Monday, February 29, 2016

Saya Orang Kampungan di Jalan

(Taking Control of the Wheel - ilustrasi: haleymadisonmagazine.webstarts.com)

Alkisah, saya adalah orang kampungan di jalan raya. Seseorang yang lugu dan wagu (Jawa, aneh) kalau berkendara. Tidak seperti para pengendara lain yang sangat kekinian. Para pengendara yang selalu mengikuti trend jalan raya. Saya hanya bisa plonga-plongo heran pada diri saya. Kenapa saya tidak bisa seperti mereka? Mereka sangat wah dan hebat mengikuti trend yang ada. Sedang saya selalu berada dalam kesederhanaan. Bahkan bisa dibilang kampungan.

Ah, betapa trend di jalan raya itu menyenangkan untuk diikuti. Betapa indah mungkin bisa menjadi bagian dari anggota yang selalu kekinian di jalan raya. Wajah-wajah yang selalu menjadi anggota kelompok kekinian jalan raya selalu sigap dan siap. Selalu bisa hebat dan berani di jalan raya. Karena mereka adalah bagian dari kelompok kekinian. Saya cuma bisa diam pada kesederhanaan dan ndesonya saya di jalan raya.

Betapa kekinian, kalau bisa menerebos lampu merah buat mereka. Saya hanya bisa takjub melihat pengendara motor dan mobil bablas saat lampu berwarna merah. Hebat nian. Betapa sigap mereka tengok kiri-kanan dan mlongo ke pos polisi. Lalu tancap gas. Saya orangnya penakut. Pilih diam menunggu lampu merah saja. Biar saja, kalau ada yang anggap pengecut.

Betapa kekinian, pengendara mobil dan motor yang menyerobot lajur kiri. Besar juga nyali mereka mengambil lajur bagi pengendara yang mau langsung belok kiri. Padahal sudah diklakson pengendara yang hendak berbelok. Karena saking jagoannya, pengendara yang hendak berbelok terpaksa berhenti. Lebih wow lagi, para pengikut kekinian di jalan raya segera ikut barisan penghadang lajur kiri. Saya takut. Saya hanya turut garis batas saja. Atau pilih mengantri panjang. Biar saja kalau orang mau bilang saya cemen.

Atau betapa atraktifnya para pengendara yang menelepon sembari mengemudi. Yang memakai sepeda motor, ada yang menyelipkan HP-nya di sela-sela helm. Atau ber-SMS dengan satu tangan sambil menunduk tidak melihat jalan. Atau yang memakai mobil, sibuk menelepon sambil satu tangan melepas setir. Bahkan dengan hands-free, masih saja satu tangan menekan earphone-nya. Keren sekali saya fikir. Saya tidak mau nyleneh. Cukup berhenti di pinggir mengangkat telepon atau SMS. Tidak mau gaya-gayaan. Biar saja tidak bergaya. Saya kan orang kampung.

Dan banyak lagi aksi kekinian pengendara di jalan raya yang lebih wow lagi. Karena saat mereka celaka, saya tahu para anggota kekinian menganggap hal ini biasa saja. Kalau mereka jatuh, seolah menjadi penegas kalau mereka tidak bisa ikut-ikutan kekinian. Kalaupun mereka hilang nyawa, mereka hanya bisa mengelus dada saja. Toh masih banyak anggota yang masih mau ikut trend ini.

Saya cuma sayang nyawa saya. Sesederhana itu. Karena nyawa saya cuma satu. Biarlah tidak ikut trend yang kekinian di jalan raya. Biar saja dibilang cemen atau pengecut. Karena saya sayang nyawa saya. Tidak mau biar dibilang berani ikut-ikutan kekinian semacam ini. Biar saja saya sayang hidup saya yang bahagia. Saya bisa pulang ke rumah kembali. Kembali berkumpul bersama orang terkasih setelah seharian beraktifitas. Dan yang pasti, tidak mau menyusahkan orang lain di jalan raya. Cukup jadi orang sederhana di jalan raya. Tidak usah ikut-ikutan sok jago dan hebat seperti kebanyakan pengendara.

Salam,

Solo, 29 Februari 2016

04:00 am
(Reblog dari Kompasiana disini)

Author:

0 Comments: