Tuesday, March 8, 2016

Bahaya Multitasking Otak, IQ Menurun 15 Poin

Multitasking Jobs - ilustrasi: workplacepsychology.net

Seringkah Anda me-multitask pekerjaan di kantor? Sedang menulis laporan sembari menunggu email konsinyasi masuk di depan layar. Juga disambi menunggui printout perjanjian kontrak jual beli bulan lalu yang jumlahnya ratusan. Ditambah menunggu notifikasi BBM istri yang hendak titip belanjaan bulanan. Atau apapun kegiatan atau pekerjaan yang Anda lakukan, multitask seolah menjadi penanda Anda orang modern. Individu modern yang bisa menyelesaikan segalanya dalam satu waktu. Ya, padanannya serupa smartphone atau PC Anda.

Tapi benarkan otak kita sudah di-desain untuk ber-multitask? Tidak benar adanya. Sebuah penelitian seorang neurosaintis MIT di US menyimpulkan bahwa otak kita tidak dibuat untuk multitask. Saat seseorang merasa dirinya ber-multitask, sebenarnya ia hanya berganti-ganti aktifitas dengan sangat cepat. Dan setiap kali ia melakukan hal ini, ada konsekuensi yang harus ditanggung.

Saat orang (merasa) melakukan multitask menyebabkan prefontal cortex dan striatum menghabiskan glukosa teroksigenasi. Kandungan ini yang memungkinkan seseorang berfokus pada pekerjaan. Saat (merasa) ber-multitask dengan cepat, maka kandungan ini terbakar cepat. Akibatnya, orang tersebut menjadi lelah dan linglung setelah beberapa waktu. Kelelahan kinerja secara kognitif dan fisik pun terjadi.

Berpindah-pindah aktifitas seperti ini pun juga memicu ketegangan. Hal ini mendorong hormon kortisol penyebab stress meningkat. Yang berakibat munculnya perilaku agresif dan impulsif. Bersamaan dengan proses ini, terjadi loop berupa feedback dopamine. Otak akan mudah hilang fokus. Otak pun akan mencari stimulasi eksternal yang memberikan efek kebaruan dan menyenangkan. Akibatnya, aktifitas yang baru atau ditunggu-tunggu bisa mengalihkan fokus dari aktifitas yang mungkin lebih penting.

Multitask - ilustrasi: motherjones.com

Sebuah studi di Universitas London mendapatkan fakta yang mengusik fikiran. Hasilnya, para peserta penelitian yang ber-multitask mengalami penurunan IQ. Penurunan IQ ini serupa efek merokok marijuana atau ganja, dan juga pada orang yang begadang semalam suntuk. IQ para peserta penelitian ini turun hingga 15 poin yang dapat dikatakan setara IQ anak usia 8 tahun. Sedang hasil studi University of Sussex mengungkap bahwa mutitask secara permanen merusak otak. Hasil scan MRI dari para multitasker tulen memperlihatkan pengecilan volume otak di bagian anterior cingulate cortex. Bagian ini berfungsi mengatur rasa empati dan kontrol emosi.

Multitask pun bukan hanya pada pekerjaan. Saat anak Anda menonton TV sembari sambil belajar juga merupakan multitask yang memberi efek tidak baik. Russ Poldrack, seorang neurologis di Stanford menemukan fakta mencengangkan. Jika anak belajar sambil melihat TV, informasi yang salah bisa masuk ke bagian otak yang salah. Informasi pelajaran masuk ke striatum, bagian yang menyimpan memori skill dan prosedur, bukan informasi tentang fakta dan pelajaran. Tanpa TV sebagai distraksi, informasi pelajaran harusnya masuk ke hippocampus agar mudah diingat kembali.

Walau hasil pasti akibat dari multitask masih belum final, namun hasil yang ada bis menjadi cerminan. Betapa otak kita memang bukan pekerja yang bisa segala hal dalam satu waktu. Baiknya memilah dan mengerjakan satu persatu pekerjaan bisa dilakukan. Memberi minimum-dose atau dosis hormon minimun pada otak saat bekerja memberikan efek kesehatan yang lebih baik. Menyelesaikan satu persatu pekerjaan dengan pencapain yang tuntas akan lebih memberi ketenangan. 


Salam,

Solo, 8 Maret 2016

07:00 am
(Reblog dari Kompasiana disini)

Author:

0 Comments: