Reading - ilustrasi: blog.writersdomain.net |
Mungkin belum banyak yang tahu singkatan GWIGWO. Namun, saya pikir hal ini sudah sering dilakukan. Dalam menulis artikel di media apa pun, GWIGWO sudah sering dilakukan. Agak mustahil jika aktivitas ini tidak dilakukan. GWIGWO adalah singkatan Good Writing In, Good Writing Out. Dalam terjemah bahasa Indonesia sederhana, tulisan bagus masuk, tulisan bagus keluar. Membaca karya tulisan bermutu, maka akan muncul karya tulis bermutu pula.
Benarkah demikian?
Membaca buat saya sendiri seperti konsumsi makanan. Mulai dari koran, artikel di portal berita, novel, dan buku teks menjadi makanan sehari-hari saya. Walau lama membaca novel tentunya tidak selama membaca koran. Saya sendiri banyak membaca novel thriller, horor dan crime. Kebanyakan pula hasil terjemahan. Beberapa dengan tetap bahasa Inggris.
Saat ini saya membaca Torture Garden karya Octave Mirbeau. Novel ini berkisah tentang pembunuhan sadistik berkesan psikotik. Mungkin bagi banyak orang novel ini tidak bermutu, tapi tidak dengan saya. Saya pun menyenangi novel klasik Inggris karya Charles Dickens dan George Elliot. Banyak yang 'jijay' melihat novel klasik ini karena tebal dan berbahasa Inggris. Apalagi deskripsi diksi karya George Elliot yang detail dan panjang bisa menjemukan bagi sebagian orang. Atau novel-novel wayang karya Pitoyo Amrih, Seno Gumira Aji Darma dan Agus Sunyoto yang saya kira bagi sebagian orang dianggap kuno.
Jadi ukuran bagus atau bermutu bagi setiap orang akan tentu berbeda? Namun yang menjadi dasar GWIGWO buat saya sendiri bisa dipetakan menjadi beberapa poin:
- Memperkaya diksi. Semakin banyak membaca, maka semakin banyak kosakata. Ya itu benar adanya. Bahkan kata seperti kata cinding dan pullulation baru saya tahu. Lain kali menulis, kata-kata seperti ini bisa saya gunakan. Tentu dalam hal ini tidak selamanya kata baru menyampaikan konteks arti yang diinginkan. Namun, kata baru akan memberi kesan wah untuk pembaca tentunya.
- Memperdalam style atau gaya menulis. Yang saya amati, novel seperti Scorch Trial karya James Dashner jauh berbeda dengan gaya menutur James B. Stewart dalam novelnya Blind Eye. Target pembaca Scorch Trial tentu anak muda, sedang tidak dengan Blind Eye. Sehingga style-nya pun berbeda. Atau detail yang begitu panjang dalam Grotesque karya Natsuo Kirino, berbeda dengan fase cepat dalam The Missing karya James Mooney. Walau kedua-duanya sama-sama mencekamnya.
Write - ilustrasi: polyvore.com |
Jadi, Good Writing sendiri menjadi esensi relatif bagi setiap orang. Tidak semua orang suka bacaan tekstual serupa modul kuliah. Namun, tidak dapat disangkal banyak juga yang suka bahasa formal. Tidak semua orang suka membaca novel horor, psikopat, atau thriller. Juga banyak pula yang begitu hanyut dalam novel romansa dan epos. Semua orang memiliki selera atas karya atau tulisan yang dianggap bermutu.
Namun, tentunya semakin banyak membaca, naluri memahami bacaan bagus atau tidak jadi terasah. Semakin menyelami satu genre tertentu, semakin peka alur cerita yang benar-benar captivating atau sekadar basa-basi. Sehingga, Good Writing menjadi sebuah akumulasi membaca dari yang kiranya level sederhana ke level yang lebih advanced. Dan dalam hal ini, konsistensi saya kira menjadi kunci.
Maka setelah berkutat dan diekspos pada karya tulis bermutu, muncullah Good Writing diri. Dan hal ini saya kira menjadi satu siklus yang utuh. Tidak ada yang terlahir bisa menulis panjang sebelum ia membaca terus-menerus. Seperti Stephen King pernah berkata:
"If you want to be a writer, you must do two things above all others: read a lot and write a lot. There's no way around these two things that I'm aware of, no shortcut."
Jadi esensi GWIGWO memang harus dipegang teguh bagi mereka yang benar-benar ingin menjadi penulis. Dan penulis bisa berarti novelis, cerpenis, kolumnis, akademisi atau peneliti, dsb. Memaparkan diri ke karya yang bermutu dianggap perlu untuk menelurkan karya yang bermutu adanya.
Salam,
Solo, 2 Juli 2016
11:00 am
(Reblog dari Kompasiana disini)
0 Comments: