Tuesday, November 15, 2016

Sebuah Helicopter View Menyoal Full-Day School Mendikbud Baru

Sebuah Helicopter View Menyoal Full-Day School Mendikbud Baru

Berangkat Sekolah - foto: jagawana.com
Sebuah gebrakan dibuat Mendikbud yang baru saja dilantik Muhadjir Effendi menyoal Full-Day School (FDS) menyentak kita semua. Netizen dan publik pemerhati pendidikan pun riuh. Banyak yang mengomentari dengan nyinyir. Ada juga yang masih ragu melihat kebijakan ini akan efektif. Namun banyak pula yang senang akan aturan yang akan di-pilot project nantinya. Pak Mendikbud baru beserta jajarannya masih menggodok konsep. Dan seperti biasa, publik dibuat gamang sekaligus gaduh.

Seolah Muhadjir ingin membuat publik terhenyak lalu meminta kita menengok dan melihat dirinya dengan kebijakan FDS. Ini lho Mendikbud baru yang akan memberikan 'sesuatu' yang lebih daripada yang sudah lalu. Bijak lagi baik kiranya kita mengamati kebijakan ini dengan helicopter view. Bukan sekadar pro atau kontra. Namun juga memandang dari pihak-pihak yang dilibatkan disana. 

Setidaknya ada 4 empat pihak yang terlibat nantinya dalam kebijakan FDS ini. Semua dengan sisi negatif dan positif sebagai dampak FDS. Walau positif dan negatif disini harus perlu dianggap variabel tentatif. Namun setidaknya bisa memberi helicopter view menyoal kebijakan FDS ini.

1. Penentu Kebijakan
Dari sudut policy maker, FDS memang menjadi ujung tombak program kebaruan. Hal ini memberi pembeda dari pendahulu. Mungkin pula hal ini menjadi kewajiban Mendikbud baru dari pemerintah. Dengan kata lain, harus ada gebrakan. Mau tidak mau, enak tidak enak harus ada. Dan kebijakan ini harus siap dijalankan dengan efektif dan efisien. Mengingat pendidikan di Indonesia memang menjadi problema yang kian kusut.

Sisi positifnya, Mendikbud baru bisa memberi bukti pada atasan, dalam hal ini Presiden pada awal kinerjanya. FDS digadang bisa memberikan anak 'pagar' dari aktifitas luar sekolah yang buruk. Negatifnya, FDS ini memang menjadi program sekadar memenuhi sisi kebaruan. Walau konsep FDS diterapkan di beberapa sekolah, namun memukul rata penerapan FDS bisa dianggap kejar setoran.

2. Pihak Sekolah
Dan tentunya sekolah sebagai pelaksana kebijakann FDS memikul beban berat nantinya. Pihak sekolah harus menyiapkan entah sisi akademis atau non-akademis untuk memanjangkan masa tinggal siswa di sekolah. Guru harus memutar otak untuk menginisiasi program seperti pengayaan akademik, membahas PR, membuat karya kriya, dsb. Guru juga akan berkoordinasi organisasi ekstrakurikuler untuk menggodok program baru. Mulai dari UKS sampai mungkin Marching Band akan dijadwalkan kegiatan seusai jam belajar sekolah usai.

Positifnya, pihak sekolah akan dituntut lebih kreatif. Membuat siswa untuk betah di sekolah dengan kegiatan positif menjadi tujuannya. Negatifnya, beban guru akan semakin bertambah. Diberi honor yang seadanya, berdasar budget sekolah yang mungkin sudah berat, guru kiranya akan menggerutu. Pihak sekolah bisa saja mengumpulkan dana dari orangtua. Namun kiranya akan banyak perdebatan menyoal uang iuran.

3. Pihak Orangtua
Bagi orangtua yang bekerja, tentu banyak yang senang kebijakan FDS ini. Pulang kerja anaknya akan sama dengan jam pulang kerja. Namun bagi orangtua yang yang bekerja dari rumah, masih akan gamang. Anak yang biasa ditemui di rumah akan berkurang waktunya dari Senin-Jumat. Apakah efektif anak terus 'dikurung' di sekolah dengan FDS.

Positifnya, orangtua akan dijamin anaknya baik-baik diurus sekolah. Karena FDS adalah keputusan Mentri yang harus dilaksanakan sekolah, anak mereka akan tentu mendapat hal positif di sekolah usai jam belajar. Negatifnya, orangtua harus benar-benar memastikan anaknya kuat untuk sekolah FDS. Kuat bukan sekadar fisik namun juga mental. Karena tidak semua anak betah lama-lama di sekolah.

4. Pihak Siswa
Dan kebijakan FDS ini akan menjadikan siswa 'eksperimen' kembali. Sejak gonta-ganti kurikulum dan program-program penuh kejutan diawal dan mlempem di jalan, FDS diharapkan tidak demikian pastinya. Siswa kembali akan memikul keberhasilan program ini. Siswa yang sudah senang dengan sekolahnya akan lebih senang dengan sekolahnya karena bisa berlama-lama. Sedang siswa yang tidak senang, FDS bisa menjadi neraka.

Sisi positifnya tentu siswa akan mendapat life-skill dan pengayaan akademik dan non-akademik. Hal-hal yang tidak cukup diajarkan dengan jam sekolah konvensional. Mulai dari kursus, ekstrakurikuler, sampai program siraman rohani kabarnya akan dicanangkan. 

Negatifnya, siswa harus benar-benar kuat menerima semua ini di sekolah. dalam hal ini, kuat secara fisik dan mental. Karena program-program tadi bisa saja didapat di luar sekolah. Dan faktor psikologis bosan di sekolah bisa saja terjadi.
Help - ilustrasi: metrovaartha.com
Dan lumrah jika sebelumnya FDS dikaji lebih detail. Dari sekolah swasta yang sudah menerapkan FDS harusnya sudah bisa didapat gambaran detail aa yang sebenarnya didapat dengan FDS. Dan saya kira tidak kurang referensi ilmiah yang sudah meneliti dampak baik dan buruk FDS di sekolah swasta. Pihak Kemendikbud harus benar-benar mendalami hal ini untuk pilot project yang hendak dilaksanakan.

Publik kiranya boleh mengemukakan keberatan setelah kajian literasi yang ada dan pilot-project dianggap kurang memuaskan. Dengan persebaran pendidikan yang timpang di negri ini, FDS bisa membuat washback yang buruk. Banyak dampak FDS yang malah menjadi blunder jika diterapkan di daerah terpencil misalnya. Saat siswa harus berjalan 10 KM ke sekolahnya. Bayangkan mereka harus pulang pukul 5 sore menyusuri hutan. Hal ini berkebalikan tentunya di kota besar. Pulang pukul 5 sore berarti anak benar-benar aman di sekolah sampai mereka pulang ke rumah.

Orangtua pun harus semakin kreatif memanfaatkan kebersamaan dengan anak. Orangtua harus rela mempercayakan pendidikan anak di sekolah selama 10 jam anak di sekolah. Namun harus selalu diingat, manfaatkan dengan baik 2 hari libur anak di akhir pekan. Isi kegiatan positif dengan kedekatan hati di hari Sabtu-Minggu. Jangan malah memanjakan anak benar-benar libur dan sekadar tidur dan bermain game atau gadget.

Kebijakan akan belum terasa bijak jika kemanfaatannya tidak dirasakan. Berfikir negatif 
akan suatu kebijakan pun bisa mengaburkan perspektif positifnya. Namun terlalu yakin akan kebijakan baru pun bisa mementahkan kritik yang sejatinya membangun. Memposisikan perspektif diatas dengan mengawasi segala aspek dan variabel yang terlibat akan lebih bijak. Dan akan lebih berguna lagi, jika ada kontribusi nyata menyoal kebijakan FDS ini. 

Mungkin tulisan saya bisa memberikan hal ini.

Salam,

Wollongong 15 November 2016

07:00 am
(Reblog dari Kompasiana disini)

Sunday, November 13, 2016

Ingat, Beasiswa Bukanlah Hadiah

Ingat, Beasiswa Bukanlah Hadiah

Ilustrasi. Shutterstock
'Beasiswa bukan hadiah.'
Sebuah frasa yang sejak saya menjadi awardee dari institusi pemerintah selalu saya camkan di dalam hati. Bukan coba membebani diri, namun memberi sedikit pengingat seiring saya menempuh studi di negara orang saat ini. 

Mungkin saja saya khilaf jika menganggap beasiswa adalah hadiah. Beasiswa adalah 'hak saya' karena saya pintar. Menjadi 'jatah' saya karena saya berprestasi. Atau merupakan 'hibah' buat saya yang mengabdi pada satu bidang setelah bertahun-tahun. Semoga saya dijauhkan dari berfikiran demikian.

Coba saya analogikan dengan orang-orang yang sekolah di luar negri dengan biaya sendiri. Biaya sendiri baik dari pribadi karena bekerja atau dana berasal dari orangtua. Sifat sentripetal dihasilkan dari sekolah biaya sendiri. 

Maksudnya, tanggung jawab yang ada terfokus pada diri sendiri dan orangtua yang membiayai. Orangtua harus wajib tahu hasil tiap semester misalnya. Atau ada motivasi intrinsik untuk mendapat nilai diatas 80 demi mengejar karir di masa depan. 

Berbeda dengan sifat beasiswa yang sentrifugal. Beasiswa seperti ini saya pikir akan melibatkan dan mempengaruhi banyak orang. Beberapa pihak tersebut seperti:
  1. Pemerintah/institusi; Saya harus mempertanggung jawabkan hasil pra, whilst dan paska studi kepada pemerintah/institusi. Sebelum mendapat beasiswa ada seleksi ketat. Donor beasiswa tentu tidak akan memberi kepada sembarang awardee. Integritas menjadi salah satu poin penting yang diukur. Tentunya saat studi, hal akademis dan non-akademis menjadi tolok ukur integritas yang sudah diukur sebelumnya. Akhirnya, saat studi selesai impact apa yang awardee tersebut bisa dikontribusikan ke negara, institusi tempat bekerja, dan masyarakat secara luas. 
  2. Sekolah/institusi tempat belajar; Sekolah/institusi ini bisa di dalam dan luar negri. Sudah bisa pasti sekolah/institusi memiliki ekspektasi tinggi saat menerima awardee beasiswa. Mereka tahu awardee sudah diseleksi ketat oleh pemerintah/institusi donor beasiswa. Tentu 'standar' atau benchmark awardee juga. Intinya, awardee adalah orang-orang pintar dan berprestasi. Impact untuk sekolah/institusi yang menerima awardee seperti ini adalah prestasi riset/akademis/non-akademis juga tinggi. Bagi sekolah di luar negri bisa memberi mereka data/cultural awareness dari negara awardee. Dan secara ekonomis tentunya revenue. Soal data/riset soal negara awardee, pemegang beasiswa harus menjamin sensitifitas data/riset dijamin oleh pihak kampus. 
  3. Tempat bekerja/institusi profesi. Tentunya tidak semua awardee adalah fresh graduate. Pada program Ph.D, banyak awardee sudah berprofesi di PTN/PTS/BUMN/Swasta asing. Tentunya menerima beasiswa berdampak pula pada tempat mereka dan saya bekerja. Institusi ini berharap kita mendapat banyak hal yang bisa di-share dan diadaptasi di negara atau institusi sendiri. Tentunya hal yang positif dan membangun. Walau impact yang timbul tidak diharapkan spontan, namun indikasi kemajuan sejak awardee kembali bekerja tentu diharapkan. Percuma jika sesusai awardee kembali bekerja di institusinya kemudian membaur dan masuk ke dalam sistem yang lama. Tanpa ada kemajuan berarti dan nyata. Menurut saya pribadi, percuma saja studi jauh-jauh namun tidak ada impact atau sekadar indikasi kemajuan yang terjadi.
  4. Orangtua/keluarga awardee. Orangtua mana yang tidak bangga anaknya mendapat beasiswa? Dan serupa biaya dari orangtua, awardee wajib bertanggung jawab kepada orangtua atau keluarga. Mungkin tidak secara formal memberi laporan tiap semester, namun endurance/daya tahan dan kelulusan menjadi bukti. Saya sendiri harus bisa dan wajib menyesuaikan gaya belajar di tempat studi saya. Gaya belajar autonomous dan critical thinking dominan di negara Barat. Hal yang saya kira tidak semua PT di Indonesia yang menerapkan. Teacher-centered dan spoiled (manja) saya kira masih banyak terjadi, bahkan sampai tingkat perguruan tinggi. Dan lulus juga menjadi bukti kita berhasil. Karena banyak teman dan rekan bercerita kalau studi mereka tidak selesai. Dan banyak hambatan baik internal dan eksternal yang terjadi. Sangat disayangkan memang.
  5. Masyarakat pada umumnya. Baik orang yang saya kenal atau tidak. Jika mereka tahu saya penerima beasiswa mungkin ada pertanyaan terbersit dalam hati mereka. Apa yang sudah kamu berikan untuk negara/masyarakat? Kamu kan dibiayai negara kuliahnya? Ingin dan harapan saya hanya, sebelum mereka bertanya demikian sudah ada hal yang mungkin kecil bisa dirasakan orang banyak. Tidak perlu muluk-muluk riset untuk mengkoloni planet Mars misalnya. Namun bersumbangsih opini dan aspirasi di ranah profesinya sendiri mungkin menjadi indikasi awal kontribusi. Tentunya dalam diri setiap awardee, ada keinginan mereka untuk bermanfaat bagi nusa dan bangsa. Sebuah klise yang orangtua kita ucap dulu saat ditanya cita-cita sejak SD. Yang saya kira menjadi doa terwujud saat ini dan nanti.
Tentunya, beasiswa bukan hadiah.

Dengan biaya hidup yang tinggi di negeri orang. Atau dalam konteks sekolah di negeri sendiri, kuliah tidak mengeluarkan biaya pribadi. Kadang terbersit betapa enak dan 'sejahteranya' awardee. Terus saya coba ingatkan diri, jika beasiswa bukan cuma-cuma diberikan pemerintah/institusi. Ada hal yang harus dibuktikan. Pihak donor beasiswa tentu berharap banyak pada awardee seperti saya. Apalagi jika menyangkut beasiswa negara.

Jika kuliah biaya sendiri bertanggung jawab ke ibu kandung. Maka kuliah berbeasiswa negara bertanggung jawab ke ibu pertiwi. Ke negara yang sudah mau menjaminkan investasi berupa biaya kuliah ke saya sebagai pribadi yang dianggap layak menerima beasiswa. Banyak pihak yang berharap pada saya. Beban yang ada ini bukan seharusnya menjadi hambatan. Namun tantangan yang harus saya jawab.

Sudahkah saya memberi sesuatu untuk negara? 

Salam,

Wollongong, 13 November 2016

09:00 am
(Reblog dari Kompasiana disini) 

Sunday, July 3, 2016

Sepeda: Dulu, Kini dan Memori yang Menghiasinya

Sepeda: Dulu, Kini dan Memori yang Menghiasinya

Evolution of Bicycle - ilustrasi: pinterest.com
Tahukah Anda kalau sepeda pernah sempat dilarang peredarannya. Sebuah artikel di tahun 1880 di koran New York Times memberitakan sebuah tragedi sebuah sepeda. Pada berita 130 tahun lalu itu diberitakan bahwa sepeda membahayakan si pengguna. Sepeda yang bergerak tidak membahayakan. Namun saat sepeda berhenti yang justru berbahaya. Menurut berita ini, sepeda bisa melempark pengendaranya. Dan hal ini tidak akan terjadi dengan berkuda.

Sejak saat itu, sepeda dilarang digunakan. Namun pada tahun 1881 para pengguna sepeda berdemonstrasi di kota taman Central Park di New York. Mereka pun melayangkan keberatan pelarangan sepeda di depan majlis hakim. Namun pelarangan sepeda belum usai. Pada 9 April 1887 sepeda tetap menjadi sorotan negatif di kolom New York Times. Kematian seorang guru muda bernama Miss May Brewer kabarnya disebabkan penggunaan sepeda yang berlebihan. Bahkan di Chicago, seorang dokter militer menolak merekrut para pengendara sepeda di tahun 1889. 
Artikel Bicycle Tragedy di koran New York Times tanggal 11 Juni 1880
Walau dalam pada tahun 1887, badan legislatif New York menerbitkan aturan An Act in Relation to the Use of Bicycles and Tricycles, namun belum secara efektif menghilangkan stigma bahaya sepeda. Baru pada tahun 1890, seorang jaksa George B. Clementon membuat aturan bersepeda dalam The Road Right and  Liabilities of Wheelman. Aturan dalam buku ini yang lalu menjadi aturan tertulis bagi para pengendara di New York. Dan baru pada tahun 1968 dibawah Konvensi Vienna yang mengatur Road Traffic, menyatakan sepeda menjadi moda yang sah di jalan raya. Ditandatangani kurang lebih 150 negara, hak bersepeda pun menjadi satu dalam aturan negara yang bertanda tangan.

Sejarah Sepeda Menjadi Sejarah Manusia

Sejak jaman naik kuda, manusia selalu mencari cara untuk memudahkan berpindah tempat. Sepeda sendiri sudah mulai dirancang sekitar 200 tahun lalu. Pada tahun 1817 sampai 1819, Baron Karl von Drais di Jerman merancang velocipede. Prototipe velocipede atau draisine diklaim menjadi sepeda pertama yang dibuat. Dengan desain yang mirip dengan sepeda saat ini, perbedaan mencolok hanya pada cara mengendarainya. Velocipede dikendarai dengan cara dikayuh dengan kedua kaki. Rangka velocipede dibuat dengan kayu. Sedang untuk kedua ban dan bearing digunakan material besi.
Replika Velocipede Drais karya Laufmaschine - foto: coroflot.com
Dengan berat 22 kg, velocipede sulit dikendarai wanita dan anak-anak. Pada tahun 1818, seorang insinyur dari London, Denis membuat velocipede lebih ramping. Kerangkanya dibuat lebih meliuk dan elegan. Desain dari Denis juga sering disebut hobby-horse. Karena cara mengendarainya yang mirip mainan kuda-kudaan. Namun karena cara mengendarainya yang aneh juga berbahaya, velocipede dilarang di Eropa Barat dan Amerika Utara.

Namun, perkembangan sepeda tidak mandeg. Di era 1820an sampai 1850an, sepeda menjadi lebih variatif. Diciptakanlah sepeda roda tiga, bahkan roda empat. Semua bagian sepeda sudah terbuat dari material besi. Lengkap dengan pedal, gerigi rantai, dan kayuhan tangan. Namun banyak kekurangan dari cara manuver saat berkecepatan. Salah satu sepeda roda empat yang populer di tahun 1850an adalah milik Willard Sawyer dari Dover Inggris.

Ada beberapa desain sepeda pada masa ini yang luput dari popularitas. Salah satunya adalah sepeda rancangan Kirkpatrik MacMillan di tahun 1839. Sepeda yang ia buat didasarkan kerja lokomotif uap yang terkenal saat itu. Dengan pijakan yang bisa memutar roda, sepeda ini memiliki gerigi dan rantai yang dihubungkan dengan roda belakang. Desain sepeda yang juga kurang populer dikembangkan oleh Gavin Dalzell dari Lesmahagow sekitar tahun 1845. Rancangannya yang benar-benar mirip dengan sepeda modern masih tersimpan Glasgow Museum of Transport.
"Sepeda Gavin Dalzell dari tahun 1845 - foto: collections.glasgowmuseums.com
Booming sepeda baru terjadi di tahun 1860. Adalah kepada dua orang ini desain sepeda modern bisa hadir, Ernest Michaux dan Pierre Lallement. Desain velocipede yang telah ada disempurnakan oleh Lallement pada tahun 1862. Dengan ditambah pedal, gerigi dan rantai yang saling terhubung dengan roda depan dan jok dengan pegas, karya Lallement pun dipatenkan pada tahun di US pada tahun 1866. Sepeda Lallement pun dikomersilkan di US. Karena Lallement sebelumnya sudah pindah ke Connecticut di tahun 1865. Fitur baru pada sepeda ini juga ditambah seperti ban karet dan bearing roda.

Sedang Michaux yang membuat vรฉlocipรจde ร  pรฉdales dengan skala kecil juga mendapat pamor pada karyanya di Perancis. Digandeng dua pengusaha kaya Aimรฉ dan Rene Olivรฉr, sepeda Michaux pun menjadi tren di Perancis. Desain kerangka sepeda Michaux pun diperbaiki oleh Gabert, seorang mekanik di Lyon. Kerangka tunggal sepedanya kini berbentuk diagonal yang terbuat dari besi. Sepeda Michaux diproduksi masal dan akhirnya menjadi moda transportasi populer di kota dan desa di Perancis.

Sepeda high-wheel juga sempat terkenal di tahun 1870an. Sepeda yang cukup unik ini cukup berbahaya untuk dikendarai. Karena ban belakang yang cukup besar. Namun keuntungannya, sepeda ini mampu melaju dengan cepat. Sepeda yang juga dikenal sepeda penny-farthing ini, diciptakan oleh Eugรฉne Meyer seorang mekanik yang berasal dari Perancis. Salah satu varian high-wheel adalah Royal Salvo. Sebuah tri-cycle yang memiliki dua ban besar di kiri-kanan dengan ban kecil di depan sebagai kemudi. Varian high-wheel ini diciptakan oleh James Starley.
Replika High Wheel modern - foto: pinterest.com
Dan sejak saat itu, jalan-jalan di Eropa dan Amerika Utara disesaki sepeda. Desain yang benar-benar menjadi mirip dengan sepeda modern adalah milik C.M Linley dari perusahaan Linley and Briggs di tahun 1885. Pada model ini, sepeda sudah dilengkapi suspensi pada frame atau kerangka sepeda. Sepeda tersebut diberi nama Whippet. Namun model ini tidak lagi diproduksi setelah tahun 1888. Karena pada saat ini pula, bicycle craze (demam sepeda) terjadi. Dan banyak sekali desain yang dikeluarkan.

Saat Sepeda Menjadi Memori tak Urung Padam

Dan diabad 21, sepeda tetap menjadi kebutuhan komuter jarak jauh maupun dekat. Dari desa maupun kota, semua orang ingin bisa menaiki sepeda. Tidak ada larangan spesifik untuk mengendarai sepeda dimanapun. Sepeda menyentuh hampir semua lini kehidupan manusia. Mulai dari lini komersil untuk penjual koran keliling, sampai lini keluarga yang ingin bersantai dengan sepedanya, sepeda menjadi moda transportasi segala urusan. Sepeda menjadi sebuah ikon dari manusia itu sendiri. Manusia dengan sepedanya adalah hal yang tidak mungkin terpisahkan. Dari sejak kecil seorang anak membeli sepeda. Sampai ia besar dan membelikan anaknya sepeda, memori pada sepeda pun melekat.
Riding Bike - foto: sheknows.com
Saya pun yakin, Anda pun memiliki momen dengan sepeda yang dipunyai. Baik momen indah maupun tidak begitu mengenakkan, sepeda akan selalu menjadi ikon sebuah kenangan. Sepeda seolah tidak akan pernah bisa dipisahkan dengan kita sebagai manusia. Ia ada dan nyata pada masanya. Namun ia juga nyata di dalam tiap hati dan fikiran kita. Sepeda membentuk momen yang tidak mungkin terlupakan. Baik momen yang diciptakan nanti. Berkeliling bersama sang kekasih dengan sepeda hari minggu nanti juga momen yang ditunggu. Karena saya yakin, momen indah pasangan ini akan tetap dikenang saat ada anak mereka yang ikut bersepeda bersama di tempat yang sama. 


Salam,

Solo, 3 Juli 2016

04:30 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)

Thursday, June 30, 2016

Kok Grup WhatsApp-ku Sepi?

Kok Grup WhatsApp-ku Sepi?

About Chat - Ilustrasi: chatbuzzz.weebly.com
Chatting sudah menjadi rangkaian integral komunikasi kaum urban. Dengan beragam aplikasi mulai dari WhatsApp, BBM, BeeTalk, Line, dll 'berbicara' dengan teman nun jauh di sana menjadi fenomena umum. Saking umumnya, bahkan saat orang-orang berkumpul bersama, mereka tidak asyik mengobrol. Tapi mereka malah asik melototi HP sambil senyum-senyum sendiri. Dan jangan heran jika kita banyak dimasukkan ke dalam grup-grup obrolan yang bahkan kita sendiri tidak faham maksud dan tujuannya. Tidak dipungkiri, beberapa grup juga sangat bermanfaat buat kita.

Entah kenapa, grup chat akan menemui kejenuhannya. Harus diakui, bahwa excitement atau kegembiraan awal membuat grup bisa luntur sejalan waktu. Kita sudah bolak-balik menengok HP, namun notifikasi grup yang itu atau ini tidak ada. Kita buka grup, ternyata masih belum ada yang chat. Atau kita coba sapa dengan "halo, kok sepi", atau dengan gambar meme lucu, balasan malah nihil. Beberapa jam menunggu tetap tak ada sahutan. Bahkan berhari-hari sampai minggu menjadi bulan, grup tetap sepi. Mirip sekali rumah kosong yang kini berhantu. 

Saya coba menelaah apa yang sebenarnya terjadi. Walau hasil penelisikan saya tentatif, namun bisa saja terjadi di grup chat Anda. Dan beberapa poin saya coba simpulkan sebagai berikut:
  1. Sibuk
    Ya, alasan pertama grup sepi adalah kesibukan tiap anggota. Tidak dipungkiri, chat grup juga memakan waktu, tenaga dan pulsa. Sedang pekerjaan juga tidak mungkin ditunda untuk dikerjakan. Anak sekolah atau kuliah pun tidak selamanya bisa melihat HP mereka karena harus belajar, les, atau mempersiapkan ujian. Mungkin juga sang admin atau moderator memang benar-benar sibuk. Koordinasi dan memulai dinamika obrolan tersendat bahkan terhenti. Atau mungkin, para komporers (orang yang selalu aktif) juga turut sibuk waktunya, sehingga tidak ada lagi lucu-lucuan di grup.

    Dan tentunya, mereka yang sibuk tidak bisa obral-obrol di grup. Mereka yang sibuk tentu ingin ada lagi chat ala kadarnya, namun juga malas memulai. Takutnya malah kalau dimulai chat, kerjaan, tugas atau kesibukan terbengkalai. Ada juga anggota grup chat yang ingin memulai, tapi karena sudah keduluan lelah dan malam maka tidak ada chat.
  2. Bosan
    Mungkin alasan ini juga bisa menjadi sebab sepinya grup. Anggota grup bosan dengan isi post/chat yang cuma copas dari grup sebelah. Atau sekadar share meme yang grup lain sudah sering posting. Tidak ada lagi bahan yang menarik untuk diobrolkan. Sehingga kebosanan melanda. Posting panjang dan rumit hanya di-scroll cepat ke bawah lalu dikasih jempol atau ketikan 'sip' menjadi senjata andalan basa-basi. Maklum, yang nge-post adalah pimpinan atau pejabat. Bukan cari muka, namun menjaga basa-basi.

    Banalitas grup ini pun terjadi karena orang atau kelompok itu-itu aja yang mem-post. Admin kadang manjadi penonton saja. Anggota grup lain pun cenderung diam. Saat bosan pada 'yang itu-itu saja', banyak silent reader, tak heran kesepian akan melanda. Terutama saat 'yang itu-itu saja' sibuk atau bosan. Anggota grup lain pun pilih tetap diam. Takutnya tidak sopan jika memulai sesuatu di tempat yang tidak lagi 'nyaman' secara personal. Karena ada beberapa orang ingin grup chat benar-benar informal, bukan dikuasai satu-dua orang saja.
    "Chat Group is Dead Meme - Ilustrasi: memegenerator.net
  3. Jijik 
    Nah lho, apa urusannya dengan jijik? Iklim grup chat saya kira sudah benar-benar mirip suasana non-dunia maya. Saat orang chat satu sama lain, mereka 'merasa' hadir dalam satu obrolan sebenarnya. Nah, saat media chat dan psikologi manusia terlibat, maka fenomena 'mengucilkan' pun terjadi. Mirip serupa geng-geng obrol di kantin sekolah, gosip atau gunjingan pada satu orang tentu tidak ingin didengar oleh orang tersebut. Mereka yang mengunjing tentu ingin jauh-jauh dari si 'terduga'. Mungkin saja mereka ramai-ramai membuat grup chat sendiri. Grup rahasia.

    Lewat japri (jalur pribadi) satu orang lalu saling japri orang-orang yang diajak bergunjing ini, maka 'grup gosip' pun terbentuk. Tentunya tidak mungkin mengundang si 'objek' obrolan, grup chat ini aman. Tentunya gosip masih berupa dugaan dan terkaan mereka saja. Namun karena membicarakan 'keburukan' lebih menarik daripada petuah-petuah yang cuma kopas, grup sebelah ini menjadi lebih hidup. Chat yang lebih 'manuasiawi' lebih bisa terjadi baik saat japri atau dalam grup ini. Akibatnya, grup sebelah dengan 'si dia' yang ada di situ lebih sepi. Atau mungkin akan segera mati.

    Simpulannya, grup chat sudah menjadi bagian integral komunikasi manusia ke manusia. Dengan font, emoji dan meme perasan seolah menyalur lewat layar HP. Segala riuh perasaan seolah tertuang. Walau wajah mungkin datar saja saat membaca, namun hati bisa saja tersentuh. Dengan kondisi demikian, kondisi psikologis massa dalam berkomunikasi terjadi. Mulai dari cerita inspiratif sampai meme provokatif tidak heran menyulut aktivitas tertentu di dunia nyata.
Chat sudah begitu jumud dengan konstelasi komunikasi natural. Seolah grup chat menjadi hiperrealitas hidup bermasyarakat yang begitu nyata. Waktu sepi dan senggang asal HP dan paket internet tersedia, chat grup menjadi pelipurnya. Dan secara tidak sadar, keinginan untuk berbicara 'manusiawi' pun terjadi. Tidak sekadar copas posting dan meme yang sudah sering muncul, harus ada chat yang bisa 'mempersatukan'. Namun hal ini jarang ditemui, grup chat pun terbengkalai mati.

Salam,

Solo, 30 Juni 2016

10:00 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)

Wednesday, June 29, 2016

Bahagia Kekinian Dilegitimasi Media Sosial

Bahagia Kekinian Dilegitimasi Media Sosial

Happiness - ilustrasi: macleans.ca
Meng-upload foto makan siangmu di Instagram. Puluhan like dari teman pun datang di notifikasi. Hatimu merasa bahagia bukan main. Upload-lah foto keluargamu berpiknik di Bali. Like dan komentar pun membubuhi foto wisata tadi. Sambil menyungging senyum, kamu balas komentar. Lalu, update statusmu di BBM saat kamu berbuka puasa Senin-Kamis nanti sore. Saat teman di kontakmu memberi komen dan jempol, tambah khusyuk kamu berbuka. Sepertinya.

Bukankah bahagia itu sederhana. Namun, era kekinian membuat bahagia kian kompleks. Bahagia harus dibagi. Share button menjadi kebutuhan primer di medsos. Seolah, seseorang belum benar-benar bahagia jika orang lain belum tahu. Belum sah bahagia memiliki mobil baru kalau foto unggahan mobil baru belum di-like di Facebook. Belum bahagia jika foto anak dengan sepeda barunya belum menjadi DP di BBM. Sebegitu sulitkah bahagia di era kekinian?

Terlepas dari rasa unjuk diri atau arogan, kita semua ingin eksis dengan ceria. Dengan dasar yang kadang begitu klise. Hanya berbagi kebahagiaan agar orang lain bisa termotivasi. Tidak pernah terbersit rasa sombong atau pamer harta di foto-foto Facebook. Semua hanya bagian dari berbagi kesyukuran mendapat harta titipan yang lebih dari cukup. Semoga yang teman-teman lain bisa lebih terpacu berusaha. Ah, masih rumit sekali merasakan kebagiaan era kekinian.

Saat legitimasi bahagia menjadi ranah kuasa orang lain, masihkah bisa disebut rasa bahagia? Saat tidak ada orang yang me-like atau berkomentar foto prewed-mu di Instagram, apa kamu rasa berbeda? Temanmu tidak pedulikah? Temanmu tidak mau tahukah hari berbahagiamu berdua dengan calon istrimu? Tapi setidaknya, kamu sudah mengunggah foto prewed-mu. Resahmu pada foto tanpa like menggantikan resahmu berucap janji depan penghulu. 

Rumit sekali meresapi rasa bahagia jika ada medsos menjadi perantaranya. Medsos mengobral momen berbahagiamu dengan orang lain. Secara tidak sadar, momen itu menjadi milik bersama. Dalam share button pada aplikasi medsos menjadi plakat kematian bahagiamu. Karena rasa bahagia yang kamu impi dan nanti saat sudah terbagi, maka kekhawatiran yang muncul. Resah menanti like, RT, komentar, double tap, dll yang fana. Namun begitu nirvana rasa bahagia berbagi di medsos itu di era kekinian.

Bukankah rasa bahagia itu sederhana? Saat yang merasa bahagia saya sendiri yang mendapat kenaikan promosi kerja, rayakan. Memaknai bahagia jauh di dalam batin saat dipromosikan, adalah esensi bahagia. Lalu bagikan bahagia ini bersama keluarga dan teman. Bahagia memang boleh dibagi. Namun tidak untuk diobral. Ada kegugupan rasa akan rasa bahagia jika banyak orang yang tahu. Perdulikah mereka? Banggakah mereka? Penasarankah mereka?

Rasa bahagia tidak untuk dibalut keresahan yang begitu inklandestin. Sampai legitimasi salah kaprah ini menjadi shared-ground di era kekinian.Saat banyak keresahan ini berkumpul di satu media bernama medsos, legitimasi bahagia ini bukan menjadi masalah. Epidemi penjangkitan bahagia berbalut keresahan ini pun begitu halus masuk ke kepala. Akhirnya, mereka sebut ini trend. Kalau tidak ikut trend, bisa-bisa dianggap katrok. Legitimasi berbahagia ala kekinian pun menjangkiti.

Salam,

Solo, 29 Juni 2016

05:00 pm 
(Reblog dari Kompasiana disini)

Wednesday, May 18, 2016

Jenis-Jenis Senyum di Lampu Merah

Jenis-Jenis Senyum di Lampu Merah

(ilustrasi: news.com.au)
ilustrasi: news.com.au
Lampu lalulintas, lampu merah, bangjo, apapun sebutannya menjadi alat pengatur keselamatan berkendara yang penting. Ia mengatur persimpangan padat agar kendaraan bergantian melintas dengan teratur. Ditambah dengan timer agar pengendara bisa waspada dan ancang-ancang. Karena kadang lampu kuning (oranye) tidak berguna menyimbolkan aba-aba baik untuk berhenti atau bersiap-siap jalan. Lampu kuning berarti jalan atau terobos saja. Banyak orang menanti dan mengejar lampu hijau. 

Namun, banyak orang gerah dan mrengut jika mendapati lampu merah. Namun, tahukah Anda ada senyum yang tersungging saat lampu merah menyala. Beberapa pengendara seolah 'senang' menemui lampu merah menyala. Seolah dengan berhenti ada momentum yang patut dirayakan dan dinikmati. Bahkan, dari senyum pun ada yang berlanjut ke canda ceria di lampu merah. Ada pengendara juga yang mengurai senyum agar tidak ada rasa gundah. Ada pula yang senyumnya, dipaksakan. Senyumnya senyum jujur karena hal yang membuatnya harus jujur.

1. Senyum Sepasang Kekasih Inilah senyum yang begitu tulus terurai saat lampu merah menghentikan mereka. Baik di motor maupun mobil, lampu merah ada momentum bertutur mesra dengan singkat dan padat. Kekasih di atas motor tentunya akan menikmati tiap detik timer di lampu merah. Karena saat motor melaju, sulit berucap dengan posisi belakang depan. Saat lampu merah, setidaknya si pacar di bangku belakang bisa lebih mendekat. Lalu mulai berkata dengan lebih natural, mungkin juga mesra. 

Sepasang kekasih di dalam mobil, mungkin inilah waktu saling pandang. Melihat rona merah di pipi sang perempuan yang coba digoda pacarnya. Mungkin saja, timer 120 detik tidak terasa bagi mereka yang dimabuk asmara. Ngobrol, bertukar senyum dan pandangan bisa berlanjut ke canda kecil. Lampu merah adalah momentum yang mungkin dinanti. Bukan untuk tidak disenangi. Berhenti sejenak di lampu merah adalah cara sepasang kekasih menunda waktu berpisah. 

2. Senyum Orang Kepada Anaknya Ada pula pengendara yang membawa anaknya, akan berusaha menyungging senyum. Senyum ini tak lain adalah makna bahwa ada pelajaran yang penting di lampu merah. Dengan menaati warna lampunya, maka keselamatan pun bisa terjamin. Ada pula, orangtua yang saat berhenti memberi senyum agar anaknya bersabar. Entah bersabar untuk sampai rumah atau bersabar mendapat sesuatu di tempat yang mereka tuju. Orangtua akan lebih bisa bersabar daripada sang anak. 

Orangtua pun, lebih memilih tersenyum kepada anaknya yang masih kecil agar bisa menyimak pelajaran penting di lampu merah. Senyum yang dibuat berbeda dengan tipe senyum yang pertama. Senyum yang dibuat bukan untuk menunda, tapi lebih bertujuan memberi edukasi atau 'penenang'. Tidak terbayangkan jika banyak orangtua yang tidak sabar dan menerobos lampu merah. Atau malah marah-marah mendapati dirinya berhenti di lampu merah. Memberi contoh buruk untuk anak. Bahwa lampu merah adalah hambatan. Bahwa lampu merah adalah masa untuk marah-marah. 

3. Senyum Jujur Ketika Ditilang Yang ketiga, adalah senyum yang jujur. Senyum yang tersungging karena ada salah yang dibuat. Senyum yang jujur sekali datang dari hati. Senyum yang benar-benar menunjukkan kepasrahan total akibat perilaku buruk yang dibuat. Anda mungkin lihat orang yang nekat nylonong menembus lampu merah. Tiba-tiba ada polisi yang menghadang di depan. Atau ketika lampu merah, ada polisi yang menghampiri motor seorang pengendara karena tidak memakai dua spion. 

Senyum yang tercipta adalah senyum pasrah meratapi nasibnya yang kena tilang. Senyum yang sebaiknya jangan Anda coba tiru saat di lampu merah. Walau kadang polisi tidak berjaga di pos dekat lampu merah. Atau memang tidak ada polisi atau posnya, senyum model ini akan datang kepada yang melanggar di satu masa. Mereka yang melanggar rambu setiap kali, hanya menumpuk karma yang mungkin terjadi di masa depan. 

Dan, satu senyum lagi adalah senyum dari saya. Mengamati senyum-senyum yang ada di lampu merah kadang membuat saya tersenyum. Betapa dinamis dan berwarna lampu merah ini. Walau banyak yang mengeluh di lampu merah, ada juga aura senyum yang mungkin bisa Anda amati. 
Salam,

Solo, 18 Mei 2016

07:30 am
(Reblog dari Kompasiana disini)

Monday, May 16, 2016

Pah, Jemput Aku Ya?

Pah, Jemput Aku Ya?

(ilustrasi: wildculture.com)
ilustrasi: wildculture.com

Jam tangan sudah menunjukkan pukul 2:56 pm. Aku segera bergesa menuju pool agen travel yang jaraknya lumayan jauh dari kos. Ternyata, menghabiskan waktu sedikit menghabiskan dawet hitam membuat ku sekarang tergesa. Nafasku mulai terengah karena langkah kaki yang mulai ku lebarkan. Tersengal sedikit, ku percepat langkahku menyusuri gang-gang sempit ini. "Yang BSD..BSD!!" teriak penjaga konter agen travelnya. Dan tepat saat langkahku terhenti di depan bangku yang masih kosong. Niatnya ingin ku duduki dan beristirahat sejenak. Namun, karena sudah diumumkan jurusan yang ingin ku tuju, enggan ku duduki bangku kosong itu. 

Ku tebarkan pandang dan melihat rombongan yang seperti satu jurusan denganku. Sepertinya ada supir berseragam travel memimpin rombongan ini. Ada tiga orang anak muda. Ada seorang ibu yang sepertinya ribet sekali dengan barang bawaannya. Ada sepasang lelaki dan perempuan yang kira-kira umurnya lepas 30 tahun berjalan disampingku. Bergandengan. Sampai di depan Elf travel, ku coba longok ke dalam mencari nomor tempat dudukku. Ah, ternyata dekat pintu. Dan sepasang kekasih tadi duduk tepat di sampingku. 

Cuma berjarak satu bangku kosong, yang ku dengar hanya bisik-bisik si pria, tapi kurang jelas. Sambil menunggu berangkat, nampaknya aura kemesraan sudah bisa ku rasakan. Melaju ke arah tol Pasteur, nampaknya mataku sudah minta untuk sejenak dipejamkan. Namun fikir dan fokusku terpecah melihat sudut mataku. Sang pria nampaknya kasmaran berbicara dekat sekali dengan si wanita. Ah, mesra nian ku fikir. Adrenalin yang melaju di tubuh sepasang kekasih ini tentu mengalahkan cepatnya laju travel ini. 

Sesekali ku lihat si supir pongah bisa melibas melewat travel 'saingannya'. Namun, laju adrenalin plus oksitosin yang merayap menyelimuti jantung mencipta sensasi kasmaran, lebih bisa dibanggakan sepasang kekasih ini. Sentuhan dan tatap mata mereka membuat laju jantung mereka bersama terpacu. Persis apa yang kurasakan dengan istriku beberapa tahun lalu, semasa pacaran. 

Langit Karawang sudah menggurat senja saat travel menepi untuk beristirahat. Hal yang ditunggu aku dan penumpang lainnya tentunya. Meluangkan waktu untuk ke kamar kecil adalah utamanya. Mata ku tetap terfokus pada sepasang kekasih. Mencoba untuk tidak stalking, ku ikuti mereka yang bergandengan. Seolah tidak mau lepas. Dan memang aku ini yang selalu berlagak detektif. Ada dua hal yang bisa ku simpulkan dari sepasang kekasih yang sudah cukup berumur ini. 

Pertama, mereka baru saja honey moon kedua di Bandung. Dengan suasana dingin dan mungkin lebih romantis, Bandung tentunya menjadi tempat yang pas. Mungkin ke Puncak Drajat atau yang tidak jauh, Lembang sudah cukuplah suasana romantisnya. Kedua, mereka ada teman lama yang CLBK. Seperti rekan kerjaku. Dua teman SMA yang kembali dipersatukan di waktu yang jauh ke depan. Mungkin ada benarnya, kadang jodoh itu dipinjamkan dulu ke hati lain. Lalu untuk dipertemukan kembali di satu waktu. 

Dan sepasang kekasih berumur ini mungkin adalah jabaran dari kondisi tadi. Sambil terus ku coba meihat mereka yang kembali mesra mengobrol sepanjang tol. Ah, betapa cinta memang harus bersatu. Agar dunia ini menjadi seumpama surga. Wajah istriku pun menggantung senyumnya di fikiranku. Tiga jam perjalanan sudah hampir mendekati ujungnya. Saat beberapa penumpang travel aktif dalam peraduan tidurnya sembari terguncang. Sepasang kekasih ini tiada perduli kantuk, bahkan aku yang duduk di samping mereka. 

Mesranya mengalahkan mesranya anak SMP bau kencur yang belajar pacaran. Romantika yang tergores dalam senyum mereka, mungkin memabukkan. Sampai-sampai saat ku tengok beberapa kali ke arah mereka. Mereka sampai tiada sadar. "BSD..BSD.. siap-siap" ujar san supir. "Mang, saya turun di gerbang aja ya?" teriak si lelaki. 

Rupanya si lelaki tidak turun di pool agen travel ini. Ia lebih memilih turun terpisah dengan si perempuan. Sembari menyiapkan diri untuk turun, tatap mata si lelaki tertuju mesra ke kekasihnya. Si perempuan hanya berucap lembut sambil senyumnya tersimpul hangat. Ada binar asmara bercampur sedih menggelayut di tatap mata si perempuan. Si pria pun mengusap pipi kekasihnya. Ah, mesra nian pemandangan ini fikirku kembali membuncah. "Kiri..kiri mang. Disini aja?!" si lelaki langsung berucap pada supir. 

'Permisi mas...?" ia meminta jalan melewati ku menuju pintu Elf travel ini. "Oya, silahkan.." ku miringkan kakiku. Keluar dari travel, tatap si perempuan mengikuti arah si kekasihnya pergi. Travel berjalan perlahan memasuki salah sat sektor di BSD. 

"Pah, jemput aku ya? Di agen travel biasa..." si perempuan memegang telpon ke telinganya. Sembari membenahi pakaiannya yang tadi sepertinya lecek disenderi 'kekasihnya'. Ah, ternyata dugaan ku meleset sekaligus terpeleset. 

Salam,

Solo, 16 Mei 2016

10:00 pm

Sunday, May 15, 2016

Maaf Saya Sangat Sibuk

Maaf Saya Sangat Sibuk

(ilustrasi: acaciahrsolutions.com)
ilustrasi: acaciahrsolutions.com



Undangan acara gathering melepas para wisudawan itu datang 4 hari lalu. Aku baru sempat membukanya. Karena meja kerjaku di ruang dosen ini biasanya penuh surat-surat. Sebenarnya, kepala Prodi sudah mengabarkan jauh sebelumnya acara ini. Dan aku tahu, mahasiswa yang sibuk mengurus wisuda biasanya pun akan menghadiri acara pelepasan ini. Saya cukup mendoakan mereka untuk sukses. Kiranya kehadiran saya nanti tidak begitu berpengaruh banyak. 

Acara yang setiap helatannya pasti kampus pun banyak 'dihiasi' tenda-tenda kecil. Tenda yang nantinya akan berisi background untuk berfoto untuk wisuda. Ada fotografer amatiran yang akan memfoto mereka bersama orangtua mereka. Dan biasanya pun, gedung serbaguna kampus kami akan bersolek. Karena pada acara wisuda gedung ini akan digunakan. Ia akan menjadi saksi sejarah mereka yang berbahagia telah menempuh studi untuk mendapat gelar sarjananya. Ah, aku hanya ingat hal-hal itu menjelang wisuda. Dan tentunya, setiap jurusan akan mengadakan pelepasan calon wisudawan. Biar rekan dosen yang lain yang datang. Ah, waktu acaranya bertepatan dengan sore hari. 

Sore, sebuah waktu yang saya fikir waktunya saya untuk pulang ke rumah. Setidaknya waktu untuk beristirahat setelah mengajar seharian. Saya fikir  pilih tidak hadir. Dan nanti sore juga akan ada tamu. Tadi pagi teman saya mengabari akan berkunjung ke rumah. Lagi pula, rekan-rekan dosen sepertinya jarang yang akan datang ke acara gathering pelepasan ini. Nanti, saya akan pamit dan ijin untuk tidak bisa menghadirinya. Ada surat lain terselip di sela-sela. Tertulis nama saya lengkap dengan title saya. Diketik dengan baik dengan tinta berwarna pada kop surat. Wah, surat undangan acara teater mahasiswa. Menarik. Sudah lama saya tidak menonton teater. 

Namun sayang seribu sayang, teaternya dimulai pukul 7 malam. Teaternya dimulai hari Senin minggu depan. Karena malam hari waktu yang baiknya saya beristirahat di rumah bersama keluarga. Apalagi berakhirnya kadang tidak sesuai apa yang ada di undangan. Waktu dimulai pukul 7, biasanya jam 8 baru mulai. Lalu berakhir pukul 10 mungkin. Itupun sepertinya begitu. Lha, di kelas saja mahasiswa sering telat kok. Kabar teater ini sebenarnya saya sudah lihat di poster dan fammlet sekitar kampus. Posternya bagus. Ada sentuhan artistik yang mahasiswa buat. 

Teaternya sih katanya bagus setiap tahun. Tahun kemarin beberapa penampilan sangat memukau kata rekan dosen. Saya turut bangga dengan mahasiswa saya. Kreatifitas mereka memang bisa terasah dengan teater ini. Saya bangga kalau melihat mereka yang hendak beraksi di teater saat di kelas. Semoga saja mereka tahu saya pun bangga dengan mereka. Walau cukup dengan pandangan saya. Saya rasa cukup. Seorang mahasiswa masuk ke dalam ruang dosen. Melihat saya sibuk membuka undangan yang ada, ia datang menghampiri saya. 

Sembari salam lalu tersenyum ia minta ijin duduk. Saya persilahkan. Lalu saya bertanya apa gerangan urusannya bertemu dengan saya. Panjang lebar ia menjelaskan. Mahasiswa ini meminta saya menjadi juri perlombaan Cerpen siswa SMA. Ah, saya sampaikan saya harus menolak. Karena harus membaca cerpen dan menilainya, saya fikir agak memberatkan saya. Saya hanya bilang, mulai Senin minggu depan saya harus menghadiri teater mahasiswa di malam hari. Jadi agak sulit saya mereview cerpennya. 

Silahkan cari juri lain saja. Mahasiswa itu tersenyum simpul. Nampaknya kebingungan, tapi setidaknya saya memberi solusi. Biarkan mereka berusaha semaksimal mungkin. Karena saya tahu mereka bisa menemukan juri lain. Entah siapa, setidaknya saya sarankan. Ah, saya fikir betapa sulitnya saya berbaur dengan kegiatan para mahasiswa. 

Salam,

Solo, 15 Mei 2016

09:00 am
(Reblog dari Kompasiana disini)