Multitasking Jobs - ilustrasi: workplacepsychology.net |
Seringkah Anda me-multitask
pekerjaan di kantor? Sedang menulis laporan sembari menunggu email konsinyasi
masuk di depan layar. Juga disambi menunggui printout perjanjian kontrak
jual beli bulan lalu yang jumlahnya ratusan. Ditambah menunggu notifikasi BBM
istri yang hendak titip belanjaan bulanan. Atau apapun kegiatan atau pekerjaan yang
Anda lakukan, multitask seolah menjadi penanda Anda orang modern. Individu
modern yang bisa menyelesaikan segalanya dalam satu waktu. Ya, padanannya
serupa smartphone atau PC Anda.
Tapi
benarkan otak kita sudah di-desain untuk ber-multitask? Tidak benar
adanya. Sebuah penelitian seorang neurosaintis MIT di US menyimpulkan bahwa
otak kita tidak dibuat untuk multitask. Saat seseorang merasa dirinya
ber-multitask, sebenarnya ia hanya berganti-ganti aktifitas dengan sangat
cepat. Dan setiap kali ia melakukan hal ini, ada konsekuensi yang harus
ditanggung.
Saat
orang (merasa) melakukan multitask menyebabkan prefontal cortex dan striatum
menghabiskan glukosa teroksigenasi. Kandungan ini yang memungkinkan seseorang
berfokus pada pekerjaan. Saat (merasa) ber-multitask dengan cepat, maka
kandungan ini terbakar cepat. Akibatnya, orang tersebut menjadi lelah dan
linglung setelah beberapa waktu. Kelelahan kinerja secara kognitif dan fisik
pun terjadi.
Berpindah-pindah
aktifitas seperti ini pun juga memicu ketegangan. Hal ini mendorong hormon
kortisol penyebab stress meningkat. Yang berakibat munculnya perilaku agresif
dan impulsif. Bersamaan dengan proses ini, terjadi loop berupa feedback dopamine. Otak
akan mudah hilang fokus. Otak pun akan mencari stimulasi eksternal yang
memberikan efek kebaruan dan menyenangkan. Akibatnya, aktifitas yang baru
atau ditunggu-tunggu bisa mengalihkan fokus dari aktifitas yang mungkin
lebih penting.
Multitask - ilustrasi: motherjones.com |
Sebuah studi di Universitas
London mendapatkan fakta yang mengusik fikiran. Hasilnya, para peserta
penelitian yang ber-multitask mengalami penurunan IQ. Penurunan IQ ini serupa
efek merokok marijuana atau ganja, dan juga pada orang yang
begadang semalam suntuk. IQ para peserta penelitian ini turun hingga 15
poin yang dapat dikatakan setara IQ anak usia 8 tahun. Sedang hasil
studi University of Sussex mengungkap bahwa mutitask secara permanen merusak
otak. Hasil scan MRI dari para multitasker tulen memperlihatkan pengecilan
volume otak di bagian anterior cingulate cortex. Bagian ini berfungsi mengatur
rasa empati dan kontrol emosi.
Multitask
pun bukan hanya pada pekerjaan. Saat anak Anda menonton TV sembari sambil
belajar juga merupakan multitask yang memberi efek tidak baik. Russ Poldrack,
seorang neurologis di Stanford menemukan fakta mencengangkan. Jika anak belajar
sambil melihat TV, informasi yang salah bisa masuk ke bagian otak yang salah.
Informasi pelajaran masuk ke striatum, bagian yang menyimpan memori skill dan
prosedur, bukan informasi tentang fakta dan pelajaran. Tanpa TV sebagai
distraksi, informasi pelajaran harusnya masuk ke hippocampus agar mudah diingat
kembali.
Walau
hasil pasti akibat dari multitask masih belum final, namun hasil yang ada bis
menjadi cerminan. Betapa otak kita memang bukan pekerja yang bisa segala hal
dalam satu waktu. Baiknya memilah dan mengerjakan satu persatu pekerjaan bisa
dilakukan. Memberi minimum-dose atau
dosis hormon minimun pada otak saat bekerja memberikan efek kesehatan yang
lebih baik. Menyelesaikan satu persatu pekerjaan dengan pencapain yang tuntas
akan lebih memberi ketenangan.
Referensi: medium.com | talentsmart.com | theguardian.com
Salam,
Solo, 8
Maret 2016
07:00 am
(Reblog dari Kompasiana disini)
0 Comments: