Friday, October 21, 2016

Yuk Kita Peringati Hari Diciptakannya Emoticon

Yuk Kita Peringati Hari Diciptakannya Emoticon

Emoji People - foto: thehandsindia.com
Anda sering menggunakan emot :-) di kolom komentar? Di pesanWhatasapp? BBM? Instagram, Facebook, Twiter, dsb? Sampai saat ini ada ribuan emoticon atau emot di dunia sosmed dan internet. Namun tahukah Anda siapa 'pencipta' smiley? Dan mengapa smiley diciptakan?

Tahukah Anda emot :-) sudah berusia 33 tahun? Tepatnya pada tanggal 19 September 1982 pukul 11:41 malam, emot :-) diciptakan. Dan pencipta smiley adalah seorang profesor asal US, Scott E. Fahlman. Beliau adalah staf pengajar di Carnegie Mellon Pittsburgh US. Dengan simbol yang jika dilihat perspektif 90 derajat menjadi senyum, :-) pertama kali ia kirim melalui email ke rekannya.

Alasannya cukup sederhana. Ia ingin membedakan mana email yang serius dan mana yang bukan. Saat itu ia sedang ada dalam diskusi membahas tentang fisika. Dalam emailnya tersebut Fahlman menulis, "I propose the following character sequence for joke marker. :-)
Scott E. Fahlman - foto: dailymail.co.uk
Sebelum 2002, Fahlman masih diragukan jika dialah pencipta smiley. Namun berkat kerjasama tim dari Microsoft, email yang memuat smiley ini ditemukan. Sebelumnya, ada yang menemukan smiley ‘;)’ di teks pidato Abraham Lincoln di tahun 1862. Namun ahli tata bahasa menganggap ini hanya typhological error atau typo untuk tanda ‘);’.
Dan sejak 1980-an, emot pun mulai dipergunakan secara global. Sampai saat ini ada 3 jenis besar emoticon dalam ASCII atau American Standard Code for Information Exchange. 3 tipe ini adalah western style (Latin), eastern style (Kaomoji) dan 2 channel type.

Yang pertama adalah Latin-type. Seperti emot :-) ciri utamanya harus dilihat dengan perspektif 90 derajat. Sedang yang kedua adalah Kaomoji (kao = wajah) atau Japanese emoticon. Ciri utamanya adalah karakter tidak perlu dilihat 90 derajat seperti (>.<). Sedang 2 channel yang juga sub-type adalah Kaomoji. Bedanya dibuat dengan karakter double-byte, seperti m9(^Д^).

Karena kreativitas dan ciri khas emot, beberapa emot memiliki karakter kuat. Seperti ~(_8^(I) untuk Homer Simpson yang ditemukan tahun 2007. Atau yang lebih umum seperti <3 em="" menunjukkan="" nbsp="" style="box-sizing: border-box;" untuk="">heart
 atau love. Di Kaomoji mungkin lebih unik lagi, seperti >゜))))彡 untuk menggambarkan ikan.
Monalisa Smili in Emoji - ilustrasi: gizmopod.com
Di komputer seperti Microsoft Word, emoji :-) akan langsung berubah menjadi bulat dengan senyum. Hal ini karena by-default, ASCII sudah mengkode karakter tadi untuk otomatis berubah. Begitu pun yang akan terjadi di platform seperti email, chat di sosmed, aplikasi smartphone dan blogEmot ini akan berubah lebih berwarna dan beragam di platform aplikasi.

Seperti menjadi sebuah konvensi tidak tertulis, emot mewakili perasaan. Alih-alih menulis perasaan dengan kata atau kalimat, emot :-( sudah menggambarkan kesedihan. Tidak heran emot atau emoticon atau emoji berkembang sangat pesat. Karena sifatnya yang padat makna dan efisien, emot akan terus beragam. 
Selamat ulang tahun :-) 
Here’s a birthday cake for you...
           , , , , ,    
        _|||||_   
      {~*~*~*~}  
    _{*~*~*~*}_ 
      `-----------`

Salam,

Wollongong, 21 Oktober 2016

02:52 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)

Wednesday, February 24, 2016

Harta, Tahta, dan Perempuan

Harta, Tahta, dan Perempuan

(Sexism - ilustrasi: blogs.bath.ac.uk)

Banyak orang, bahkan saya sendiri, mungkin aneh membaca judul 'Harta, Tahta dan Perempuan'. Kebanyakan dari kita akan langsung menyandingkan kata 'Wanita' setelah 'Harta dan Tahta'. Karena toh sudah menjadi konvensi bersama dan demi keserasian rima ' a-a-a' maka 'Wanita' tepat dirasa. Sebuah konsensus yang secara tidak sadar menjadi peng-iyaan bersama untuk istilah tersebut. Atau demi estetika rima, kata 'Wanita' akan lebih klop. Namun tidak dengan kata 'Perempuan'. Yang secara konsensus tidak umum dan secara ritmik mengganggu estetika rima.

Lalu apa salah dengan kata 'Wanita' atau 'Perempuan'? Mungkin itu yang akan coba Anda pertanyakan? Tidak ada yang salah, secara rima dalam kata 'wanita'. Namun yang coba saya garis bawahi adalah betapa sebuah konvensi kata 'wanita' atau 'perempuan' itu sudah wajar. Bahkan Anda yang kebetulan perempuan, membaca dan memahami kata 'wanita' sebagai salah satu kata ganti adalah wajar demikian. Namun sadarkah kita, jika kita sudah tidak dengan sengaja mengaplikasikan pemahaman sexist?

Wanita atau dalam etimologi Jawa berasal dari kereta-basa 'wanita = wani ditoto' (berani ditata). Mensimbolisasikan wanita sebagai 'subornasi' dari sesuatu yang menatanya. Dengan kata lain, kaum pria adalah yang menata. Dalam budaya partriarki, hal ini diangap innate atau dari sananya. Atau secara morfologis, kata 'wanita' sendiri tersirat kepriaan di dalamnya. Jika mengacu akhiran pada kata 'dermawan dan dermawati' maka imbuhan -wan mengacu pria. Maka tamsilannya, kata 'wanita' terdiri atas kata wan-ita. Dalam hal ini, acuan pria tetap ada. Hal ini juga terjadi di bahasa Inggris dalam mengacu kata ganti she. Dimana kata she tetap memiliki unsur maskulin s-he. Atau kata lain seperti female (femme-male), woman (wyf-man/wife-man) adalah beberapa contoh lain.

Bahasa Sexist, Tersirat dan Tersurat

Kajian metaforis kata 'she' dalam bahasa Inggris telah memicu kontroversi demikian panjang. Sehingga muncullah gerakan anti-sexist yang mencoba mencerabut dominasi pria dalam bahasa. Mungkin sampai ada yang mewacanakan menggati kata 'history' sebab ada possesesive pronoun (kata ganti kepunyaan) his- dalam history. Wacana yang kemudian didukung pergerakan femisme tahun 1970-an di Amerika. Dan sampai sekarang ekuilubrium yang coba dicari penganut feminis terus dibenturkan dengan kultur partriarkal. 

As we saw in discussing seminal, metaphorical etymologies that are no longer transparent -- metaphors that are not only dead but also obscured by changes in form -- can be interesting evidence of past attitudes but generally do not have a lot to do with the significance of current uses. But transparent metaphors, even if dead and not revivified in some way, can indeed still reinforce the kinds of conceptual connections that motivated their initial uses. (Ecker & McConnell-Ginet: 2003)

Dalam membahas etimologi seminal, atau metafora yang tidak lagi terlihat, menjadi bukti masa lampau yang tidak begitu berpengaruh saat ini. Namun metafora transparan, bahkan jika sudah tidak ada atau dikembalikan, tetap memiliki kaitan konseptual yang lalu mendorong penggunaan awal.

Mari kita kembali dalam konteks 'wanita' dan 'perempuan' diatas. Kedua kata ini memiliki 'kasta' dalam bahasa Melayu. Kata wanita lebih tinggi daripada perempuan. Karena merunut pemahaman 'perempuan' menurut KBBI adalah 1) orang (manusia) yg mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui. Karena puki sendiri mengacu kepada organ genital wanita. Dan mungkin dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia, kata ini sudah cukup deregatoris. Sedang 'wanita' sendiri adalah salin-suara dari wani ditoto dalam bahasa Jawa.

Sehingga, 'perempuan' sendiri memiliki metafora seminal yang mungkin bagi banyak orang tidak menyadari arti implisit. Dan kaitannya dengan istilah konsensus pun dianggap netral. Atau setidaknya baik-baik saja. Sedang metofora transparan dalam kata 'wanita' sendiri menimbulkan pemahaman yang jika sudah bisa difahami secara literal morfologis, terlihat maknanya. Dan bisa saja, tingkat 'kasta' yang terjadi bisa sebaliknya. Perempuan lebih tinggi dibanding wanita.

Sehingga istilah wanita dan perempuan pun dicopot pasang dalam bidang pemerintahan. Pada tahun 1987 sampai 1999 ada Mentri Peranan Wanita untuk kemudian diganti Mentri Pemberdayaan Perempuan pada 2001. Untuk kemudian diganti kembali menjadi Mentri Pemberdayaan Wanita tahun 2004. Lalu pada 2009 dicopot kembali kata 'Wanita' untuk diganti 'Perempuan'. Sedang saat ini, Kementrian ini juga merangkul Perlindungan Anak selain Pemberdayaan Perempuan.

Lalu Mau Pilih Mana, Wanita atau Perempuan?

Benturan maskulinitas dan budaya yang terus diwariskan menjadi salah satu 'serba-salahnya' kita sebagai penutur. Baik kata 'wanita' dan 'perempuan' sendiri memposisikan wanita sebagai subordinat dan objek. Dalam kata 'wanita' wanita adalah objek semata yang patut ditata oleh pasangannya. Dengan kata lain, wanita harus mau dan siap untuk ditata sedemikian rupa, berdasar pasangannya. Lalu, dalam kata 'perempuan' sendiri terdapat istilah yang deregatoris. Kata 'perempuan' mengacu pada siapa saja yang secara seksual memiliki vagina. Sehingga hal ini menimbulkan segregasi secara fisik dan seksualitas. Terlepas dengan gender atau peran dalam masyarakat. Mereka yang memiliki vagina pada akhirnya akan tetap menjadi objek 3MMacakMasak Manak (berdandan, memasak dan beranak).

Baik 'wanita' maupun 'perempuan' dalam etimologi bahasa tetap tidak bisa digantikan. Agak aneh jika coba saya ciptakan istilah gender-neutral seperti misalnya nerian. Kata yang tidak sama sekali ada kaitan kultur atau berbau maskulinitas. Bahkan kata ini pun tanpa arti etimologis. Tau ada kata ganti untuk wanita yaitu gadis dalam bahasa Indonesia. Yang saya kira kesan metaforis gadis menjadi peyoratif. Atau terjadi penyempitan makna hanya pada mereka yang belum menikah. Oleh sebab itu anak SMA bisa disebut gadis. 

Untuk saat ini, karena mengacu pada pemerintah maka kata 'perempuan' lebih 'klik'. Sehingga dalam hal ini, kata 'wanita' berada dibawah 'kasta' daripada perempuan. Dan kembali pada istilah 'Harta, Tahta, dan Wanita' yang dulu kita fahami untuk sebaiknya diganti. Dalam hal ini menjadi 'Harta, Tahta, dan Perempuan'. Terlepas dari konvensi atau rima yang kurang enak didengar.

Referensi: Ecker & McConnell-Ginet. 2003. Language and Gender. Cambridge University Press. | kbbi.web.id | siperubahan.com | wikipedia.org.id 

Salam,

Solo,  23 Februari 2016

11:00 am
(reblog dari Kompasiana disini)

Friday, June 5, 2015

What Is Actually Writing?

What Is Actually Writing?

14321887341703949523



Many would perceive writing as a talent developed from time to time. As for journalist, novelists or biography authors, their works do not come distinguished over night. Their works are the limestone of their past efforts. Their highlighted works are the beacon of what they have achieved through struggle. Few would consider writing as a gift. A nuance of skill bestowed by ecclesiastic power. A born writer delivered from a family of writers is the common assumption. A young talented writer from such a family is actually expected. Though both 'types' of writers exist, they may face a natural selection at large. Many talented writers quit. Many born-writers could also choose different directions during his life. 

Writing, the skill that is applauded by many as the highest capability of human intelligence. Not many can write, many can actually read though. So, is writing superseded reading in terms of intelligence. Many would say yes. But few may simply question or indecisive to agree. But, both reading and writing all come hand in hand. We can not actually write when we do not have enough time and stuff to read. Or, we may have the thrill to write when we have actually informed by a certain news, events, or even rumors. Few people are inspired to write as they are have read an interesting short stories, novels, biographies etc. Then, let's take a scrutinizing look at what actually writing is. Why does it bring good to some people? 

For quite few people, writing is a solemn asylum hideaway. In writing they can obtain that moment of siren. Writing is an escape from the daily chores and routine people face. Writing down words of wisdom, phrases of calmness, and sentences of powerful self-motivation are few thing to do. Also, some people write to find a humdrum of chaos they want to make. Anger, stress, anxiety and disappointment are the common cores of turbulence to what they write. Rather than saying orally, the releases of such mental burden to writing is 'safer'. 

Writing itself is giving word(s) their innate nature, to convey idea worth spreading. A scramble word like frethyuin does not mean anything conventionally. Confusion yields in our mind to such word. Further search f meaning of the word seems useless. But conventional word such as 'revolution' means greater context. And, the word revolution itself may find greater 'life' if someone expand the context. He or she may find greater readers to find that the one word 'revolution' has given birth to actual and worthy text to read and context to decipher. 

Then, writing capability is defined as the skill to put appropriate words with adequate space. And this exactly a writers with vast vocabulary they possess. And is not a difficult thing to do, such as this, hisdo uslike to fellowsneglect. See, it's very easy. But, this one is meaningless. To convey meaning appropriately the sentence should like this His fellows do like to neglect us. With sense of good grammar and punctuating words, the skill actually pose clarity and eligibility. Though, such skill of constructing words and decorating spaces and punctuation between them are not as easy as it seems. Forging reading and writing to ourselves is a necessity to actually enabling the writing skill. This skill, then is highly appreciated as the writing works will seek their readers. 

Regards, 

Solo, June 06 2015 

02: 07 pm
(reblogged from Kompasiana here)

Saturday, November 15, 2014

Makna Humanis Dalam Kata 'Rapat'

Makna Humanis Dalam Kata 'Rapat'


Kenapa harus menggunakan kata rapat bukan pertemuan? 

Menggelitik fikir saya saat hendak menghadiri rapat dengan para pimpinan Program Studi barusan. Padahal padanan kata asing yaitu Bahasa Inggris saja adalah meeting atau pertemuan. Kenapa tidak menggunakan meeting atau pertemuan saja. Kenapa malah menggunakan kata rapat yang secara makna malah melenceng dari pemahaman berkumpul bersama di suatu tempat?

Makna Rapat Secara Kebahasaan

Menurut kbbi seperti yang dikutip dalam artikata.com, kata rapat sendiri memiliki dua kategori kata.
  • 1. Adjektiva atau kata sifat, dengan rapat berarti:  hampir tidak berantara; 1) dekat sekali (tidak renggang):2) kerap (tentang tanaman, anyaman, dsb): 3) tertutup benar-benar hingga tidak bercelah: ; 4) berhampiran sekali; dekat benar ; 5) karib; erat (tentang persahabatan)

  • 2. Nomina atau kata benda, dengan rapat berarti: pertemuan (kumpulan) untuk membicarakan sesuatu

Dapat dilihat dua kategori kata rapat sendiri diatas. Kata rapat semula merupakan kategori adjektiva lalu berubah menjadi nomina. Dari peristilahan kata rapat yang menjadi nomina dari adjektiva sering disebut conversion atau konversi dalam bahasa. Sehingga dalam kasus kata rapat, hal ini disebut nominalisasi. Atau secara singkat perubahan suatu kata menjadi satu bentuk nomina.
(ilustrasi: www.eq-consultingservices.com)
(ilustrasi: www.eq-consultingservices.com)

Makna Rapat Sudah Berisi Makna Humanis

Dari arti secara harfiah sudah dapat ditilik mengapa kita menggunakan kata rapat daripada pertemuan. Karena secara sosio-historis masyrakat Indonesia adalah masyarakat yang dibangun atas dasar kesatuan dan bergotong-royong. Maka lahirlah slogan Bhinneka Tunggal Ika yang terpampang di lambang negara, Garuda. Slogan yang berasal dari bahasa Sansakerta yang secara harfiah berarti "Beraneka Satu Itu Jua"
Itulah yang ingin disampaikan dengan kata rapat. Kata rapat yang berarti merekatkan atau mengkaribkan sengaja dipilih oleh ahli bahasa Indonesia kita dahulu. Rapat yang menghadirkan banyak orang dalam satu ruang dan satu pembahasan intinya adalah menyatukan atau merapatkan.

Apa saja yang dirapatkan? Tentunya yang merenggang. Seperti visi atau misi organisasi yang sudah melenceng atau perpecahan dalam organisasi sendiri. Sehingga, perlunya kembali di-rapatkan dengan mengadakan rapat. Dan sejatinya orang yang hadir rapat memahami tujuan rapat, yaitu merangkai atau merekatkan kembali sesuatu yang dianggap tidak satu lagi.

Namun, pada realitanya, kadang rapat adalah ajang berbicara intelek tanpa solusi. Ajang menunjukkan senioritas. Dimana saran dan kesan atau keluhan junior hanyalah angin lalu. Rapat adalah masa mengeluarkan uneg-uneg pada seseorang. Atau bahkan menjadi ajang menjelek-jelekkan. Apanya yang bisa disebut rapat dalam hal ini.

Makna humanis atau nguwongke (memanusiakan) manusia dalam bahasa Indonesia sangtlah menakjubkan. Bandingkan dengan bahas Inggris yang banyak menggunakan istilah meeting atau pertemuan. Tidak ada makna humanis dengan kata meeting atau pertemuan. Toh kita sehari-hari ata kadang bertemu. Sedang bahasa Indonesia memahami hal ini.

Manusia secara sosial tidak ingin hanya sekedar bertegur sapa tiap harinya. Mereka ingin merapatkan atau mengeratkan sesuatu. Entah itu uneg-uneg untuk diutarakan dan diberikan solusi. Agar nantinya, hati-hati yang mulai merenggang agar bisa dirapatkan kembali dalam rapat.
Semoga kita selalu mengingat makna rapat ini nantinya.

How nice to have rapat.

Salam,

Solo, 15 November 2014

12:34 pm(re-blogged dari Kompasiana di sini)