Sunday, November 13, 2016

Ingat, Beasiswa Bukanlah Hadiah

Ilustrasi. Shutterstock
'Beasiswa bukan hadiah.'
Sebuah frasa yang sejak saya menjadi awardee dari institusi pemerintah selalu saya camkan di dalam hati. Bukan coba membebani diri, namun memberi sedikit pengingat seiring saya menempuh studi di negara orang saat ini. 

Mungkin saja saya khilaf jika menganggap beasiswa adalah hadiah. Beasiswa adalah 'hak saya' karena saya pintar. Menjadi 'jatah' saya karena saya berprestasi. Atau merupakan 'hibah' buat saya yang mengabdi pada satu bidang setelah bertahun-tahun. Semoga saya dijauhkan dari berfikiran demikian.

Coba saya analogikan dengan orang-orang yang sekolah di luar negri dengan biaya sendiri. Biaya sendiri baik dari pribadi karena bekerja atau dana berasal dari orangtua. Sifat sentripetal dihasilkan dari sekolah biaya sendiri. 

Maksudnya, tanggung jawab yang ada terfokus pada diri sendiri dan orangtua yang membiayai. Orangtua harus wajib tahu hasil tiap semester misalnya. Atau ada motivasi intrinsik untuk mendapat nilai diatas 80 demi mengejar karir di masa depan. 

Berbeda dengan sifat beasiswa yang sentrifugal. Beasiswa seperti ini saya pikir akan melibatkan dan mempengaruhi banyak orang. Beberapa pihak tersebut seperti:
  1. Pemerintah/institusi; Saya harus mempertanggung jawabkan hasil pra, whilst dan paska studi kepada pemerintah/institusi. Sebelum mendapat beasiswa ada seleksi ketat. Donor beasiswa tentu tidak akan memberi kepada sembarang awardee. Integritas menjadi salah satu poin penting yang diukur. Tentunya saat studi, hal akademis dan non-akademis menjadi tolok ukur integritas yang sudah diukur sebelumnya. Akhirnya, saat studi selesai impact apa yang awardee tersebut bisa dikontribusikan ke negara, institusi tempat bekerja, dan masyarakat secara luas. 
  2. Sekolah/institusi tempat belajar; Sekolah/institusi ini bisa di dalam dan luar negri. Sudah bisa pasti sekolah/institusi memiliki ekspektasi tinggi saat menerima awardee beasiswa. Mereka tahu awardee sudah diseleksi ketat oleh pemerintah/institusi donor beasiswa. Tentu 'standar' atau benchmark awardee juga. Intinya, awardee adalah orang-orang pintar dan berprestasi. Impact untuk sekolah/institusi yang menerima awardee seperti ini adalah prestasi riset/akademis/non-akademis juga tinggi. Bagi sekolah di luar negri bisa memberi mereka data/cultural awareness dari negara awardee. Dan secara ekonomis tentunya revenue. Soal data/riset soal negara awardee, pemegang beasiswa harus menjamin sensitifitas data/riset dijamin oleh pihak kampus. 
  3. Tempat bekerja/institusi profesi. Tentunya tidak semua awardee adalah fresh graduate. Pada program Ph.D, banyak awardee sudah berprofesi di PTN/PTS/BUMN/Swasta asing. Tentunya menerima beasiswa berdampak pula pada tempat mereka dan saya bekerja. Institusi ini berharap kita mendapat banyak hal yang bisa di-share dan diadaptasi di negara atau institusi sendiri. Tentunya hal yang positif dan membangun. Walau impact yang timbul tidak diharapkan spontan, namun indikasi kemajuan sejak awardee kembali bekerja tentu diharapkan. Percuma jika sesusai awardee kembali bekerja di institusinya kemudian membaur dan masuk ke dalam sistem yang lama. Tanpa ada kemajuan berarti dan nyata. Menurut saya pribadi, percuma saja studi jauh-jauh namun tidak ada impact atau sekadar indikasi kemajuan yang terjadi.
  4. Orangtua/keluarga awardee. Orangtua mana yang tidak bangga anaknya mendapat beasiswa? Dan serupa biaya dari orangtua, awardee wajib bertanggung jawab kepada orangtua atau keluarga. Mungkin tidak secara formal memberi laporan tiap semester, namun endurance/daya tahan dan kelulusan menjadi bukti. Saya sendiri harus bisa dan wajib menyesuaikan gaya belajar di tempat studi saya. Gaya belajar autonomous dan critical thinking dominan di negara Barat. Hal yang saya kira tidak semua PT di Indonesia yang menerapkan. Teacher-centered dan spoiled (manja) saya kira masih banyak terjadi, bahkan sampai tingkat perguruan tinggi. Dan lulus juga menjadi bukti kita berhasil. Karena banyak teman dan rekan bercerita kalau studi mereka tidak selesai. Dan banyak hambatan baik internal dan eksternal yang terjadi. Sangat disayangkan memang.
  5. Masyarakat pada umumnya. Baik orang yang saya kenal atau tidak. Jika mereka tahu saya penerima beasiswa mungkin ada pertanyaan terbersit dalam hati mereka. Apa yang sudah kamu berikan untuk negara/masyarakat? Kamu kan dibiayai negara kuliahnya? Ingin dan harapan saya hanya, sebelum mereka bertanya demikian sudah ada hal yang mungkin kecil bisa dirasakan orang banyak. Tidak perlu muluk-muluk riset untuk mengkoloni planet Mars misalnya. Namun bersumbangsih opini dan aspirasi di ranah profesinya sendiri mungkin menjadi indikasi awal kontribusi. Tentunya dalam diri setiap awardee, ada keinginan mereka untuk bermanfaat bagi nusa dan bangsa. Sebuah klise yang orangtua kita ucap dulu saat ditanya cita-cita sejak SD. Yang saya kira menjadi doa terwujud saat ini dan nanti.
Tentunya, beasiswa bukan hadiah.

Dengan biaya hidup yang tinggi di negeri orang. Atau dalam konteks sekolah di negeri sendiri, kuliah tidak mengeluarkan biaya pribadi. Kadang terbersit betapa enak dan 'sejahteranya' awardee. Terus saya coba ingatkan diri, jika beasiswa bukan cuma-cuma diberikan pemerintah/institusi. Ada hal yang harus dibuktikan. Pihak donor beasiswa tentu berharap banyak pada awardee seperti saya. Apalagi jika menyangkut beasiswa negara.

Jika kuliah biaya sendiri bertanggung jawab ke ibu kandung. Maka kuliah berbeasiswa negara bertanggung jawab ke ibu pertiwi. Ke negara yang sudah mau menjaminkan investasi berupa biaya kuliah ke saya sebagai pribadi yang dianggap layak menerima beasiswa. Banyak pihak yang berharap pada saya. Beban yang ada ini bukan seharusnya menjadi hambatan. Namun tantangan yang harus saya jawab.

Sudahkah saya memberi sesuatu untuk negara? 

Salam,

Wollongong, 13 November 2016

09:00 am
(Reblog dari Kompasiana disini) 

Author:

0 Comments: