Wednesday, March 23, 2016

Foto Balita Merokok; Akumulasi Zero Parenting?

(ilustrasi: atomicreal.deviantart.com)
ilustrasi: atomicreal.deviantart.com

Sebuah keprihatinan mendalam buat orangtua jika menyaksikan foto balita merokok. Entah rokok itu benar dihisap sang balita atau hanya sekadar bermain-main. Tapi sangat konyol dan di luar nalar orangtua berakal sehat memfoto balitanya demikian. Kalau bukan dikatakan orangtua labil. Sebutan apalagi yang pantas untuk orangtua yang nampaknya masih senang mencari sensasi konyol seperti itu. Bagi sang balita, ia tidak tahu apa-apa selain reaksi orangtua yang anggap hal ini lucu. Tidak ada dalam pikiran si balita bahaya merokok.

Namun, nampaknya orangtua si balita seolah tidak punya kedewasaan sesuai predikat orangtua yang disandangnya. Ada empat foto berbeda yang dijadikan satu. Rokok tersebut terlihat ditempelkan, bahkan dimasukkan ke mulut atau bibir sang anak selayaknya seseorang sedang merokok. Rokok tersebut pun terlihat menyala. Foto kemudian diberi keterangan "Jagoan mom&papp". Dari keterangan foto itu, Ve Royy diduga kuat ibu dari sang anak. (berita: kompas.com) 


(ilustrasi: kompas.com)
ilustrasi: kompas.com
Maaf, Balita Bukan Mainan 

Lucu dan lugunya balita memang membuat semua orang gemes dan ingin menggendong. Dan wajar adanya jika seorang balita selalu menjadi rebutan jika saudara, kakek-nenek, atau karib kerabat kita berkumpul. Apalagi jika balita kita gemuk pipinya, murah senyum dan mau saja digendong semua orang. Dicubiti pipinya, dicium dan diajak berbicara dan menirukan gerakan pun biasanya dilakukan orang dewasa di sekitar balita. Ada pula yang bernyanyi untuk si bayi lalu mnta si balita menirukan. Semua yang mungkin membuat hati balita dan si orang dewasa senang. Walau kadang, apa yang diperlakukan orang dewasa ke balita tidak selalu berarti untuk si balita itu sendiri. 

Balita adalah seorang peniru ulung. Apa yang dilakukan orang-orang di sekitarnya akan dengan mudah ia tirukan. Entah itu ucapan, tindakan bahkan emosi. Kata yang pasti orangtua atau orang dewasa ingin balitanya tirukan adalah kata-kata yang konkrit seperti makan, mimi, atau bobo. Lalu tindakan seperti membuka mulut saat makan, menyanyi, sampai menari. Bahkan, sampai emosi orangtua pun orang dewasa sekitarnya bisa ditirukan. Balita memperhatikan dan merekam apa yang kita ucap dan lakukan saat kita marah, sedih, risau, dll, Maka jangan heran jika balita kita marah, ada kesan emosi yang terpancar adalah serupa yang dilakukan orangtuanya saat mereka marah.

Dan kasus diatas, dimana balita bahkan minta untuk merokok adalah orangtuanya atau orang  dewasa di sekitarnya yang patut disalahkan. Kalau balita tidak mencontoh atau meniru perilaku merokok dari orang dewasa disekitarnya, lalu dari mana. Tidak mungkin keinginan dan perilaku merokok didapat seorang balita. Apalagi jika sudah difoto dan merasa bangga si balita ini sebagai 'jagoan mam and pap'. Maaf jika saya ucap orangtuanya adalah orang brengsek dan norak. Brengsek karena anak balita yang tidak tahu mudarat rokok meminta rokok dan meniru orang merokok. Norak karena merasa bangga anak balita lelakinya merokok lalu menjadi jagoan. Lalu memposting foto balita merokok di Facebook. Banggakah mereka sebagai orangtua? Mereka seharusnya malu! 

Mendekati Zero Parenting? 

Zero Parenting, sebuah wacana dimana pola pengasuhan dan didik anak dibiarkan begitu saja. Dengan kata lain, tidak ada sama sekali asuhan dan didikan orangtua saat anak berada dalam masa tumbuh kembang. Dan dalam kasus seperti diatas, zero parenting yang saya maksud adalah tidak adanya asuhan terpola dan baik untuk anak dalam masa kembang. Orangtua si balita hadir, namun tidak dengan baik mengasuh. Dalam hal ini, membesarkan anak secara fisik mudah. Namun dalam segi psikologis dan emosional, hal ini yang belum banyak disentuh. Karena sejatinya karakter anak terbentuk saat Golden Age (0-5 tahun). Saat orangtua hanya sekadar membesarkan anak dan mengesampingkan hal pengasuhan dan pendidikan bukankah sudah masuk wacana zero parenting.
  
(ilustrasi: michael-streeter.blogs.charentelibre.fr)
michael-streeter.blogs.charentelibre.fr
Dari kasus di atas, balita ini saja bisa diajarkan untuk merokok. Dengan tidak berburuk sangka, bagaimana hal lain? Jika si balita bisa ngamuk atau tantrum tidak diberikan rokok, bagaimana orangtuanya mendidik dan mengarahkan hal ini? Lalu, mental orangtua yang sepertinya menjadikan anak sebagai objek 'mainan' semata, memperparah pola asuh. Entah karena mereka masih labil atau karena mencari sensasi. Namun hal ini memang di luar kewajaran. Dan satu kasus ini yang terungkap di media. Mungkin banyak lagi contoh lain.

Seperti pernah berita menghebohkan anak perokok yang sempat mendunia karena fotonya. Penekanan dan fokus pengembangan pola asuh tentunya ada pada orangtua. Orangtu harus mau dan mampu mempelajari pendidikan pola asuh anak, Jika tidak di mulai sejak dini, mana mungki tercapai generasi Indonesia yang baik. Pemerintah, melalui Depdikbud sepertinya mencoba mem-prevent kasus serupa terjadi di lain waktu. Anies Baswedan telah memulai Ditjen Keayahbundaan. Sebuah Ditjen yang akan mencoba memetakan program pola asuh yang baik. 

Dan sepertinya, berfokus pada Generasi Emas Indonesia 2045 nanti. Selengkapnya di artikel saya, Direktorat Keayahbundaan Kemenedikbud, Buat Apa? Dan tentunya, kasus diatas harus pula dijadikan contoh orangtua lain. Dalam hal ini, ada hukum pidana yang mungkin dijatuhkan kepada orangtua yang memberikan balitanya rokok.

JAKARTA, KOMPAS.com - Orangtua yang dengan sengaja mengajari anak-anak merokok dapat dipidana. Sebab, perilaku tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang mewajibkan orangtua untuk melindungi anak, termasuk dari bahaya merokok.(berita: kompas.com)

Salam,

Solo, 29 Maret 2016

07:00 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)

Author:

0 Comments: