Friday, April 20, 2018

Siapkan Anak Kita Per(ang)gi ke Sekolah

Siapkan Anak Kita Per(ang)gi ke Sekolah

Snapshot Pemukulan Siswa SMP oleh guru - foto: jabar.tribunnews.com
Baru-baru ini, viralnya seorang guru memukuli seorang siswa SMP membuat kita terenyuh. Walau tempat kejadiannya masih diusut, namun kesan yang timbul mengerikan. Tidak semengerikan saat saya menonton tinju bahkan MMA yang sedang digandrungi. Namun begitu dahsyat (raw) dari 36 detik video tadi membuat saya sebagai orang tua prihatin sekaligus takut.
[EDIT] Kabar berita terbaru, bahwa pelaku pemukulan adalah sesama siswa di sebuah SMK di Pontianak. Namun, ada pula kabar yang mengungkap pemukulan ini dilakukan oleh orangtua yang tidak terima anaknya dilecehkan secara seksual. (Berita disini)
Alih-alih mengantar pergi anak saya sekolah nanti. Saya akan mengantarkan mereka perang. Apa sih yang tidak ada di sekolah dan lingkungannya?
Mulai dari kasus perundungan, asusila, penculikan, gedung roboh, sampai peristiwa keracunan atau peristiwa kesurupan ada di sekolah. Seolah sekolah adalah panggung dari pahitnya realitas hidup. Saat anak sewajarnya mendapat pendidikan laik dan mumpumi, yang terjadi kadang tidak demikian. Ada rasa was-was, syak wasangka, bahkan ketakutan saat anak pergi ke sekolah.
Saya pun yakin tidak semua sekolah atau tingkat sekolah mengalami isu tersebut. Namun apa yang terjadi dan terulang juga diberitakan memang tidak sepositif apa yang dilihat dan dirasa. Semua peristiwa ini seolah menyiratkan beberapa hal darurat dalam pendidikan di Indonesia secara menyeluruh.
Pertama, sekolah seakan memagut faham ono rupo ono rego. Sekolah apa yang paling aman, tenteram, dan membuat anak kita punya daya saing? Ya tentu sekolah swasta mahal. Sekolah yang dijaga kualitas dan kuantitasnya pada domain seberapa besar SPP dan uang gedung yang dibayarkan. Mulai dari fasilitas, staf sekolah, guru sampai sekuriti dijamin kehandalannya. Anak kita akan dijaga dan dibuat pintar sesuai apa yang diimpikan orang tua.
Jatuhnya, orang miskin dan tidak mampu memilih anaknya bersekolah di "pokoknya sekolah'" Sekolah yang gurunya saja digaji sepertiga dari UMP Jakarta. Sarana dan prasarana menyesuaikan setoran bulanan dan uang gedung. Orang tua tidak bermimpi banyak anaknya bisa menggantikan BJ Habibi nanti. Setidaknya ia tidak nganggur di rumah dan digosipi tetangga menyoal anaknya yang putus sekolah.
Kedua, pemegang otoritas sudah waktunya memijakkan sistem pada satu fundamen pendidikan nasional. Terlepas dari sistemnya yang gonta-ganti sesuai titah menteri, cukup sistem tunggal dengan penyempurnaan seiring waktu. Usah lagi mencari duit cipratan proyek kurikulum dengan sebutan yang begitu eksostis, namun hasilnya nol. Bahkan saat hasil belum muncul, sudah dibredel dengan sistem baru.
Kekacauan sistem yang mempengaruhi profesi guru, ranah pedagogis, dan cakupan administratif pun terjadi. Dampaknya pun pada siswa, sekolah dan kualitas generasi yang tercipta. Inilah hasil generasi uji coba Sisdiknas yang kadang hanya sekadar mengikuti ego rezim dan tren global. Sistem yang kadang lupa di mana ia berpijak selama lebih dari 70 tahun kita merdeka. Uji trial and error Sisdiknas kini sudah terlalu banyak error-nya daripada goodness-nya.
Saya kira pun tak sedikit cendekia dan praktisi pendidikan negeri ini. Mereka bisa urun rembug untuk menyusun Sisdiknas tunggal dan visioner yang tidak lekang oleh zaman. Sistem yang tidak jauh berbeda 30 sampai 50 tahun lagi. Sistem dinamis namun fundamental yang didasarkan falsafah hidup dalam kebhinnekaan.
Ketiga, kasus-kasus "mengerikan" di atas mungkin urung dihapuskan menyeluruh. Namun mencegahnya berulang di lain tempat dan waktu kiranya bisa diusahakan. Urgensi pengawasan dan pemberdayaan pihak terkait di sekolah dan dinas sudah tinggi. Sedang seolah pemegang otoritas hanya bertindak saat terjadi dan terliput media. Tindakan preventif dinafikan, sedang tindakan kuratif tak jua menyembuhkan penyakit ini.
Jika kasus-kasus di atas terus terulang dan menjadi ritual kuratif belaka, orang tua mana yang tidak khawatir? Anak saya dan Anda mau jadi apa nanti di sekolah? Sekolah seolah penjara kecil bagi anak. Ia mengurung anak setengah hari. Ada hukuman verbal dan fisik, baik dari guru/teman. Ada makanan yang bernarkoba/beracun pun ditawarkan. Belum lagi ditambah tawuran antar siswa/sekolah. 
Anak kita seakan diciptakan untuk menghadapi kerasnya (bahkan kejamnya) hidup di sekolah. Anak kita diberikan sedikit bahkan tidak sama sekali nilai, norma, dan pengetahuan. Entitas-entitas pengembang dan penguat karakter dan ilmu untuk masa depan mereka menjadi kian nihil. Bekali saja anak kita dengan bela diri dan latihan fisik agar kuat berkelahi. Latih mereka bermuka tembok dan acuh pada cemoohan. Sehingga tidak timbul empati dan simpati dari mereka agar tidak dibodohi dan dimanfaatkan orang lain di sekolah.
Mungkin artikel ini terkesan fatalistik dan mengeneralisasi. Namun apa yang terjadi di sekolah dan sistem pendidikan kita beginilah adanya. Saat banyak yang berwacana memperbaiki semua, tarafnya tidak sampai aktualisasi. Terlalu akut sudah penyakit dalam pendidikan kita. Dan saya kira, tidak cuma saya sebagai orang tua khawatir akan apa yang terjadi. Bagi para pendidik, praktisi, dan cendekia ranah edukasi, hal ini menyiratkan gercep pembenahan holistik.
Salam,
Solo, 20 April 2018

10:39 pm
Reblog dari Kompasiana di sini

Tuesday, November 15, 2016

Sebuah Helicopter View Menyoal Full-Day School Mendikbud Baru

Sebuah Helicopter View Menyoal Full-Day School Mendikbud Baru

Berangkat Sekolah - foto: jagawana.com
Sebuah gebrakan dibuat Mendikbud yang baru saja dilantik Muhadjir Effendi menyoal Full-Day School (FDS) menyentak kita semua. Netizen dan publik pemerhati pendidikan pun riuh. Banyak yang mengomentari dengan nyinyir. Ada juga yang masih ragu melihat kebijakan ini akan efektif. Namun banyak pula yang senang akan aturan yang akan di-pilot project nantinya. Pak Mendikbud baru beserta jajarannya masih menggodok konsep. Dan seperti biasa, publik dibuat gamang sekaligus gaduh.

Seolah Muhadjir ingin membuat publik terhenyak lalu meminta kita menengok dan melihat dirinya dengan kebijakan FDS. Ini lho Mendikbud baru yang akan memberikan 'sesuatu' yang lebih daripada yang sudah lalu. Bijak lagi baik kiranya kita mengamati kebijakan ini dengan helicopter view. Bukan sekadar pro atau kontra. Namun juga memandang dari pihak-pihak yang dilibatkan disana. 

Setidaknya ada 4 empat pihak yang terlibat nantinya dalam kebijakan FDS ini. Semua dengan sisi negatif dan positif sebagai dampak FDS. Walau positif dan negatif disini harus perlu dianggap variabel tentatif. Namun setidaknya bisa memberi helicopter view menyoal kebijakan FDS ini.

1. Penentu Kebijakan
Dari sudut policy maker, FDS memang menjadi ujung tombak program kebaruan. Hal ini memberi pembeda dari pendahulu. Mungkin pula hal ini menjadi kewajiban Mendikbud baru dari pemerintah. Dengan kata lain, harus ada gebrakan. Mau tidak mau, enak tidak enak harus ada. Dan kebijakan ini harus siap dijalankan dengan efektif dan efisien. Mengingat pendidikan di Indonesia memang menjadi problema yang kian kusut.

Sisi positifnya, Mendikbud baru bisa memberi bukti pada atasan, dalam hal ini Presiden pada awal kinerjanya. FDS digadang bisa memberikan anak 'pagar' dari aktifitas luar sekolah yang buruk. Negatifnya, FDS ini memang menjadi program sekadar memenuhi sisi kebaruan. Walau konsep FDS diterapkan di beberapa sekolah, namun memukul rata penerapan FDS bisa dianggap kejar setoran.

2. Pihak Sekolah
Dan tentunya sekolah sebagai pelaksana kebijakann FDS memikul beban berat nantinya. Pihak sekolah harus menyiapkan entah sisi akademis atau non-akademis untuk memanjangkan masa tinggal siswa di sekolah. Guru harus memutar otak untuk menginisiasi program seperti pengayaan akademik, membahas PR, membuat karya kriya, dsb. Guru juga akan berkoordinasi organisasi ekstrakurikuler untuk menggodok program baru. Mulai dari UKS sampai mungkin Marching Band akan dijadwalkan kegiatan seusai jam belajar sekolah usai.

Positifnya, pihak sekolah akan dituntut lebih kreatif. Membuat siswa untuk betah di sekolah dengan kegiatan positif menjadi tujuannya. Negatifnya, beban guru akan semakin bertambah. Diberi honor yang seadanya, berdasar budget sekolah yang mungkin sudah berat, guru kiranya akan menggerutu. Pihak sekolah bisa saja mengumpulkan dana dari orangtua. Namun kiranya akan banyak perdebatan menyoal uang iuran.

3. Pihak Orangtua
Bagi orangtua yang bekerja, tentu banyak yang senang kebijakan FDS ini. Pulang kerja anaknya akan sama dengan jam pulang kerja. Namun bagi orangtua yang yang bekerja dari rumah, masih akan gamang. Anak yang biasa ditemui di rumah akan berkurang waktunya dari Senin-Jumat. Apakah efektif anak terus 'dikurung' di sekolah dengan FDS.

Positifnya, orangtua akan dijamin anaknya baik-baik diurus sekolah. Karena FDS adalah keputusan Mentri yang harus dilaksanakan sekolah, anak mereka akan tentu mendapat hal positif di sekolah usai jam belajar. Negatifnya, orangtua harus benar-benar memastikan anaknya kuat untuk sekolah FDS. Kuat bukan sekadar fisik namun juga mental. Karena tidak semua anak betah lama-lama di sekolah.

4. Pihak Siswa
Dan kebijakan FDS ini akan menjadikan siswa 'eksperimen' kembali. Sejak gonta-ganti kurikulum dan program-program penuh kejutan diawal dan mlempem di jalan, FDS diharapkan tidak demikian pastinya. Siswa kembali akan memikul keberhasilan program ini. Siswa yang sudah senang dengan sekolahnya akan lebih senang dengan sekolahnya karena bisa berlama-lama. Sedang siswa yang tidak senang, FDS bisa menjadi neraka.

Sisi positifnya tentu siswa akan mendapat life-skill dan pengayaan akademik dan non-akademik. Hal-hal yang tidak cukup diajarkan dengan jam sekolah konvensional. Mulai dari kursus, ekstrakurikuler, sampai program siraman rohani kabarnya akan dicanangkan. 

Negatifnya, siswa harus benar-benar kuat menerima semua ini di sekolah. dalam hal ini, kuat secara fisik dan mental. Karena program-program tadi bisa saja didapat di luar sekolah. Dan faktor psikologis bosan di sekolah bisa saja terjadi.
Help - ilustrasi: metrovaartha.com
Dan lumrah jika sebelumnya FDS dikaji lebih detail. Dari sekolah swasta yang sudah menerapkan FDS harusnya sudah bisa didapat gambaran detail aa yang sebenarnya didapat dengan FDS. Dan saya kira tidak kurang referensi ilmiah yang sudah meneliti dampak baik dan buruk FDS di sekolah swasta. Pihak Kemendikbud harus benar-benar mendalami hal ini untuk pilot project yang hendak dilaksanakan.

Publik kiranya boleh mengemukakan keberatan setelah kajian literasi yang ada dan pilot-project dianggap kurang memuaskan. Dengan persebaran pendidikan yang timpang di negri ini, FDS bisa membuat washback yang buruk. Banyak dampak FDS yang malah menjadi blunder jika diterapkan di daerah terpencil misalnya. Saat siswa harus berjalan 10 KM ke sekolahnya. Bayangkan mereka harus pulang pukul 5 sore menyusuri hutan. Hal ini berkebalikan tentunya di kota besar. Pulang pukul 5 sore berarti anak benar-benar aman di sekolah sampai mereka pulang ke rumah.

Orangtua pun harus semakin kreatif memanfaatkan kebersamaan dengan anak. Orangtua harus rela mempercayakan pendidikan anak di sekolah selama 10 jam anak di sekolah. Namun harus selalu diingat, manfaatkan dengan baik 2 hari libur anak di akhir pekan. Isi kegiatan positif dengan kedekatan hati di hari Sabtu-Minggu. Jangan malah memanjakan anak benar-benar libur dan sekadar tidur dan bermain game atau gadget.

Kebijakan akan belum terasa bijak jika kemanfaatannya tidak dirasakan. Berfikir negatif 
akan suatu kebijakan pun bisa mengaburkan perspektif positifnya. Namun terlalu yakin akan kebijakan baru pun bisa mementahkan kritik yang sejatinya membangun. Memposisikan perspektif diatas dengan mengawasi segala aspek dan variabel yang terlibat akan lebih bijak. Dan akan lebih berguna lagi, jika ada kontribusi nyata menyoal kebijakan FDS ini. 

Mungkin tulisan saya bisa memberikan hal ini.

Salam,

Wollongong 15 November 2016

07:00 am
(Reblog dari Kompasiana disini)

Sunday, November 13, 2016

Ingat, Beasiswa Bukanlah Hadiah

Ingat, Beasiswa Bukanlah Hadiah

Ilustrasi. Shutterstock
'Beasiswa bukan hadiah.'
Sebuah frasa yang sejak saya menjadi awardee dari institusi pemerintah selalu saya camkan di dalam hati. Bukan coba membebani diri, namun memberi sedikit pengingat seiring saya menempuh studi di negara orang saat ini. 

Mungkin saja saya khilaf jika menganggap beasiswa adalah hadiah. Beasiswa adalah 'hak saya' karena saya pintar. Menjadi 'jatah' saya karena saya berprestasi. Atau merupakan 'hibah' buat saya yang mengabdi pada satu bidang setelah bertahun-tahun. Semoga saya dijauhkan dari berfikiran demikian.

Coba saya analogikan dengan orang-orang yang sekolah di luar negri dengan biaya sendiri. Biaya sendiri baik dari pribadi karena bekerja atau dana berasal dari orangtua. Sifat sentripetal dihasilkan dari sekolah biaya sendiri. 

Maksudnya, tanggung jawab yang ada terfokus pada diri sendiri dan orangtua yang membiayai. Orangtua harus wajib tahu hasil tiap semester misalnya. Atau ada motivasi intrinsik untuk mendapat nilai diatas 80 demi mengejar karir di masa depan. 

Berbeda dengan sifat beasiswa yang sentrifugal. Beasiswa seperti ini saya pikir akan melibatkan dan mempengaruhi banyak orang. Beberapa pihak tersebut seperti:
  1. Pemerintah/institusi; Saya harus mempertanggung jawabkan hasil pra, whilst dan paska studi kepada pemerintah/institusi. Sebelum mendapat beasiswa ada seleksi ketat. Donor beasiswa tentu tidak akan memberi kepada sembarang awardee. Integritas menjadi salah satu poin penting yang diukur. Tentunya saat studi, hal akademis dan non-akademis menjadi tolok ukur integritas yang sudah diukur sebelumnya. Akhirnya, saat studi selesai impact apa yang awardee tersebut bisa dikontribusikan ke negara, institusi tempat bekerja, dan masyarakat secara luas. 
  2. Sekolah/institusi tempat belajar; Sekolah/institusi ini bisa di dalam dan luar negri. Sudah bisa pasti sekolah/institusi memiliki ekspektasi tinggi saat menerima awardee beasiswa. Mereka tahu awardee sudah diseleksi ketat oleh pemerintah/institusi donor beasiswa. Tentu 'standar' atau benchmark awardee juga. Intinya, awardee adalah orang-orang pintar dan berprestasi. Impact untuk sekolah/institusi yang menerima awardee seperti ini adalah prestasi riset/akademis/non-akademis juga tinggi. Bagi sekolah di luar negri bisa memberi mereka data/cultural awareness dari negara awardee. Dan secara ekonomis tentunya revenue. Soal data/riset soal negara awardee, pemegang beasiswa harus menjamin sensitifitas data/riset dijamin oleh pihak kampus. 
  3. Tempat bekerja/institusi profesi. Tentunya tidak semua awardee adalah fresh graduate. Pada program Ph.D, banyak awardee sudah berprofesi di PTN/PTS/BUMN/Swasta asing. Tentunya menerima beasiswa berdampak pula pada tempat mereka dan saya bekerja. Institusi ini berharap kita mendapat banyak hal yang bisa di-share dan diadaptasi di negara atau institusi sendiri. Tentunya hal yang positif dan membangun. Walau impact yang timbul tidak diharapkan spontan, namun indikasi kemajuan sejak awardee kembali bekerja tentu diharapkan. Percuma jika sesusai awardee kembali bekerja di institusinya kemudian membaur dan masuk ke dalam sistem yang lama. Tanpa ada kemajuan berarti dan nyata. Menurut saya pribadi, percuma saja studi jauh-jauh namun tidak ada impact atau sekadar indikasi kemajuan yang terjadi.
  4. Orangtua/keluarga awardee. Orangtua mana yang tidak bangga anaknya mendapat beasiswa? Dan serupa biaya dari orangtua, awardee wajib bertanggung jawab kepada orangtua atau keluarga. Mungkin tidak secara formal memberi laporan tiap semester, namun endurance/daya tahan dan kelulusan menjadi bukti. Saya sendiri harus bisa dan wajib menyesuaikan gaya belajar di tempat studi saya. Gaya belajar autonomous dan critical thinking dominan di negara Barat. Hal yang saya kira tidak semua PT di Indonesia yang menerapkan. Teacher-centered dan spoiled (manja) saya kira masih banyak terjadi, bahkan sampai tingkat perguruan tinggi. Dan lulus juga menjadi bukti kita berhasil. Karena banyak teman dan rekan bercerita kalau studi mereka tidak selesai. Dan banyak hambatan baik internal dan eksternal yang terjadi. Sangat disayangkan memang.
  5. Masyarakat pada umumnya. Baik orang yang saya kenal atau tidak. Jika mereka tahu saya penerima beasiswa mungkin ada pertanyaan terbersit dalam hati mereka. Apa yang sudah kamu berikan untuk negara/masyarakat? Kamu kan dibiayai negara kuliahnya? Ingin dan harapan saya hanya, sebelum mereka bertanya demikian sudah ada hal yang mungkin kecil bisa dirasakan orang banyak. Tidak perlu muluk-muluk riset untuk mengkoloni planet Mars misalnya. Namun bersumbangsih opini dan aspirasi di ranah profesinya sendiri mungkin menjadi indikasi awal kontribusi. Tentunya dalam diri setiap awardee, ada keinginan mereka untuk bermanfaat bagi nusa dan bangsa. Sebuah klise yang orangtua kita ucap dulu saat ditanya cita-cita sejak SD. Yang saya kira menjadi doa terwujud saat ini dan nanti.
Tentunya, beasiswa bukan hadiah.

Dengan biaya hidup yang tinggi di negeri orang. Atau dalam konteks sekolah di negeri sendiri, kuliah tidak mengeluarkan biaya pribadi. Kadang terbersit betapa enak dan 'sejahteranya' awardee. Terus saya coba ingatkan diri, jika beasiswa bukan cuma-cuma diberikan pemerintah/institusi. Ada hal yang harus dibuktikan. Pihak donor beasiswa tentu berharap banyak pada awardee seperti saya. Apalagi jika menyangkut beasiswa negara.

Jika kuliah biaya sendiri bertanggung jawab ke ibu kandung. Maka kuliah berbeasiswa negara bertanggung jawab ke ibu pertiwi. Ke negara yang sudah mau menjaminkan investasi berupa biaya kuliah ke saya sebagai pribadi yang dianggap layak menerima beasiswa. Banyak pihak yang berharap pada saya. Beban yang ada ini bukan seharusnya menjadi hambatan. Namun tantangan yang harus saya jawab.

Sudahkah saya memberi sesuatu untuk negara? 

Salam,

Wollongong, 13 November 2016

09:00 am
(Reblog dari Kompasiana disini) 

Tuesday, June 28, 2016

Gerakan Semesta Pendidikan ala Indonesia, Kembali ke Pancasila

Gerakan Semesta Pendidikan ala Indonesia, Kembali ke Pancasila


SD-SMP-SMA - foto: duniadosen.com
SD-SMP-SMA - foto: duniadosen.com

Jika menelisik kata semesta, maka tak lepas dari manusia, alam dan sistem yang berada di dalamnya. Ketika semua komponen verjalan dan berpadu dengan sinkron, tak ayal harmonisasi terjadi. Begitupun jika mengaitkan konsep pendidikan dengan semesta. Karena konteks semseta kta berada di Indonesia, maka manusia, alam dan sistem mengacu ke-Indonesiaan kita. Konsep yang sejatinya telah lama dicetuskan forefathers NKRI. Konsep dan falsafah dasar bangsa, yaitu Pancasila. Namun sepertinya semesta pendidikan Indonesia lupa akan hal ini.

Indonesia sebagai negara multi-agama, multikultur dan multietnis, tak pelak mesti menjadikan Pancasila tuntunan berbangsa. Karena sifat sauvinisme pada satu agama, kultur dan etnis tertentu sering menimbulkan gejolak. Terutama dalam hal pendidikan. Sayangnya, hal ini yang mungkin belum bisa ditangkap oleh sistem pendidikan di Indonesia. Ke-Indonesiaan kita lupakan. Referensi asaing dalam menyusung perangkat pendidikan seperti kurikulum malah menjadi patokan.

Disharmoni dalam Semesta Pendidikan itu Nyata

Semesta pendidikan Indonesia adalah semesta yang unik dan berdiri sendiri. Para pencetus merdekanya negara ini memberi visi dan misi mereka untuk Indonesia sekarang dan di masa depan berupa Pancasila. Sayangnya, Pancasila dalam Sisdknas sepertinya hanya menjadi formalitas dalam UU No. 20 tahun 2003. Serupa undang-undang yang dibuat pada umumnya. Namun secara praktikal, Pancasila belum bisa menjadi pegangan dalam Sisdiknas.

Contohnya saja, dalam pasal 1 ayat 2 ditulis "Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman." Dalam frasa .. dan tanggap terhadap tuntutan perubahan jaman. Era informasi-teknologi saat ini, jika dikaitkan dengan pasal ini maka tidak relevan.

Pemerataan pendidikan yang lebih cenderung ke bagian Barat, membuat pasal 1 ayat 2 menjadi tidak relevan. Apalagi jika jaman sekarang menuntut peserta didik dan tenaga pendidik melek IT. Tak ayal, semua hal yang dituntut oleh jaman menjadikan sistem pendidikan disharmoni. Saat di pulau Jawa banyak sekolah yang sudah bisa melakukan UN secara online, banyak daerah lain harus gigit jari. Mungkin baru saat Mendikbud berganti, mereka baru mendapat perangkat komputer di sekolah.

Pendidikan kita yang dituntut oleh jaman menjadikannya lupa akan 'kulitnya'. Pancasila yang digadang menjadi fondasi kemudian malah menjadi fromalitas belaka. Apakah peserta didik harus bisa memakai komputer dulu atau faham dirinya adalah orang Indonesia. Idealnya memang meng-Indonesiakan orang  Indonesia dalam sistem pendidikan. Faktanya, peserta didik diminta melek teknologi dan wajib bisa bahasa asing dulu. Proporsi menjadikan peserta didik sesuai tuntutan jaman lebih banyak daripada meng-Indonesia-kan mereka.

Semesta pendidikan pun tak lepas dari manusia yang beraktifitas di dalamnya. Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu." Dan kata 'bermutu' jika disandingkan pada realitasnya maka menjadi relativitas kedaerahan. Bagi anak yang bersekolah di pelosok, memiliki sekolah bertembok sudah disebut bermutu. Lain halnya siswa yang bersekolah di pusat kota pastinya. Semesta pendidikan yang tercipta bersifat parsial dan menyebar. Sifatnya pun relatif jika disanding dengan mindset kata 'bermutu'.

Chaos - ilustrasi: openforum.com
Chaos - ilustrasi: openforum.com

Belum lagi tenaga pendidik yang menghuni semesta pendidikan. Dalam pasal 1 ayat 5 tertera "Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan." Disini terjadi anomali idealitas. Karena jika disebut 'tenaga', maka tenaga yang keluar perlu diapresiasi. Faktanya, banyak tenaga kependidikan belum merasakan jerih payah mereka layak. Tidak heran jika keadilan pada mereka yang belum diangkat dan diberi fungsi honorer pun berteriak untuk bisa diangkat. Karena honorer dianggap mengabdi, maka mindset otoritas pendidikan mungkin terdistorsi. Karena mendidik menjadi mau mereka. Semau pemangkmu kepentingan pula mereka dibayar. Karena toh mereka mengabdi. 

Disharmoni pun terjadi. Karena peserta didik mengalami ketimpangan mutu. Ditambah tenaga pendidik yang selalu memikirkan kesejahteraan hidupnya. Mendidik dengan falsafah Pancasila pun terlupakan. Semesta pendidikan riuh akan perbaikan sarpras sekolah dan tuntutan upah. Yang tertulis dalam UU Sisdiknas begitu relatif, bahkan multi-tafsir, membuat semesta pendidikan tumbuh melambat. Tuntutan jaman coba terus diikuti. Namun membawa masalah disharmoni yang kian pelik.

Dampaknya, sistem semesta pun aus dan mudah usang. Saat terjadi tuntutan jaman yang kian berat. Ketimpangan mutu sekolah dan tenaga pendidik yang terus nelangsa dengan gajinya, sistem pun terseok. Sebaik dan sebagus apapun sistemnya akan berjalan terseok. Gonta-ganti komponen agar rusak yang terjadi bisa teratasi dibuat insidentil. Tidak heran jika berganti mentri berarti berganti kurikulum. Karena dalam pasal 1 ayat 3 diterangkan "Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional." 

Jika satu komponen seperti kurikulum di-update (baca: diganti), tak ayal harmonisasi sistem terganggu. Maka komponen pendidikan lain yang terkait dan terpadu pun harus menyesuaikan komponen yang diganti. Saat peserta didik masih meraba buku pelajaran dengan kurikulum baru dan guru masih sibuk mengurus adiminstrasi kepegawaiannya, kurikulum baru pun masuk. Semesta dimana manusia dan sistem berpadu terusik. Tak ayal, semesta pendidikan bak di-reboot. Semua demi kepentingan tuntutan jaman.

Padahal tuntutan dasar yang paling dasar menjadikan manusia Indonesia sebagai bangsa Indonesia kian dilupakan.

Saatnya Kembali ke Dasar Negara untuk Semesta Pendidikan

Semesta pendidikan Indonesia seharusnya kembali ke 'trahnya'. Tidak perlu menekankan tuntutan jaman agar manusia Indonesia bisa bersaing. Saat identitas sejati mereka di dunia kian tergerus. Peserta didik malah makin bangga dengan mindset ke-Barat-baratan daripada menjadi Indonesia. Yang terjadi saat pemenuhan IT tanpa didampingi ideologi dasar yang kuat adalah individu dunia maya sesungguhnya. Individu yang tanpa batas negara, agama, kultur dan etnis. Andai mereka bisa menjadi individu yang bercorak Indonesia, mereka akan bisa berbudaya di dunia maya.

Perlu dibaca dan difahami ulang penjabaran Pancasila dan UUD 1945 untuk menjadi semestanya pendidikan Indonesia. Sudah banyak yang mengkritisi pemikiran amtenar pendidikan di atas sana. Mereka semua cendekia yang tidak terbatas ilmu dan kemanfaatannya. Namun sepertinya sudah lupa akan hal yang esensi, yaitu meng-Indonesiakan orang Indonesia. Karena toh anak SMP/SMA lebih takut nilai ujian bahasa Inggrisnya jeblok daripada nilai PkN yang biasa saja. Adakah usul konkrit menjadikan Pendidikan Kewarganegaraan (PkN) menjadi salah satu mapel dalam UN?

Konsep pendidikan sebagai gerakan semesta harus ditarik dari falsafah Pancasila. Falsafah hidup yang mempersatukan bangsa Indonesia. Keunikan dan kekhasan tiap kultur dan etnis menjadi patokannya. Semua ditautkan dengan konsep keagaamaan dan kearifan lokal. Sanggup dan mampu kiranya para amtenar dan cendekia bangsa ini menyusun gerakan semesta pendidikan berdasarkan Pancasila. Ditambah doktor dan peneliti yang sudah sekolah dan malang melintang di dunia pendidikan dalam dan luar negri.

Pelajar Lepas Balon - foto: tribunnews.com
Pelajar Lepas Balon - foto: tribunnews.com

Bandingkan, pelajari, adaptasi dan bumikan pendidikan dalam semesta Pancasila. Tidak usah lagi banyak copas pendidikan negara lain yang memang cocok untuk negara mereka sendiri. Menjadikan pendidikan Indonesia serupa Finlandia menjadi kenisbian yang relatif. Yang secara kontemporer dan visioner yang harusnya menjadi patokan kita sebagai bangsa penggerak gerakan ini adalah Pancasila, bukan yang lain. Tak sulit jika manusia, sistem dan alam dalam semseta pendidikan saling berpadu dan berfokus demi kebaikan bersama.

Di tanggal 2 Mei kemarin kita sudah memperingati Hardiknas. Dan bulan Mei ini menjadi Bulan Pendidikan Kebudayaan Nasional. Dan dalam momen 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, mari bersama mencoba merefleksi bentuk semesta pendidikan kita. Sudah saatnya slogan Revolusi Mental yang didengungkan pemerintah kita dijadikan pendorong memaknai Pendidikan Sebagai Gerakan Semesta. Kemendikbud beserta jajarannya harus mulai berbenah menjelang 2 tahun kepemimpinannya.

Belum banyak yang kita rasakan dalam semesta pendidikan yang berubah. Usah lagi perbanyak memenuhi tuntutan dunia dengan era yang berubah. Pendidikan sebagai pondasi kesinambungan bangsa sebaiknya harus kokoh. Kembali ke dasar negara sebagai pendorong semesta yang membangun menjadi jalan keluarnya. Pancasila berserta UUD 1945 sudah menggariskan hal ini. Visi pendiri bangsa sudah cukup jelas. Keragaman tidak semena-mena dikungkung dalam semesta pendidikan dari negara asing. Karena kita sudah punya dasarnya sejak dahulu.

Sudah saatnya manusia, sistem dan alam dalam semesta pendidikan negara untuk bangkit. Karena kita tahu kita bangsa kuat dan hebat.

Salam,

Solo, 28 Juni 2016

02:00 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)

Thursday, April 28, 2016

Pengalaman Asik Mengurus Aplikasi Visa Studi Sendiri

Visa Application - ilustrasi: eielanguages.com 

Saya  orang yang selalu ingin mengalami segala sesuatu sendiri. Seperti membuat visa untuk studi lanjut saya di Australia. Pertama membayangkan membuat visa sulit. Nyatanya tiadk sesulit apa yang dibayangkan. Moto saya ‘A good preparation is half the battle’ dalam segala hal membuat aplikasi visa tidak rumit. Asal telaten dan teliti dalam melengkapi dokumen dan menelaah formulirnya, tidak sesulit apa yang dibayangkan.

Visa saya masih dalam proses selama 21 hari ke depan. Namun kiranya Anda perlu sedikit saya share pengalaman aplikasi visa studi. Studi saya akan dilanjtkan di Australia. Karena saya belum mengalami pembuatan visa di US, UK atau negara lain, kiranya bagi yang akan studi di Australia tips dan serba-serbi berikut kiranya berguna. Saya membagi tiga tahapan aplikasi visa:

1. Pra-aplikasi Visa

Hal yang penting untuk diketahui pada tahap ini adalah informasi tentang pengajuan visa. Karena visa pelajar atau studi banyak ragamnya. Dan berbeda untuk fee atau biaya untuk tiap jenis visa sub-class. Ada 7 jenis sub-class untuk visa studi. Tentunya hal menyesuaikan kebutuhan Anda. Aplikasi visa saya sendiri subclass 574 untuk Post-graduate Research Sector. Fee untuk aplikasi sub-class ini sekitar AUD 550. Kunjungi web berikut untuk mengetahui sub-class dan fee aplikasi untuk pelajar disini.

Lalu unduh dan telaah dengan baik form 157-a. Form dapat diunduh disini. Pada 6 halaman awal, berisi petunjuk pengisian form 157-a. Lalu print-out form dari halaman 7. Form harus diisi dengan tulisan tangan dengan huruf kapital (balok). Walau form pdf bisa diisi dengan ketikan, tetap tulis dengan tulisan tangan. Pada form Anda akan diminta menyediakan dokumen-dokumen berikut:
  • 1 bundel  fotokopi passport (dari halaman awal, halaman-halaman yang berisi cap masuk imigrasi negara yang pernah dikunjungi, dan halaman akhir)
  • 1 lembar fotokopi akta kelahiran
  • 1 lembar fotokopi KTP
  • 1 lembar fotokopi kartu keluarga (KK)
  • 1 bundel ijazah (ijazah S1/S2/S3, transkrip nilai)
  • 1 lembar fotokopi Letter of Acceptance/Offer (LoA) dan Confirmation of Enrolment (CoE) dari universitas yang dituju di Australia
  • 1 lembar fotokopi sertifikat IELTS/TOEFL/CAE
  • 1 lembar brief statement tulis tangan yang berisi:
    • mengapa memilih studi di universitas dituju?
    • mengapa harus di Australia?
    • mengapa tidak di negara sendiri,
    • relevansi studi dengan latar belakang pendidikan,
    • relevansi studi dengan masa depan karir.
  • 1/2 lembar fotokopi riwayat pekerjaan (lampirkan surat pengangkatan/kontrak)
  • 1 lembar fotokopi surat sponsor jika ada (jika ada tidak mengisi detail financial yang disediakan di form)
  • 1 lembar foto diri ukuran 3 x 4 ditempel di halaman awal form.
Jadikan semua dokumen ini 1 satu bundel. Jangan sampai ketika sampai di tempat pengajuan visa ketinggalan satu atau dua dokumen. Untuk jaga-jaga, selalu kopi dokumen 2 atau 3 lembar.

2. On-the-spot Aplikasi Visa

Saya mengajukan visa di VFS Global di Mall Kuningan City Jakarta. Tidak sulit rasanya menemukan kantornya disana. Cukup ke lantai 2 Mall Kuningan City. Yang sebenarnya kalau orang Indonesia bilang, kantornya ada di lantai 4. Tapi karena pakai system pelantaian negara asing, lantai 1 dan 2 disebut lower ground dan upper ground.

Masuk ke kantor VFS Global sudah seperti masuk ke entri bandara. Anda akan diperiksa lewat metal detector. Ditambah beberapa sekuriti yang memeriksa barang bawaan Anda. Jangan lupa, matikan HP. Karena security akan memintanya. Namun keketatan ini sepadan dengan pelayanan Customer Service yang ramah dan teliti di dalam kantor.

Anda akan ambil karcis antrian di depan pintu. Ada satpam yang akan bertanya soal aplikasi ke negara yang dituju. Saya sendiri ke Australia, maka diberi nomor antrian konter Australia. Karena di dalam ternyata ada konter 3 negara yang berbeda, yaitu UK, Australia dan New Zealand. Namun sepertinya untuk negara lain masih bisa dilayani disana.

Customer sevice-nya banyak, sehingga antrian bisa cepat dilayani. Saya sendiri duduk sebentar langsung dilayani. Dokumen yang saya siapkan segera diminta oleh mbak CS. Mbak CS lalu akan mengambil checklist untuk dokumen yang kita bawa. Mulai dari form 157-a yang kita isi. Sampai dokumen yang dilampirkan, akan segera diberikan tanda centang di draft checklist mbak CS. Jika dokumen lengkap, kita akan menandatangani checklist ini.

Selesai meneliti form dan dokumen, mbak CS akan memberitahu fee atau biaya. Kita akan ditanya akan membayar cash atau dengan kartu kredit/debit. Kebetulan saya memilih cash. Saya pun telah menyiapkan uang di tas. Untuk sub-class studi saya, biaya yang diminta 5,9 juta rupiah. Lalu mbak CS akan memprint-out bon dan nomor track aplikasi.

Nomor track aplikasi ini mengetahui apakah visa kita di-approve kedutaan Australia apa tidak. Korespondensi status bisa digunakan plus dengan SMS. Jika dengan SMS, ada biaya tambahan 25 ribu rupiah. Tapi saya memilih lewat email pribadi saja yang gratis. Nomor aplikasi ini pun digunakan untuk log-in ke website VFS Global guna mengetahui status aplikasi visa. Jangan lupa mengecek email karena ada notifikasi dari Kedubes jika aplikasi kurang lengkap/ditolak/disetujui.

Seminggu setelah pengajuan akan ada dokumen HAP-ID untuk kita segera mengecek kesehatan kita. Ada daftar RS dan dokter yang dekat dekat domisili tinggal. Saat cek kesehatan, email yang berisi dokumen HAP-ID harus dibawa dengan fotokopi passport.

3. Paska Aplikasi Visa

Dan yang saya lakukan paska aplikasi tentunya mengecek email. Menunggu harap-harap cemas persetujuan visa. Dan tentunya tetap berfikir positif aplikasi visa bisa di-approve. Karena saya yakin aplikasi sudah sesuai syarat dan ketentuan yang diminta. Visa yang di-ACC akan di-email. Kita tidak perlu lagi kembali ke kantor VFS. Pada saat boarding nanti, visa tinggal di-print-out saja.

Yang juga masih dicemaskan adalah tentunya cek kesehatan. Karena ada ketentuan jika dalam tes kesehatan kita terindikasi TBC, maka ada jeda waktu 6 bulan untuk berobat. Baru setelah itu kita diperbolehkan aplikasi kembali lagi.

Ada himbauan jika VFS tidak berwenang mengeluarkan visa. Semua pertimbangan dan persetujuan sepenuhnya dibuat oleh kedutaan besar Australia. Sehingga kalau kita menuntut VFS Global soal apliaksi visa yuang ditolak, sepertinya akan berbalik ke diri kita sendiri. Nampaknya ada pertimbangan pemerintah Australia pada track-record diri.

Aplikasi visa pelajar sebenarnya bisa melalui agen. Namun buat saya, merasakan sendiri mengajukan visa bisa member cerita untuk hidup saya. Dan saya akhirnya berbagi cerita itu disini. Semoga pengalaman ini bisa bermanfaat.

Ingat, 'A good preparation is half the battle'

Salam,

Solo, 28 April 2016

03:31 pm


Thursday, March 31, 2016

Please, Close The Door Behind You

Please, Close The Door Behind You

(ilustrasi: goodthings4me.com)
ilustrasi: goodthings4me.com

Please, close the door behind you. Atau dalam bahasa Indonesia, tolong pintunya ditutup kembali. Sebuah kegiatan sederhana yang selalu saja lupa dilakukan mahasiswa. Masuk ke dalam kelas telat, buka pintu lalu masuk ke dalam. Pintu lupa ditutup. Saya pun perlu meminta dengan sopan untuk menutupnya. Kadang tidak hanya sekali. Beberapa kali, sebanyak mahasiswa yang terlambat. Walau ada yang langsung 'klik' menutup pintu kembali. Tapi mayoritas mahasiswa terlambat, lupa menutup kembali.

Padahal mudah saja melakukannya. Kenapa ada seolah 'kebiasaan' mereka yang terlambat masuk kelas, lupa menutup pintu kelas kembali. Hanya beberapa kelas yang dilengkapi shutter otomatis pintu. Jadi pintu masih manual ditutup. Dan memang, pintu di kelas umumnya dijumpai di rumah. Pintu rumah yang selalu dimasuki keluar masuk. Kadang dan seringnya memang tidak ditutup. Yang ditutup pun, biasanya pintu gerbang. Mungkin ada suatu 'kepercayaan umum', rumah dengan pintu terbuka pemiliknya orang yang supel. Semua orang bisa bertamu. Dan tentunya, tidak dianggap tertutup dan mengasingkan diri. Apalagi jika tinggal di desa atau dusun dan perumahan warga.

Seringnya pintu tertutup menyiratkan pemiliknya menutup diri. Sedang yang sering terbuka tidak. Walau banyak juga saat ini yang menutup pintunya demi keamanan. Namun tetap di waktu pagi atau sore, rumah di desa atau perumahan banyak yang sengaja dibuka. Sehingga, kebiasaan ini dibawa ke kelas. Dengan anggapan kelas yang dibuka serupa kelas yang tidak menutup diri. Salah kaprah yang luar biasa. Kelas terbuka pintunya membawa beberapa mudharat tersendiri.

Kelas akan seperti akuarium. Banyak orang atau mahasiswa yag lewat akan banyak yang menengok ke dalam kelas jika pintu terbuka. Sekadar melirik atau mengamati seksama kelas, menjadikan kelas serupa akuarium. Dan saya beserta mahasiswa menjadi ikan-ikannya. Kedua, saya dan mahasiswa (ikan-ikannya) akan juga menengok ke arah pintu. Jika banyak yang melihat atau dalam rombongan, kita yang di dalam pasti menengok pula. Jadi saling tatap menatap. Apalagi jika dibarengi cekikikan mahasiswi atau ocehan seronok mahasiswa. Kita yang ada di dalam kelas langsung melihat arah pintu yang terbuka.

Merasa penasaran atas apa yang terjadi. Membiarkan pintu terbuka seolah mengundang penasaran. Baik yang melihat ke dalam (akuarium) dan yang ada di dalam (ikan-ikannya). Entah kebiasaan di rumah atau 'penyakit' tata krama, mahasiswa. Gejala lupa tutup pintu sering terjadi. Dan seolah menjadi hal yang umum. Menutup pintu kelas adalah sebuah soft-skill yang patut dilatih. Tidak hanya dikelas, di ruang kantor atau ruang direktur misalnya.

Menutup kembali pintu adalah tata krama. Jika di masa depan mahasiswa saya lulus dan berada dalam wawancara dalam ruangan. Lalu mereka lupa menutup pintu. Bukankah hal itu mengurangi poin sikap. Menutup kembali pintu, sebuah kebiasaan mudah yang sepertinya sudah mulai luntur. Masuk telat dan terburu-buru tidak menjadikan alasan lupa menutup pintu kelas kembali.

Salam,

Solo, 30 Maret 2016

12:46 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)

Saturday, March 26, 2016

Hilangkan Stigma Kaum Pendatang

Hilangkan Stigma Kaum Pendatang

(ilustrasi: payload19.cargocollective.com

Sebuah fenomena tahunan seusai Lebaran, ‘serbuan’ orang kampong terjadi di kota-kota besar. Mungkin diksi ‘kampung’ terlalu kasar bagi sebagian orang. Eufemismenya pun dibuat menjadi ‘kaum pendatang‘ atau ‘kaum urban’. Toh esensinya sama saja. Secara tidak sadar pun, kalau sudah sampai kota besar dan tinggal di Jakarta, embel-embel orang kampung beringsut  hilang. Nada bicara dan logat kampung pun hilang. Dahulu bilang aku dan kamu. Kalau sudah di Jakarta diganti dengan lho dan gue.

Tidak, tidak ada yang salah dengan kaum pendatang atau gaya kekotaannya nanti. Tidak pula ada larangan mereka yang mencari penghidupan layak di kota besar demi masa depan. Orangtua saya pun pendatang pada era awal 90-an. Dan pada akhirnya menetap di kota satelit sekitaran Jakarta. Hidup pun berubah sejak itu.
Hidup di desa kecil seperti di Jateng mungkin menggambarkan dystopia dari tahun ke tahun. Di desa paling hanya macul sawah dan ngangon kambing. Di kota lebih enak. Bisa kerja di pabrik atau di kantor. Setidaknya mencoba peruntungan untuk sekadar mencari pengalaman. Kalau gagal, bisa kembali pulang ke desa. Itu pula yang menggelayuti fikiran orangtua saya.

Yang menjadikan axioma ‘sapa suruh datang Jakarta’ adalah naifnya orang kota menyikapi para pendatang. Saya heran saja, banyak talkshow yang memandang fenomena ini sebagai ‘aib’. Seolah dalam tiap fikir orang-orang kota tertera ‘Ngapain sih orang-orang kampung datang ke Jakarta? Udah sumpek disini’ Tanpa bercermin siapa diri mereka sendiri.

Naifnya Mereka ‘Orang Kota’

Ada seorang reporter melaporkan peningkatan jumlah orang di arus balik di sebuah stasiun kereta di Jakarta. Lalu menyimpulkan sepertinya ada tambahan kaum pendatang. Walau di layar TV jelas terpampang ada marga di akhir nama si reporter. Marga yang menandakan asal atau etnik si reporter dari sebuah daerah di Sumatra. Entah ada fikiran naïf atau tidak, ia melaporkan seolah ‘serbuan’ ini umum dan menjadi jargon ‘bad news is good news’ dalam sebuah berita.

Lalu ditayangkan pula talkshow menyoal ‘penanganan’ serbuan orang kampung ke Jakarta. Dengan gegap gempita, seorang pejabat dengan nama khas Jateng pun menjabarkan langkah-langkah pencegahan. Mulai dari operasi yustisi sampai pemulangan akan dilakukan. Entah si pejabat ini sadar atau tidak, embel nama khas Jateng yang ia sungging di nama lengkapnya mencerminkan ia adalah pendatang juga.

Baik si reporter atau pejabat ini, seolah merasa dirinya sudah menjadi orang Jakarta seutuhnya. Sedang mereka lupa, orangtua atau bahkan dirinya sendiri juga dahulu adalah pendatang. Wajar jika secara nalar sederhana, yang melarang atau mencegah kaum urban ini adalah penduduk asli Jakarta, atau orang Betawi. Namun sayang, bahkah Gubernur dan Wagub DKI Jakarta sendiri berasal dari luar daerah Jakarta.

Mungkin bagi sebagian orang  Jakarta, kaum pendatang adalah parasit. Mereka datang, menambah padatnya Jakarta. Atau mungkin juga menambah angka kriminalitas. Jika mereka datang tidak dengan skill dan ijazah dari desa mereka yang mumpuni. Ah, tanpa sadar juga mereka atau kakek nenek mereka yang juga pendatang, datang dengan apa adanya.

foto: bisnis.com

Hilangkan Stigma Kaum Pendatang

Lalu pertanyaan pun menggelayut. Apakah Jakarta masih bisa dianggap tujuan kaum pendatang? Saat kebanyakan isi penduduk Jakarta sendiri adalah pendatang. Lihat saja ketika mudik, lengangnya Jakarta, penduduknya banyak pergi mudik. Betapa indah Jakarta sebagai kota jika lengang. Namun saat arus balik terjadi, DKI Jakarta tak lain adalah kota para pendatang. Mungkin jika saya bisa bilang, Jakarta adalah melting pot orang Indonesia dengan beragam suku atau etnis. Jakarta tetap menjadi kampung halaman orang Betawi. Namun di satu sisi ia milik orang Indonesia secara utuh.

Dan naïf rasanya mendengar jika pembangunan di desa harus ditingkatkan, guna mencegah fenomena ini. Desa bagaimanapun akan tetap maju dan membangun. Desa tidak mungkin stagnan. Namun percepatan pembangunan, secara analogi akan lebih cepat Jakarta dan kota besar tentunya. Juga godaan mencari penghidupan akan terus ada seusai Lebaran, atau di kesempatan lain di desa. Dengan pemudik yang kembali ke kampung halaman, maka ia menjadi contoh sukses di perantauan. Tidak ada yang salah untuk mereka yang ada di desa mencoba mencari hidup di Jakarta.

Tapi di Jakarta yang padat dengan pendatang lama yang sarkastik pun mencoba menolak kaum pendatang baru. Sudahi saja istilah ‘serbuan orang kampung’ atau wacana debat ‘sapa suruh datang Jakarta?’ saat pembicaranya pun orang-orang yang dulunya adalah orang kampung. Sehingga, wajar jika Jakarta tidak lagi disematkan wacana ‘terkena serbuan kaum urban’. Hilangkan dan biarkan waktu yang menuntun para pendatang kembali ke desa jika gagal di Jakarta.

Dengan tidak menampik jasa orang Betawi membangun Jakarta, peran pendatang pun banyak terasa. Mulai dari pimpinan Jakarta yang bukan orang asli Jakarta pada control birokrasi. Sampai pedangan asongan dari luar jawa yang membuat roda ekonomi berputar. Pendatang pun membangun Jakarta dengan caranya. Walau banyak pula yang menyerah dan pasrah untuk kembali ke daerah asalnya.

Banyak kenalan saya yang pernah sekali waktu merantau di Jakarta. Lalu mereka kembali ke desanya. Semua karena mereka tidak mampu bersaing di Jakarta. Karena saya pun yakin, para pendatang yang datang dengan skill dan kecakapan apa adanya, akan bekerja di Jakarta dengan apa adanya. Setidaknya sampai mereka jenuh dan bosan lalu memutuskan kembali ke desa. Entah kembali macul di sawah atau ngangon kambing di ladang.

Salam,

Solo, 26 Maret 2016

08:00 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)