Wednesday, June 29, 2016

Bahagia Kekinian Dilegitimasi Media Sosial

Happiness - ilustrasi: macleans.ca
Meng-upload foto makan siangmu di Instagram. Puluhan like dari teman pun datang di notifikasi. Hatimu merasa bahagia bukan main. Upload-lah foto keluargamu berpiknik di Bali. Like dan komentar pun membubuhi foto wisata tadi. Sambil menyungging senyum, kamu balas komentar. Lalu, update statusmu di BBM saat kamu berbuka puasa Senin-Kamis nanti sore. Saat teman di kontakmu memberi komen dan jempol, tambah khusyuk kamu berbuka. Sepertinya.

Bukankah bahagia itu sederhana. Namun, era kekinian membuat bahagia kian kompleks. Bahagia harus dibagi. Share button menjadi kebutuhan primer di medsos. Seolah, seseorang belum benar-benar bahagia jika orang lain belum tahu. Belum sah bahagia memiliki mobil baru kalau foto unggahan mobil baru belum di-like di Facebook. Belum bahagia jika foto anak dengan sepeda barunya belum menjadi DP di BBM. Sebegitu sulitkah bahagia di era kekinian?

Terlepas dari rasa unjuk diri atau arogan, kita semua ingin eksis dengan ceria. Dengan dasar yang kadang begitu klise. Hanya berbagi kebahagiaan agar orang lain bisa termotivasi. Tidak pernah terbersit rasa sombong atau pamer harta di foto-foto Facebook. Semua hanya bagian dari berbagi kesyukuran mendapat harta titipan yang lebih dari cukup. Semoga yang teman-teman lain bisa lebih terpacu berusaha. Ah, masih rumit sekali merasakan kebagiaan era kekinian.

Saat legitimasi bahagia menjadi ranah kuasa orang lain, masihkah bisa disebut rasa bahagia? Saat tidak ada orang yang me-like atau berkomentar foto prewed-mu di Instagram, apa kamu rasa berbeda? Temanmu tidak pedulikah? Temanmu tidak mau tahukah hari berbahagiamu berdua dengan calon istrimu? Tapi setidaknya, kamu sudah mengunggah foto prewed-mu. Resahmu pada foto tanpa like menggantikan resahmu berucap janji depan penghulu. 

Rumit sekali meresapi rasa bahagia jika ada medsos menjadi perantaranya. Medsos mengobral momen berbahagiamu dengan orang lain. Secara tidak sadar, momen itu menjadi milik bersama. Dalam share button pada aplikasi medsos menjadi plakat kematian bahagiamu. Karena rasa bahagia yang kamu impi dan nanti saat sudah terbagi, maka kekhawatiran yang muncul. Resah menanti like, RT, komentar, double tap, dll yang fana. Namun begitu nirvana rasa bahagia berbagi di medsos itu di era kekinian.

Bukankah rasa bahagia itu sederhana? Saat yang merasa bahagia saya sendiri yang mendapat kenaikan promosi kerja, rayakan. Memaknai bahagia jauh di dalam batin saat dipromosikan, adalah esensi bahagia. Lalu bagikan bahagia ini bersama keluarga dan teman. Bahagia memang boleh dibagi. Namun tidak untuk diobral. Ada kegugupan rasa akan rasa bahagia jika banyak orang yang tahu. Perdulikah mereka? Banggakah mereka? Penasarankah mereka?

Rasa bahagia tidak untuk dibalut keresahan yang begitu inklandestin. Sampai legitimasi salah kaprah ini menjadi shared-ground di era kekinian.Saat banyak keresahan ini berkumpul di satu media bernama medsos, legitimasi bahagia ini bukan menjadi masalah. Epidemi penjangkitan bahagia berbalut keresahan ini pun begitu halus masuk ke kepala. Akhirnya, mereka sebut ini trend. Kalau tidak ikut trend, bisa-bisa dianggap katrok. Legitimasi berbahagia ala kekinian pun menjangkiti.

Salam,

Solo, 29 Juni 2016

05:00 pm 
(Reblog dari Kompasiana disini)

Author:

0 Comments: