Monday, February 15, 2016

If I Were a Bird, I Wish I Can Fly

Bird - ilustrasi: pinoakstudio140.weebly.com
Ada yang membuat saya tersenyum sendiri sekaligus terenyuh saat membaca jawaban ujian mahasiswa. Soal-soal yang mencoba mengetahui sejauh mana kemampuan menulis mahasiswa, ternyata tidak sesuai yang diharapkan. Bukan pada masalah membuat kalimat. Ataupun kesalahan grammar yang memang juga indikator penting. Namun lemahnya imajinasi yang dimiliki mahasiswa. Judul diatas adalah salah satu jawaban. Soalnya adalah melengkapi kalimat mood subjunctiveIf I were a bird, .... Dalam hal ini, mahasiswa secara tepat harus melengkapi kalimat pengandaian tersebut. Yang tentunya, dalam bahasa Inggris, pola mood subjunctive ini beragam.

Seorang mahasiswa menjawab, If I were a bird, I wish I can fly. Secara gramatikal, kalimat ini benar. Tidak ada yang menyalahi tata kalimat model conditional atau subjunctive. Namun jika difahami, kalimat ini hambar. Kalau diperhatikan, If I were I bird, I wish I can fly adalah kebenaran logika. Pola berfikir linear pun terlihat. Jika A maka akan A'. Jika kamu seekor burung, maka saya akan terbang, itu adalah kebenaran umum. Hambar sekali kalimat ini dari nilai imajinatif. Sedang kalimat subjunctive sendiri mencoba kemampuan berfikir imajinatif di masa sekarang, lampau dan masa depan. Dimana letak sisi imajinatif dari kalimat seperti diatas?
Ada juga yang menjawab dengan If were a bird, but I'm not a bird. Sebuah ilustrasi mandegnya imajinasi. Yang terpola secara gramatis baik, namun minim cipta karsa. Entah apa yang dicoba disampaikan dengan model kalimat seperti itu. Mencari sensasikah? Atau memang tidak ada luasnya alam imajinasi mereka untuk kalimat pengandaian? Yang pasti, dari dua contoh melengkapi kalimat diatas, mahasiswa terpatri pada pola fikir linear. Dari satu garis ke garis lain. Tidak ada keinginan membawa diri mereka mengarungi jalan yang berliku dalam dunia imajinasi.

Tapi, bukan cuma soal menulis semata fenomena ini terjadi. Pada saat menguji kemampuan berbicara bahasa Inggris pun ada yang menjawab dengan 'minimnya imajinasi'. Saya mencoba bertanya Would you change your name in the future? Ada yang menjawab Why should I do it? It's silly question. Saya hanya bisa tersenyum sambil menanyakan pertanyaan lainnya. Lalu saya fikir, ternyata ada saja mahasiswa yang memang mentok imajinasinya. 

Apa yang salah dengan pertanyaan imajinatif seperti itu? Sebuah probabilitas yang mungkin saja terjadi karena satu dan lain hal. Beberapa mahasiswa menjawab, memang klise. Tidak mau mengganti karena ini adalah pemberian orangtuanya. Andai saja ada yang menjawab Yes I want to change my name, because bla bla bla.... Saya yakin akan lebih berwarna diskusi yang terjadi. Akan saya tanyakan kenapa harus nama itu? Apakah nama itu memiliki kesan khusus? dll. Dan imajinasi yang disampaikan mahasiswa seperti ini tentu bernilai lebih. Karena mampu lepas dari linearitas berfikir.

Karena bahasa bukan studi eksakta. Dan hal ini telah saya sampaikan kepada mahasiswa. Studi bahasa, seperti bahasa Inggris, tidak serupa studi eksakta. Dimana ada standar dan formula yang paten. Bahasa sangat fleksible dan melengkapi kehidupan manusia. Bahasa akan berubah seiring perubahan peradaban manusia. Namun nampaknya, hal ini yang tidak dipelajari di sekolah. Atau, belum banyak yang mengetahui luwesnya bahasa.

Karena yang dipelajari di SMP/SMA mungkin pada tata bahasa. Dimana bahasa Inggris memiliki 16 tensesregular/irregular verb, dll. Lalu guru mereka menerangkan seperti rumus-rumus Kimia atau Fisika. Jika mereka sudah dianggap faham, guru pun meminta mereka menjawab LKS. Lalu ada pula ujian Listening yang menebak apa yang difahami dari percakapan. Ini pun masih sistematis. Karena masih dalam controlled-environment, bercakap-cakap pun sesuai taksiran teori atau situasi yang diinginkan. Jauh dari colloquial dan non-conventional environment sebuah tindak tutur. Imajinasi mereka dalam bahasa pun mungkin tumpul.  

ilustrasi: soccerwidow.com
Toh, di bangku sekolah mereka juga senang dicekoki mapel gurunya. Sedang jawaban yang memancing argumentasi dan imajinasi mungkin tidak sering digunakan. Karena hasil ulangan/UN bahasa Inggris yang baik diukur dengan dua digit nilai. Yang penting bisa menjawab soal bahasa Inggris. Bukan menjawab esensi tindak tutur, namun menjawab untuk memberi jawaban yang kaku. Keluwesan berbahasa ditumpulkan dengan soal pilihan ganda. Karena jawaban sudah disediakan. Siswa tinggal memilih. Apa sulitnya memilih? Karena guru dan penentu kebijakan pendidikan tidak ingin melihat siswa tidak lulus mungkin. Lalu sisi afektif mereka begitu lemah untuk bisa menelusuri dalamnya imajnasi.

Saya pun tidak mencoba menyalahkan mahasiswa seperti ini adalah sepenuhnya korban sisdiknas. Lingkungan dan orangtua pun mungkin bisa berpengaruh. 7-8 jam di sekolah tentu lebih sedikit daripada waktu di luar sekolah. Saat bersama teman dan keluarga, siswa pun belajar. Sayangnya, banyak yang melesapkan sisi imajinasi. Misalnya saat anak mewarnai Spiderman, namun warnanya coklat. Lalu orangtua malah menyalahkan. Lalu membenarkan kalau Spiderman warnanya merah-biru. Tanpa ditanya kenapa warnanya coklat? Coba dengar apa yang mereka imajinasikan kenapa warna Spiderman coklat. Daripada menyalahkan dan membuat dunia imajinasi mereka mentok.

Dan akhirnya mereka tumbuh dengan imajinasi yang harus disesuaikan konvensi. Jika apa yang dilakukan, ditulis, diperbuat tidak dianggap wajar, maka deviasi seperti ini tidak dapat diterima. Sebuah imajinasi yang tidak sesuai superego masyarakat adalah salah. Ditambah, disekolah pun imajinasi sangat diminimkan. Belajar bukan senikmat berimajinasi. Belajar disekolah melelahkan dan membosankan karena anak harus terus bergerak dari satu titik ke titik lain. Saat imajinasi mereka ingin meloncat, berkelit, dan berpolah hal ini tidak dapat diterima.
Hasilnya, If I were a bird, I wish I can fly.

Salam,

Solo, 07 November 2015

11: 46 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)

Author:

0 Comments: