Tidak bus AKAP (Antar Kota Antar Propinsi) atau AKDP (Antar Kota Dalam Propinsi) serta bus Kota, fenomena balapan ini menjadi kelumrahan yang menakutkan. Lumrah karena ada anggapan kalau bis ngebut berarti ngejar setoran. Ada pula yang oke-oke saja karena cepat sampai tujuan. Namun, banyak pula yang deg-deg plas dengan gaya membalap para supir bus. Walau jumlah kecelakaan bis yang minim. Namun dari kemungkinan celaka pasti bisa diperhitungkan. Belum lagi bus-bus yang balapan lalu memakan korban. Apakah itu belum cukup bagi sopir dan kernet untuk bisa lebih hati-hati saat mengendarai bus beserta penumpangnya.
"Sopir kebut-kebutan. Dari Ciputat pertama di depan dulu, cuma pas kira-kira sampai Kampus UIN ada mobil bus kedua di belakang langsung menyalip, lalu disalip lagi. Saya takut, saya duduk di nomor dua dari depan, saya enggak mau liat ke depan. Saya cuma berdoa aja," kata Widiarti (51), seorang penumpang yang selamat kepada detikcom, Jumat (26/12/2014). (berita: detik.com)
Ngejar Setoran, Rebutan Poin, dan Adu Gengsi
Bus yang ngebut dan kadang sampai ugal-ugalan dikendalikan beberapa aspek. Yang pertama adalah mengjar setoran. Baik bus AKAP, AKDP, atau bus Kota tentu ditargetkan jumlah setoran yang harus di dapat satu hari. Baik oleh perusahaan otobus, maupun individual. Dan karena persaingan antar bus ketat, apalagi dengan jurusan atau trayek sama, kejar setoran pun harus sigap dan tangkas dilakukan. Tentunya, kejar setoran ini berimbas dari banyaknya poin atau penumpang yang naik dan turun. Semakin banyak, tentunya semakin targer setoran tercapai. Kalau penumpang jarang, bisa-bisa tombok kocek pribadi untuk bensin dan makan.
Belum lagi pungli liar dari para timer di jalan raya. Entah mereka oknum atau petugas resmi dari perusahaan otobus tertentu. Mereka biasanya akan memberi informasi pada tempat-tempat tertentu. Tempat yang biasanya penumpang menunggu. Dan ini bukan di terminal, seperti perempatan, lampu merah, atau landmark tertentu. Ditambah, orang semakin memilih kendaraan pribadi, baik roda dua atau roda empat. Kejar setoran dan rebutan poin menjadi fenomena maklum di jalan. Dan kadang berujung ugal-ugalan dan memakan korban.
Sering saya diceritakan bus AKAP Jogja-Solo yang berebut poin dengan bus AKAP Surabaya-Jogja. Kebetulan bus AKAP Surabaya-Jogja melintas via Solo. Sehingga, kadang penumpang lebih memilih bus ini daripada yang benar trayeknya, Jogja-Solo. Pernah ada kabar kalau supir dan kernet bus AKAP Surabaya-Jogja babak belur dijotosi supir dan kernet bus AKAP Jogja-Solo. Semua karena rebutan poin atau penumpang. Dan dasarnya semua karena demi kejar setoran.
Akhirnya, kini bus AKAP Surabaya-Jogja hanya menaikkan penumpang yang ke Jogja dari Terminal bus Tirtonadi saja. Mereka tidak mau ambil resiko menaikkan penumpang dari Solo menuju Jogja di jalan raya. Kadang paratimer atau orang-orang yang memberi kabar bus apa yang sudah lewat, memberi informasi. Mereka bisa tahu penumpang yang kadung (terlanjur, Jawa) naik bus AKAP dengan trayek yang bukan pada lajurnya.
Dan yang lebih aneh lagi adalah alasan gengsi antar bus. Gengsi ini terjadi kadang antar bus AKAP dengan trayek yang sama, atau bus Kota macam Metromini. Entah karena memang dendam atau karena sudah menjadi prinsip masing-masing kelompok supir bus, ada persaingan tidak tertulis antar mereka. Seperti pengalaman saya menaiki bus AKAP Solo-Semarang, namun busnya Patas AC.
Bus ini biasanya akan bersaing dengan bus AKAP Solo-Semarang yang bus Ekonomi atau non-AC. Bila sudah saling bertemu, mereka akan tancap gas dan saling mendahului. Supir bus dan kernet pun akan saling berseloroh mereka yang paling hebat jika bisa membalap satu bus. Lalu kadang, mereka saling membunyikan klakson sambil saling ejek. Kadan pula sampai hampir saling serempet atau menempuh lajur kiri yang tidak beraspal.
Diduga, kecelakaan ini, disebabkan aksi ugal-ugalan sopir bus yang melajukan kemudi bus dengan kecepatan di atas rata-rata. Selain itu, berjalan zig zag karena berusaha mendahului semua kendaraan di depannya.
Dalam kecelakaan maut di jalur tengkorak JL Raya Ngawi - Solo, dinyatakan seorang penumpang tewas dan belasan lainnya mengalami luka-luka dirawat di RSUD dr Soeroto dan RSU dr Widodo, Kabupaten Ngawi (3/5/2014).(berita: tribunnews.surabaya.com)
Ngebut Boleh, Tapi Tidak di Jalan Raya
Saya tidak ingin mengeneralisir semua supir bus mengemudi ugal-ugalan atau ngebut lalu celaka. Ada banyak pula faktor eksternal seperti pengendara lain yang lalai, infrastruktur jalan yang kurang baik, sampai usia bus yang uzur. Namun semua kemungkinan celaka akan lebih besar besar jika supir bus ugal-ugalan atau ngebut. Sebuah probabilitas yang mungkin tidak terlintas jika setoran, poin dan gengsi supir mengemuka. Dan saya fikir, semua supir bus faham akan resiko celaka jika mereka ngebut. Namun karena tekanan ekonomi dan komunitas bus, bisa saja semua resiko dianggap sepele.
Belum lagi jika supir atau kernet bus memiliki tanggungan di rumah. Baik anak atau istri di rumah pasti tidak ingin ayahnya pulang tinggal nama. Atau orangtua atau sanak kerabat, tentu tak ingin anak atau saudaranya pulang namun diantar dengan ambulan. Semua resiko negbut bisa berujung tragis jika faktor-faktor diatas mendukun celaka yang mungkin terjadi.
Belum lagi jika dalam celakanya, bus tadi juga memakan korban jiwa. Baik penumpang bus sendiri atau pengguna jalan lain. Betapa nantinya keluarga yang ditinggalkan membawa stigma sosial tersendiri. Selain menjadi korban atas kelakuan ngebutnya yang ugal-ugalan, juga ia telah menghilangkan nyawa. Nyawa orang yang tidak bersalah atau malah hanya kebetulan saja melintas dan mendapat celaka dari bus mautnya.
Jadi teringat ucapan rekan, "Orang kita itu jago ngebut di jalan raya. Tapi kalau di sirkuit kaya MotoGP pada kalah terus."
Salam,
Tangerang, 02 Januari 2015
10:46 am
(reblogged dari Kompasiana di sini)
0 Comments: