengan kecepatan di atas rata-rata. Selain itu, berjalan zig zag karena berusaha mendahului semua kendaraan di depannya.

Dalam kecelakaan maut di jalur tengkorak JL Raya Ngawi - Solo, dinyatakan seorang penumpang tewas dan belasan lainnya mengalami luka-luka dirawat di RSUD dr Soeroto dan RSU dr Widodo, Kabupaten Ngawi (3/5/2014).(berita: tribunnews.surabaya.com)

Ngebut Boleh, Tapi Tidak di Jalan Raya

Saya tidak ingin mengeneralisir semua supir bus mengemudi ugal-ugalan atau ngebut lalu celaka. Ada banyak pula faktor eksternal seperti pengendara lain yang lalai, infrastruktur jalan yang kurang baik, sampai usia bus yang uzur. Namun semua kemungkinan celaka akan lebih besar besar jika supir bus ugal-ugalan atau ngebut. Sebuah probabilitas yang mungkin tidak terlintas jika setoran, poin dan gengsi supir mengemuka. Dan saya fikir, semua supir bus faham akan resiko celaka jika mereka ngebut. Namun karena tekanan ekonomi dan komunitas bus, bisa saja semua resiko dianggap sepele.

Belum lagi jika supir atau kernet bus memiliki tanggungan di rumah. Baik anak atau istri di rumah pasti tidak ingin ayahnya pulang tinggal nama. Atau orangtua atau sanak kerabat, tentu tak ingin anak atau saudaranya pulang namun diantar dengan ambulan. Semua resiko negbut bisa berujung tragis jika faktor-faktor diatas mendukun celaka yang mungkin terjadi.

Belum lagi jika dalam celakanya, bus tadi juga memakan korban jiwa. Baik penumpang bus sendiri atau pengguna jalan lain. Betapa nantinya keluarga yang ditinggalkan membawa stigma sosial tersendiri. Selain menjadi korban atas kelakuan ngebutnya yang ugal-ugalan, juga ia telah menghilangkan nyawa. Nyawa orang yang tidak bersalah atau malah hanya kebetulan saja melintas dan mendapat celaka dari bus mautnya.
Jadi teringat ucapan rekan, "Orang kita itu jago ngebut di jalan raya. Tapi kalau di sirkuit kaya MotoGP pada kalah terus."

Salam,

Tangerang, 02 Januari 2015

10:46 am
(reblogged dari Kompasiana di sini)

Tuesday, December 30, 2014

Air Asia QZ8501 dan 3 Aib yang Menyertainya

Air Asia QZ8501 dan 3 Aib yang Menyertainya

(foto: ibtimes.co.uk)
(foto: ibtimes.co.uk)
Berita hilangnya kontak dari maskapai Air Asia QZ8501 menghentak Indonesia di penghujung tahun ini. Kebingungan dan banyak pertanyaan pun mengemuka. Mulai dari kenapa terjadi hilang kontak. Sampai di mana kira-kira posisi jatuh QZ8501 berada. Kesedihan dan untaian doa pun terucap. Baik secara ikhlas dihaturkan dari hati. Sampai mereka yang sekadar ikut TTWW (Trending Topic World Wide) di medsos. Salah? Tidak ada yang salah selama tweet tersebut benar-benar berisi PrayForAirAsia. Media mainstream pun meliput semua sisi dari kecelakaan Qz8501. Mulai dari Basarnas yang berhati-hati memberi keterangan sampai keluarga korban yang masih terisak tangisnya. Semua bengis diburu demi berita dengan hashtag 'suci', #BreakingNews.

Keterbukaan dan cepatnya berita disebar dengan teknologi dan internet di Indonesia, kadang dimaknai salah kaprah. Berita duka dan kebingungan serupa yang menimpa Air Asia QZ8501 ini pun disertai 3 entitas 'aib'. Bukan aib secara intelijen jika nantinya ada kemungkinan pembajakan oleh orang Indonesia atau apalah nantinya. Atau buruknya sistem Air Traffic Control di Indonesia. Ataupun aib menyoal sumber daya manusia yang bertindak sebagai flight crew di Air Asia QZ8501. Bukan itu, namun aib yang dibuat oleh media dan publik. Aib yang membuat kita mengelus dada. Kenapa di tengah kekalutan bencana, masih ada kelompok atau orang yang 'memanfaatkan' berita ini sebagai komoditas ego.

1. Selling Emotion for Viewers' Rating

Ya, terutama media mainstream yang memiliki SDA dan teknologi komunikasi yang memadai. Mereka mencari dan mengorek-ngorek sebisanya kepada keluarga korban. Seolah-olah duka keluarga korban terkait langsung hilangnya Air Asia QZ8501 ini. Atau mewawancara keluarga korban yang menunggu manifesto maskapai Air Asia QZ8501. Mereka yang sedang bingung, kalut, menangis dan menanti kejelasan adalah objek berita 'aktual'. Konyol! Inilah aib yang seaib-aibnya yang menyertai berita duka Air Asia QZ8501 ini. Media mainstream, seolah tidak mau kalah rating dari kantor media yang lain. Menjaga privasi dan menjaga perasaan adalah nomor kesekian buat para reporter. Coba saja tengok artikel opini dari Kompasianer Rumisn Supian dengan judulJurnalisme Duka, Jurnalisme Kemanusiaan.

Contohlah koordinasi keluarga korban MH370 dulu ketika mereka menjadi sorotan media lokal dan internasional. Mereka sebisa mungkin mengontrol emosi dan mengawasi dengan baik pencarian. Mereka tidak mencoba membatasi diri. Namun juga media asing sepertinya paham atas kondisi mereka. Para keluarga korban pun akhirnya membuat 10 tips agar keluarga korban menjaga jarak dengan media. Dan agar media tahu kalau ada privasi yang khawatir akan dilanggar. Salah satu tipsnya seperti ini.
2. The media attention will be overwhelming at first. You don't have to accept interviews if you don't want to initially, but you must take the reporters' name cards, as you can use them later! (berita: straitstime.com)

2. Misleading Everlasting Hate

Ini pula yang menjadi aib yang menyertai berita duka hilangnya Air Asia QZ8501 ini. Ya, tidak lain dan tidak bukan pihak dan oknum yang kebenciannya ada hasil Pilpres membutakan hati dan logikanya. Seolah semua musibah yang terjadi adalah gegara sang Presiden yang dulu buka gacoannya. Kebencian mereka pun membiaskan dengan nyata aib. Terutama dari golongan atau oknum yang berkutat dengan medsos. Lalu pengikut mereka adalahhardliner (garis keras) pendukung Capres yang gagal di Pilpres. Apa pun beritanya, biasanya akan dipelintir dan diutak-atik dengan kebencian yang dipuja menjadi nalar, untuk menyalahkan Presiden terpilih.

Seperti cuitan akun Twitter @MANISPOLOS yang menyatakan musibah Air Asia QZ8501 ini adalah tumbal kecurangan Jokowi. Entah apakah hati dan logika akun tersebut berpikir waras atau tidak. Aib ini tentunya akan mudah dipercaya dan diserap semena-mena pengikutnya. Apalagi jika sudah di-share atau retweet ribuan akun berbeda. Seolah menyulut sekam yang sudah direndam bensin. Orang dengan kebencian yang sama, akan mungkin mengangguk-angguk saja. Tentunya, orang yang bernalar sehat akan dituduh menghamba nabi Jokowi, atau sebutan apa pun yang mereka buat. Coba lihat artikel Kompasianer pak Gunawan, Astagfirullah... Hilangnya Air Asia Dituduh "Tumbal" Kecurangan Jokowi.

3. Hoax News For Self Pleasure

Berita hoax atau palsu pun menjadi media yang membawa aib tentang kehilangan Air Asia QZ8501 ini. Biasanya dilakukan dan disampaikan dengan pesan Broadcast (BC) BBM. Baik memang mengirimkan BC ini terutama jika benar adanya. Namun jika dalam kondisi kalut keluarga korban dan berita keberadaan pesawat yang belum jelas. Pesan BC dari BBM yang 'nampak' nyata ini biasanya menjadi komoditas mereka yang mungkin merasa 'ejakulasi' jika pesan BC-nya disebar banyak orang. Walaupun itu berita bohong. Seolah nyata dan sesuai kejadian yang seolah terjadi. Penyebar pesan BC dari BBM hoax tentunya mendapat 'aktualisasi' diri walau sangat salah kaprah.

Di kalangan keluarga penumpang, beredar pesan Blackberry Massenger (BBM) yang menyebutkan pesawat mendarat di perairan Belitung Timur dan semua penumpang pesawat dalam kondisi selamat.
Berikut isi pesan berantai tersebut, Perairan Belitung Timur. Puji Tuhan Semua Selamat. Good Job Mr Pilot Iriyanto. Pengirim pesan juga menjelaskan bahwa pesan itu dari pihak trevel yang mendapatkan langsung dari salah satu penumpang pesawat. (berita: kompas.com)

Marilah bersama secara sadar dan dewasa menyikapi musibah hilangnya Air Asia QZ8501 dengan bijak. Percaya pada berita dari pihak terkait seperti Basarnas, KNKT, atau pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pencarian.
Media mainstream teruslah kabari tentang kejelasan keberadaan badan pesawat. Biarlah keluarga korban mengurai sedih dan kebingungannya dengan pihak terkait. Media tidak perlu mengeksploitasi air mata dan kesedihan mereka. Publik tahu mereka sedih dan mendoakan agar mereka diberi ketabahan. Usah lagi mencari titik air mata demi rating ala #BreakingNews.

Dan pihak-pihak pendendam Pilpres 2014 pun, mari tanggapi ini dengan rasional dan tulus menghaturkan bela sungkawa. Janganlah lagi mengotori pikiran banyak orang dengan menyulut lagi dendam yang sulit hilang dari Pilpres lalu. Menyebarkan cuitan, opini di medsos memang semudah kalian membalikkan hati alim kalian menjadi dendam kesumat. Maka bijaklah.

Dan penyebar berita hoax ala medsos dan seolah nyata, tahanlah diri kalian. Buat apa aktualisasi palsu jika banyak orang malah menjadi bingung dan makin kalut. Salurkanlah orgasme aktulasasi diri kalian menjadi hal yang lebih berguna. Jadilah penulis novel fiksi atau cerpen. Tentunya khayalan kalian akan lebih berwarna dibingkai dunia literasi.

Salam,

Jakarta Selatan, 30 Desember 2014

08: 44 pm
(reblogged dari Kompasiana di sini)