Plonco - ilustrasi: baltyra.com |
Masa Orientasi Siswa (MOS)
identik dengan perploncoan. Dimana kejadian ‘balas dendam’ para senior diulang
lagi beberapa hari ke depan. Seremoni yang sejatinya memperkenalkan siswa pada
sekolah dan isinya, berubah menjadi ‘berasa horor’. Acara yang disusun mulai
dari acara kelas sampai acara lapangan menjadi katarsis dendam para senior pada
juniornya.
Entah
siapa yang memulai orientasi sekolah menjadi ajang perploncoan? Tapi yang
pasti, jaman saya sekolah SMP dan SMA, bahkan kuliah MOS sama dengan plonco.
Dimana hari pertama menjejakkan kaki, saya sudah disambut dengan syarat-syarat
aneh dan benda-benda tak masuk akal untuk dibawa atau dipakai beberapa hari ke
depan. Lalu ada ‘pelajaran’ baris-berbaris. Juga ditambah pameran atau eksibisi
ekskul yang juga membuat decak kagum. Plus, tentunya, omelan dan kadang ‘kontak
fisik’ dari para senior.
MOS = Plonco
Ya, semua wajar apa adanya pada
jaman saya SMP sampai masuk kuliah. Dan semuanya baik-baik saja saat mengikuti
MOS. Tidak ada korban luka, sakit hati bahkan sampai meninggal dunia. Lalu
entah apa yang merubah MOS menjadi ‘horror sejati’. Ada siswa yang tidak terima
dianiaya seniornya selama MOS. Toh memang jatuh korban jiwa saat MOS. Hal ini
tidak bisa diingkari lagi.
MOS yang
berstigma plonco pun kini benar-benar dihapus. Tidak ada lagi dendam senior
pada freshmen. Tali katarsis dendam kini diputus total. MOS kini menjadi ajang
benar-benar orientasi. Dimana nantinya, siswa dan mahasiswa merasa seperti
campus tour’. Tentunya semua seluk beluk administratif, kesiswaan, dan
birokrasi akan diperkenalkan. Siswa hanya cukup apel pagi lalu sisa harinya
akan lebih banyak duduk.
Ah, siswa sekarang akan menjadi
cengeng. Benak saya, atau sebagian kita berfikir. Baru diminta membawa
benda-benda aneh saya udah mewek. Diminta baris-berbaris rapih sambil
dibentak-bentak saja sudah lapor polisi mungkin. Ada sedikit kontak fisik
mungkin akan menggugat dan memanggil pengacara pada si pelaku pemukulan. MOS
berasa ajang pra-jabatan atau workshop karyawan saja. Tanpa kesan tanpa makna.
Masuk ke sekolah atau kampus
berasa formal sekali saat MOS. Juga saat berpisah dari sekolah atau kampus
kesan formal berasa. Siswa atau mahasiswa berasa sekolah adalah sebuah lembaga
formal seutuhnya. Mereka seperti berada dalam controlled environment sebuah
eksperimen besar bernama sistem pendidikan maha sempurna. Sedang kehidupan di
luar sekolah sangat berat. Persaingan bisa saling sikut untuk sekadar jabatan.
Sayang, beratnya kehidupan penuh dengan kesisinisan senioritas dan birokrasi
tidak dirasakan di sekolah.
Siswa, mungkin saja menjadi
manja. Atau mungkin karena MOS ini adalah permintaan orangtua yang sayang
dengan anaknya. Atau, malah memanjakan anaknya. Jangan sampai si anak merasakan
pahitnya MOS seperti si orangtua pernah rasakan. Biar anak mereka merasakan
indahnya sekolah tanpa MOS. Maka ia akan betah di sekolah yang nyaman. Saat
dunia selepas sekolah sudah saking jenuh dengan persaingan, cukup orangtua
mereka yang mencukupi hidup mereka.
MOS = Kekerasan
Tidak, saya tidak menentang
kebijakan MOS baru tanpa plonco di sekolah. Ini baik adanya. Karena trend yang
terjadi memang MOS beberapa tahun ke belakang, identik dengan kekerasan. Ya,
bisa saya bilang dengan kekerasan bukan dengan perploncoan. Plonco akan lebih
identik dengan main-main dan sendau gurau. Sebuah ajang menjalin kedekatan
junior dengan senior dengan cara menegangkan, namun tetap terkontrol. Walau
senior membentak, junior mungkin tidak tahu kalau di belakang barisan mereka,
senior cekikikan.
Entah siapa atau apa yang membuat
MOS kini identik dengan kekerasan. Apa karena mungkin dendam yang menumpuk dari
senior-senior terdahulu? Hal ini tidak mungkin. Karena seusai MOS junir dan
senior akan semakin erat persahabatannya. Setidaknya itu yang saya rasakan.
Atau karena kurangnya pengawasan pihak sekolah? Karena saya tahu pasti, saat
saya menjadi panitia MOS guru selalu mendampingi kami saat rapat maupun saat
acara berlangsung.
Saat menjadi senior dulu, saya
tidak merasakan dendam saat MOS. Atau malah melampiaskan dendam pada junior
yang tidak tahu apa salahnya. Saya hanya ingin dekat dengan para junior dengan
cara yang kami tahu. Melakukan plonco, bukan kekerasan.
Salam,
Solo, 1 Maret 2016
05:00 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)
0 Comments: