ilustrasi: atomicreal.deviantart.com |
Sebuah keprihatinan mendalam buat
orangtua jika menyaksikan foto balita merokok. Entah rokok itu benar dihisap
sang balita atau hanya sekadar bermain-main. Tapi sangat konyol dan di luar
nalar orangtua berakal sehat memfoto balitanya demikian. Kalau bukan dikatakan
orangtua labil. Sebutan apalagi yang pantas untuk orangtua yang nampaknya masih
senang mencari sensasi konyol seperti itu. Bagi sang balita, ia tidak tahu
apa-apa selain reaksi orangtua yang anggap hal ini lucu. Tidak ada dalam
pikiran si balita bahaya merokok.
Namun,
nampaknya orangtua si balita seolah tidak punya kedewasaan sesuai predikat
orangtua yang disandangnya. Ada empat foto berbeda yang dijadikan satu. Rokok
tersebut terlihat ditempelkan, bahkan dimasukkan ke mulut atau bibir sang anak
selayaknya seseorang sedang merokok. Rokok tersebut pun terlihat menyala. Foto
kemudian diberi keterangan "Jagoan mom&papp". Dari keterangan
foto itu, Ve Royy diduga kuat ibu dari sang anak. (berita: kompas.com)
ilustrasi: kompas.com |
Maaf, Balita Bukan Mainan
Lucu dan lugunya balita memang membuat semua orang gemes dan ingin menggendong. Dan wajar adanya jika seorang balita selalu menjadi rebutan jika saudara, kakek-nenek, atau karib kerabat kita berkumpul. Apalagi jika balita kita gemuk pipinya, murah senyum dan mau saja digendong semua orang. Dicubiti pipinya, dicium dan diajak berbicara dan menirukan gerakan pun biasanya dilakukan orang dewasa di sekitar balita. Ada pula yang bernyanyi untuk si bayi lalu mnta si balita menirukan. Semua yang mungkin membuat hati balita dan si orang dewasa senang. Walau kadang, apa yang diperlakukan orang dewasa ke balita tidak selalu berarti untuk si balita itu sendiri.
Balita
adalah seorang peniru ulung. Apa yang dilakukan orang-orang di sekitarnya akan
dengan mudah ia tirukan. Entah itu ucapan, tindakan bahkan emosi. Kata yang
pasti orangtua atau orang dewasa ingin balitanya tirukan adalah kata-kata yang
konkrit seperti makan, mimi, atau bobo. Lalu tindakan seperti membuka mulut
saat makan, menyanyi, sampai menari. Bahkan, sampai emosi orangtua pun orang dewasa
sekitarnya bisa ditirukan. Balita memperhatikan dan merekam apa yang kita ucap
dan lakukan saat kita marah, sedih, risau, dll, Maka jangan heran jika balita
kita marah, ada kesan emosi yang terpancar adalah serupa yang dilakukan
orangtuanya saat mereka marah.
Dan kasus
diatas, dimana balita bahkan minta untuk merokok adalah orangtuanya atau orang
dewasa di sekitarnya yang patut disalahkan. Kalau balita tidak mencontoh
atau meniru perilaku merokok dari orang dewasa disekitarnya, lalu dari mana.
Tidak mungkin keinginan dan perilaku merokok didapat seorang balita. Apalagi
jika sudah difoto dan merasa bangga si balita ini sebagai 'jagoan mam and pap'.
Maaf jika saya ucap orangtuanya adalah orang brengsek dan norak. Brengsek
karena anak balita yang tidak tahu mudarat rokok meminta rokok dan meniru orang
merokok. Norak karena merasa bangga anak balita lelakinya merokok lalu menjadi
jagoan. Lalu memposting foto balita merokok di Facebook. Banggakah mereka
sebagai orangtua? Mereka seharusnya malu!
Mendekati
Zero Parenting?
Zero
Parenting, sebuah wacana dimana pola pengasuhan dan didik anak dibiarkan begitu
saja. Dengan kata lain, tidak ada sama sekali asuhan dan didikan orangtua saat
anak berada dalam masa tumbuh kembang. Dan dalam kasus seperti diatas, zero parenting yang
saya maksud adalah tidak adanya asuhan terpola dan baik untuk anak dalam masa
kembang. Orangtua si balita hadir, namun tidak dengan baik mengasuh. Dalam hal
ini, membesarkan anak secara fisik mudah. Namun dalam segi psikologis dan emosional,
hal ini yang belum banyak disentuh. Karena sejatinya karakter anak terbentuk
saat Golden Age (0-5
tahun). Saat orangtua hanya sekadar membesarkan anak dan mengesampingkan hal
pengasuhan dan pendidikan bukankah sudah masuk wacana zero parenting.
michael-streeter.blogs.charentelibre.fr |
Dari kasus di atas, balita ini
saja bisa diajarkan untuk merokok. Dengan tidak berburuk sangka, bagaimana hal
lain? Jika si balita bisa ngamuk atau
tantrum tidak diberikan rokok, bagaimana orangtuanya mendidik dan mengarahkan
hal ini? Lalu, mental orangtua yang sepertinya menjadikan anak sebagai objek
'mainan' semata, memperparah pola asuh. Entah karena mereka masih labil atau
karena mencari sensasi. Namun hal ini memang di luar kewajaran. Dan satu kasus
ini yang terungkap di media. Mungkin banyak lagi contoh lain.
Seperti
pernah berita menghebohkan anak perokok yang sempat mendunia karena fotonya.
Penekanan dan fokus pengembangan pola asuh tentunya ada pada orangtua. Orangtu
harus mau dan mampu mempelajari pendidikan pola asuh anak, Jika tidak di mulai
sejak dini, mana mungki tercapai generasi Indonesia yang baik. Pemerintah,
melalui Depdikbud sepertinya mencoba mem-prevent kasus serupa terjadi di lain
waktu. Anies Baswedan telah memulai Ditjen Keayahbundaan. Sebuah Ditjen yang
akan mencoba memetakan program pola asuh yang baik.
Dan
sepertinya, berfokus pada Generasi Emas Indonesia 2045 nanti. Selengkapnya di
artikel saya, Direktorat
Keayahbundaan Kemenedikbud, Buat Apa? Dan tentunya, kasus diatas harus
pula dijadikan contoh orangtua lain. Dalam hal ini, ada hukum pidana yang
mungkin dijatuhkan kepada orangtua yang memberikan balitanya rokok.
JAKARTA, KOMPAS.com - Orangtua yang dengan
sengaja mengajari anak-anak merokok dapat dipidana. Sebab, perilaku tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
yang mewajibkan orangtua untuk melindungi anak, termasuk dari bahaya merokok.(berita: kompas.com)
Salam,
Solo, 29 Maret 2016
07:00 pm
(Reblog
dari Kompasiana disini)
0 Comments: