ilustrasi: eyalt23.deviantart.com |
Sudah saatnya
mengubah stigma musik rock atau metal itu musik cadas. Musik yang dijuluki
cadas mungkin kini bisa disematkan di musik dangdut. Cadas, atau dalam konteks
musik berarti keras dan hingar-bingar kini serasa bergeser ke musik dangdut.
Musik rock atau metal bukan lagi musik cadas hingar-bingar secara maknawi.
Walau gebukan drum serupa AK-47 atau riff gitar yang cepat dan rumit, musik
metal cadas pada sisi wujudiah. Secara maknawi, musik rock atau metal tidak
lagi cadas. Kini dangdut yang secara wujudi terkesan halus dan gembira, kini
secara maknawi sudah lebih cadas musik rock atau metal. Saya kebetulan sering
hadir dan menikmati konser-konser rock atau metal. Beberapa konser ini memiliki
kultur yang sama, walau dengan warna yang berbeda.
Kultur yang
sama adalah tolerant.
Rundown yang biasanya one-day festival atau dimulai dari setelah sore,
memiliki hal yang sama yaitu jeda saat waktu sholat. Baik sholat Ashar, Magrib
atau Isya, di rundown acara biasanya akan memiliki jeda sekitaran 30 menit.
Dan, semua konser yang saya kunjungi berakhir sebelum pukul 23:00. Ada pula
yang berakhir pukul 22:00. Semua konser rock atau metal mematuhi peraturan
pihak berwajib agar bubar sebelum tengah malam.
foto: hai-online.com |
Kultur yang
sama juga, adalah respect atau menghormati dalam konser rock atau
metal. Toleransi pada mereka yang hendak menunaikan sholat, atau melepas lelah
bagi yang tidak sholat. Kultur respect pun dipraktekkan saat mosh-pit mulai
bergolak. Biasanya, banyak yang saling berkontak fisik, berdesakan dan meliar.
Namun, setelah lagu yang dibawakan usai, maka mosh pit pun bubar. Tidak
ada yang tersinggung telah bertumburan dengan orang tidak dikenal saat ber-moshing. Tidak
ada pula dendam saar berkontak fisik saat ber-moshing. Semua kembali menikmati
musik atau pilih beristirahat.
Hampir di
setiap konser yang saya datangi, tidak ada keributan atau adu jotos karena
saling senggol. Lalu dangdut sudah menjadi aliran musik yang lebih cadas dari
musik rock atau metal. Berikut beberapa pengamatan dan observasi saya. Karena
dangdut is
the music of my country, tentu banyak yang anggap dangdut adalah
musik maintream. Alias musik yang menjadi komoditas hiburan dan pleasure. Dan
sifatnya inilah, yang kadang disalahgunakan oleh beberapa promotor. Lihat saja
di televisi kita saat konser dangdut live. Tidak ada toleransi waktu
sholat.
Konser
pencarian bakat di salah satu TV swasta dimulai pukul 18:00. Bagaimana para
peserta dapat sholat? Bagaimana dengan para penontonnya juga dapat sholat?
Peserta perempuan muslim tentunya harus berdandan 3-4 jam sebelum konser. Lalu,
saat adzan Magrib berkumandang, penonton malah diminta bersorak-sorai menyambut
para host yang, saya tahu, juga Muslim.
screenshot: article.wn.com |
Ada pula
konser dangdut yang outdoor atau di tempat terbuka. Tak jarang kontak
fisik atau hanya bersenggolan antar penonton bisa menyulut keributan masal.
Konser pun dihentikan sampai pihak-pihak berselisih diamankan. Mereka joget dan
dalam berjoget mereka sebebasnya dan semaunya. Saat disenggol lagi, kadang
dengan keadaan mabuk, mereka berselisih. Yang masalah bukan antar individu.
Kadang teman-teman si oknum yang bersenggolan yang kadang membuat konser
dangdut tidak nyaman, bahkan membahayakan. Perilaku penonton yang kurang bisa
saling menghormati penonton lain yang juga ingin bersenang-senang. Dangdut
sudah menjadi komoditas hiburan yang over-exposed.
Menjadi genre
musik yang kini cenderung mengumbar lirik nakal dan goyang yang cenderung
erotis. Mengumbar pula penyanyi baru dengan one-hit wonder saja. Dengan
satu lagu si penyanyi bisa terkenal. Dan dengan satu lagu itu pula ia
terlupakan. Penempatan waktu dan durasi tayang yang terlalu lama dan
membosankan, seperti pada konser pencarian bakat dangdut di TV. Yang kita
tonton, 30% menyanyi dan 70% membanyol dan mendengar kritik juri. Nilai seni
dan estetika mulai luntur pada dangdut. Saya, juga penikmat dangdut terutama
klasik. Artis dan karya dangdut yang everlasting seperti dari Rhoma Irama, Mansyur S.,
Evi Tamala, dll tetap saya kagumi.
Sedang musik
rock atau metal sekarang sedang mengisi kekosongan genre musik mainstream.
Musik rock atau metal mulai menjadi primadona ABG. Banyak dari mereka mulai
menyukai musik rock atau metal. Mulai dari t-shirt sampai tas punggung berkesan
rock atau metal mereka gunakan. Banyak juga yang cuma ikut-ikutan agar terlihat
sangar dan cadas. Walau gaya hidup dan cara berfikir mereka masih mainstream,
alias cuma mengekor. Namun, rock atau metal tetap memiliki sifat tribalism-nya
sendiri. Kultur DIY (Do It Yourself), respect and tolerance, dan support local movement terus
ada dalam hati.
Sadar atau
tidak sadar, penyuka musik rock atau metal sejati akan 'mengamalkan'
sifat tribalism ini
dalam hidup. Terlepas dari stigma negatif yang sengaja dibuat TV. Jadi, mana
yang lebih cadas secara maknawi sekarang? Musik rock atau metal? Atau musik
dangdut?
Salam,
Solo, 22 Maret 2016
04:00 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)
0 Comments: