Autocratic Leaders - ilustrasi: leadershipinsightsblog.com |
Kasus surat sakti Rachel Maryam menjadi penjelas mental raja pejabat kita. Merasa menjadi amtenar negeri ini membuat diri menjadi raja di seluruh negeri. Mental minta dilayani semakin menjadi dengan memanfaatkan posisi. Tidak sekadar surat sakti, mental raja pejabat negeri ini banyak rupanya. Mulai dari iringan bising voorrijder memecah macet sampai menodong anak sekolah berdiri menyambut di lokasi mereka berkunjung sudah umum ditemui. Kitapun masuk kantor-kantor megah mereka kita yang patut tunduk. Padahal secara esensi kantor dan gaji para pejabat rakyat juga yang membayarnya.
Mungkin saja angan-angan mereka adalah pejabat negara adalah raja kecil di 'daerah' kuasa mereka. Dengan posisi dan institusi yang mereka emban, mereka patut dapat pamrih. Tidak sekadar upeti berupa gaji, tunjangan dan semua tetek bengek yang dari uang rakyat beri. Tapi lebih kepada penghormatan rakyat sehormat-hormatnya untuk mereka. Kalau bisa rakyat menyambut mereka dengan mencium kaki, itu yang ingin mereka lakukan. Semua dengan dalih, karena pejabat telah mensejahterakan negeri ini untuk rakyat. Pejabat telah begitu lelah rapat dan memutar otak untuk rakyat. Maka rakyat harus patuh dan hormat dengan mereka.
Bahkan bukan hanya kepada rakyat mereka minta dihormati. Kepada bawahannya pun demikian. Bawahan, pegawai dengan pangkat dan golongan dibawah pejabat langitan harus tunduk. Harus pasang wajah ceria saat bertemu para pejabat gila hormat ini. Tidak ada yang boleh mrengut apa lagi protes saat mereka memberi wejangan. Toh bukan pejabat langitan ini yang menggaji pegawai, tapi tanda-tangan dan lobi mereka bisa membuat pegawai rendahan naik taraf hidupnya. Mental ABS (Asal Bapak Senang) terus terjaga dan sengaja dijaga. Karena raja-raja kecil daerah tak ingin bawahan mereka macam-macam. Masih jelas betapa Masinton berbuat kasar pada staf ahlinya. Karena ia merasa ia adalah sang raja bagi staf ahlinya.
Mental raja inipun akhirnya menjangkit ke pegawai bawahan. Coba saja lihat dan amati gaya raja pegawai kelurahan saat kita mengurus segala administrasi. Betapa mereka merasa penting dan butuh dihormati. Kerja mereka begitu penting agar KTP atau akta anak kita rakyat biasa bisa dikeluarkan. Wajah-wajah angkuh dan sok sibuk mereka terpancar saat rakyat memelas agar KTP mereka segara dibuatkan. Mereka merasa berkuasa persis seperti pimpinan mereka. Pegawai negeri ini lupa kalau mereka digaji dan diatur untuk melayani rakyat. Namun yang terjadi, rakyat harus melayani mau mereka. Kalau ada amplop pelicin, baru kerja mereka cepat. Menodong upeti dengan gaya sang pejabat dengan gaya yang lebih brutal.
Dan kita sebagai rakyat pun hanya bisa mengelus dada. Dengan berjuta dalih dan alasan menghindari justifikasi publik, maaf sulit sekali terucap. Mental raja untuk terus dilayani sudah mencapai taraf megalomania. Mereka pantas menjadi penguasa bak tuhan. Sebuah hal yang begitu rumit dipahami orang awam, namun begitu licin dibuat dalihnya oleh para pejabat. Kebenaran seolah adalah milik mereka. Apa yang rakyat lihat belum dilihat seutuhnya tanpa dilengkapi dalil yang mereka buat. Rakyat dianggap begitu bodoh memahami fakta. Karena fikiran pejabat adalah kebenaran itu milik mereka. Karena toh mereka telah bekerja untuk rakyat.
Kuasa mereka adalah kuasa bak raja yang sesat dalam mencari rasa hormat. Mereka lupa bahwa rakyat yang memberi mereka konsensus untuk memimpin. Rakyat memberi suara mereka untuk diwakili, bukan dikangkangi apalagi dibodohi. Rakyat hanya ingin pejabat mensejahterakan negeri. Namun yang terjadi, pejabat memperkaya diri dan menggilai rasa hormat diri. Merasa sudah bekerja untuk rakyat belum tentu bekerja untuk rakyat. Sudah terlalu jengah rakyat dipertontonkan kecongkakan pejabat negeri seperti ini.
Salam,
Solo, 11 Mei 2016
11:15 am
(Reblog dari Kompasiana disini)
0 Comments: