(Taking Control of the Wheel - ilustrasi: haleymadisonmagazine.webstarts.com) |
Alkisah, saya adalah orang
kampungan di jalan raya. Seseorang yang lugu dan wagu (Jawa, aneh)
kalau berkendara. Tidak seperti para pengendara lain yang sangat kekinian. Para
pengendara yang selalu mengikuti trend jalan raya. Saya hanya bisa
plonga-plongo heran pada diri saya. Kenapa saya tidak bisa seperti mereka?
Mereka sangat wah dan hebat mengikuti trend yang ada. Sedang saya selalu berada
dalam kesederhanaan. Bahkan bisa dibilang kampungan.
Ah,
betapa trend di jalan raya itu menyenangkan untuk diikuti. Betapa indah mungkin
bisa menjadi bagian dari anggota yang selalu kekinian di jalan raya.
Wajah-wajah yang selalu menjadi anggota kelompok kekinian jalan raya selalu
sigap dan siap. Selalu bisa hebat dan berani di jalan raya. Karena mereka
adalah bagian dari kelompok kekinian. Saya cuma bisa diam pada kesederhanaan
dan ndesonya saya di jalan raya.
Betapa
kekinian, kalau bisa menerebos lampu merah buat mereka. Saya hanya bisa takjub
melihat pengendara motor dan mobil bablas saat lampu berwarna merah. Hebat
nian. Betapa sigap mereka tengok kiri-kanan dan mlongo ke pos polisi. Lalu
tancap gas. Saya orangnya penakut. Pilih diam menunggu lampu merah saja. Biar
saja, kalau ada yang anggap pengecut.
Betapa
kekinian, pengendara mobil dan motor yang menyerobot lajur kiri. Besar juga
nyali mereka mengambil lajur bagi pengendara yang mau langsung belok kiri.
Padahal sudah diklakson pengendara yang hendak berbelok. Karena saking
jagoannya, pengendara yang hendak berbelok terpaksa berhenti. Lebih wow lagi,
para pengikut kekinian di jalan raya segera ikut barisan penghadang lajur kiri.
Saya takut. Saya hanya turut garis batas saja. Atau pilih mengantri panjang.
Biar saja kalau orang mau bilang saya cemen.
Atau
betapa atraktifnya para pengendara yang menelepon sembari mengemudi. Yang
memakai sepeda motor, ada yang menyelipkan HP-nya di sela-sela helm. Atau
ber-SMS dengan satu tangan sambil menunduk tidak melihat jalan. Atau yang
memakai mobil, sibuk menelepon sambil satu tangan melepas setir. Bahkan dengan
hands-free, masih saja satu tangan menekan earphone-nya. Keren sekali saya fikir. Saya
tidak mau nyleneh. Cukup berhenti di pinggir mengangkat telepon atau SMS. Tidak
mau gaya-gayaan. Biar saja tidak bergaya. Saya kan orang kampung.
Dan
banyak lagi aksi kekinian pengendara di jalan raya yang lebih wow lagi. Karena
saat mereka celaka, saya tahu para anggota kekinian menganggap hal ini biasa
saja. Kalau mereka jatuh, seolah menjadi penegas kalau mereka tidak bisa
ikut-ikutan kekinian. Kalaupun mereka hilang nyawa, mereka hanya bisa mengelus
dada saja. Toh masih banyak anggota yang masih mau ikut trend ini.
Saya cuma
sayang nyawa saya. Sesederhana itu. Karena nyawa saya cuma satu. Biarlah tidak
ikut trend yang kekinian di jalan raya. Biar saja dibilang cemen atau pengecut.
Karena saya sayang nyawa saya. Tidak mau biar dibilang berani ikut-ikutan kekinian
semacam ini. Biar saja saya sayang hidup saya yang bahagia. Saya bisa pulang ke
rumah kembali. Kembali berkumpul bersama orang terkasih setelah seharian
beraktifitas. Dan yang pasti, tidak mau menyusahkan orang lain di jalan
raya. Cukup jadi orang sederhana di jalan raya. Tidak usah ikut-ikutan sok jago
dan hebat seperti kebanyakan pengendara.
Salam,
Solo, 29
Februari 2016
04:00 am
(Reblog dari Kompasiana disini)
0 Comments: