Share Baby Photo - ilustrasi: beckermanpr.com |
Sudah beberapa kali notifikasi Facebook terlihat di HP seorang ibu.
Duh, betapa senang hati si ibu. Foto anaknya yang baru saja bisa jalan mendapat
hampir 50 . Foto itu baru saja diunggah pagi tadi. Komentar dari beberapa orang
teman pun terlihat. Ah, nanti saja membalas komentar kalau sudah banyak fikir
si ibu. Besok-besok foto dan video anaknya yang bisa jalan akan ibu ini unggah
lagi di Facebook. Betapa senang nanti juga nantinya hati si ibu.
Pernahkah ilustrasi diatas Anda lihat atau alami sendiri? Seperti sudah
menjadi insting orangtua, bahwa anaknya adalah anak terhebat. Ia akan tumbuh
menjadi seorang yang hebat. Dan orang harus tahu hal ini. Dengan media sosial
serupa Facebook, Twitter, Instagram, Path, dll, berbagi kegembiraan tidak ada
salahnya dengan meng-upload foto anak-anak kita. Atau, dengan berbagi cerita
melalui Blogspot, Wordpress, dsb soal sulitnya anak kita berhenti mengompol.
Menjadi cara berbagi kehidupan dan cerita seorang anak, secara online.
Satu atau dua kali berbagi foto atau cerita tentang ‘nakalnya’ anak
kita mungkin masih wajar. Bagaimana jika berbagi seperti ini menjadi sebuah
adiksi. Maka bisa saja Anda terjangkit sindrom sharenting. Sharenting secara
harfiah adalah blending dari kata share dan parenting. Sebuah istilah urban
untuk orangtua yang terlalu berlebih berbagi semua hal tentang anak mereka
secara online.
Sisi Negatif Sharenting
Tentunya hal pertama yang terlihat dari (over)-sharenting adalah
privasi anak kita yang dilanggar. Pernahkah Anda membayangkan ketika anak Anda
dewasa dan melihat album fotonya di Facebook yang begitu banyak? Untuk saat ini
foto-foto ini menjadi momen terindah yang dibagi. Bagaimana dengan di masa
depan? Atau lebih mengkhawatirkan, anak Anda nanti akan di-bully. Karena
teman-teman sekolahnya tahu foto saat anak mengompol diantara ratusan foto
dalam album Facebook Anda.
Figur 1. Polling C.S Mott Children's Hospital on Children's Health: 2015 |
Sebuah riset dari AVG mengungkap bahwa lebih dari sepertiga anak di
Inggris mendapatkan foto mereka diunggah di sosmed oleh orangtua mereka.
Rata-rata anak sudah memiliki digital footprint bahkan sebelum gigi mereka
tumbuh. Peran ayah dan ibu pun terbukti sama dalam sharenting di internet.
Riset Brandwatch menyimpulkan bahwa 43% posting sharenting di sosmed dilakukan
oleh si ayah. Lebih mengejutkan, hasil survey dari 2,000 pengguna sosmed yang
dilakukan The Parent Zone menemukan bahwa rata-rata orangtua akan mem-post
1,000 foto anak mereka sebelum anak berusia 5 tahun.
Dampak lain yang lebih berbahaya pun bisa terjadi. Seperti kasus foto
anak Ruben Onsu yang sudah terjadi. Foto-foto anaknya dari Instagram
disalahgunakan oknum tidak bertanggungjawab. Foto anaknya menjadi iklan bayi
yang diperjual-belikan online. Jangan-jangan foto-foto anak Anda juga diambil
oknum seperti ini. Lalu dipajang di situs atau sosmed miliknya untuk menjadi
iklan human-trafficking. Karena saat foto saat mengunggah online, maka foto
atau video akan menjadi milik siapa saja. Akan lebih parah saat menjadi foto
atau video menjadi viral.
Sisi Positif Sharenting
Tentu tidak selamanya berbagi itu buruk. Ada kalanya berbagi menjadi
hal yang dibutuhkan baik anak maupun orangtua. Berbagi cerita tentang anak yang
mengalami autisme di blog tentunya akan merangkul lebih banyak audiens untuk
berbagi. Berbagi dengan orangtua dengan anak yang mengalami keterbatasan yang
sama juga bisa dilakukan dengan hal ini. Berbagi tips, saran atau saling
menguatkan tentu menjadi pelipur tersendiri dengan berbagi secara online. Atau
mengundang simpati dan donasi mungkin juga bisa didapat. Walau tidak secara
vulgar meminta donasi, masih ada tentunya orang yang mau mengulurkan tangannnya
membantu secara materiil.
Saat orangtua menjadi semakin terisolasi, sosial media bisa mendatangkan
rasa kebersamaan. Cepat dan instannya informasi tersebar di dunia maya,
menjadikan orangtua selalu bisa berbagi 24 jam. Baik soal anaknya yang
mengalami demam, atau membahas hari pertama anak masuk sekolah. Selalu ada
saran dan cerita yang dirasa bermanfaat orangtua dari internet. Sesama orangtua
serasa memiliki tugas yang sama. Walau secara fisik tidak pernah bersua, namun
secara daring sudah bisa saling melengkapi.
Walau informasi di dunia maya
cepat berubah dan berlimpah, konsultasi untuk masalah krusial seperti kesehatan
haruslah tetap hati-hati. Karena pola parenting setiap orangtua tentunya
berbeda. Karena anak memang individu unik. Obat demam tertentu untuk satu anak,
mungkin tidak cocok dengan anak yang lain. Pola asuh anak seorang psikolog
tentu akan berbeda dengan pola asuh orangtua yang hanya lulusan SMP. Pada
dasarnya, sharenting positif tetap akan menjadi dasar referensi untuk mencari
informasi yang lebih valid.
Kurangi Sisi Narsistik, Demi Anak
Sosial media memang menjadi media narsistik
orangtua. Siapa yang tidak bangga anaknya bisa berhitung. Lalu di-videokan
untuk diunggah di Youtube. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut.
Mengekalkan momentum indah seperti ini memang wajar adanya. Namun jika video
ini nanti disalah gunakan oknum tidak bertanggung jawab?
Find Us on Facebook - ilustrasi: psychcentral.com |
Bijaklah berbagi semua tentang anak. Biarkan apa yang dirasa indah
dengan orangtua dirasakan bersama. Mengabadikannya pun sewajarnya saja. Foto
anak sedari kecil dicetak dan ditaruh di album keluarga akan lebih kekal
memorinya. Betapa lucu saat anak memakai baju hadiah dari nenek-kakeknya waktu
ulang tahu pertama. Memori yang dinikmati saat anak sudah beranjak besar. Dan
betapa kasih sayang itu penuh untuk keluarga.
Angharad Rudkin, seorang psikolog keluarga menyatakan: “Saat ini banyak
orangtua tidak bisa menikmati momen indah bersama anaknya. Mereka harus
mengalaminya lebih dalam dengan mem-post-nya di Facebook. Jika Anda tidak bisa
menikmati momen spesial bersama anak karena harus mengunggah foto diri Anda
sendiri bersenang-senang, saatnya merefleksi diri. Pesan apa kiranya nanti anak
kita fahami. Jika kebersamaan dengan anak saja tidak cukup indah? Haruskan
posting itu menjadi pembuktiannya?”
Referensi: telegraph.co.uk | theguardian.com
Salam,
Solo,
15 Februari 2016
01:10 pm
(Reblogged
dari Kompasiana disini)
0 Comments: