Friday, March 25, 2016

Komentar Terus, Kapan Nulisnya?

Adding Comment - ilustrasi: www.melhamada.com

Melanjutkan artikel saya, Membaca Terus Kapan Nulisnya. Tulisan ini kembali melongok diri saya pribadi. Entah kenapa, kalau sudah lama tidak menulis inginnya hanya menulis komentar. Sekadar nimbrung komentar pada artikel Kompasianer yang hot dan bergas, jadi sering saya lakukan. Seolah masih ingin eksis di Kompasiana, berkomentar pun saya lakukan. Beberapa Kompasianer yang kebetulan saya kenal, masih mau membalas komentar. Yang baru juga pun ada. Ada juga Kompasianer yang bertanya kemana saja. Antara sibuk dan sok sibuk, menulis disini jadi jarang dilakukan. Kalau saya hitung hampir 2 minggu berlalu tanpa 1 artikel yang dibuat.

Ada beberapa draft tulisan saya yang belum sempat di-publish. Entah mengapa, kadang setengah jalan terhenti menulisnya. Atau tiba-tiba ada urusan yang haru diprioritaskan. Ingin segera melanjutkan artikel untuk segera di-publish. Tapi ide serasa sudah luntur. Terasa pendaran inspirasi dulu ketika menggebu menulisnya meredup. Karena meredup, akhirnya ide yang masih terang saya coba tulis saja. Ya serupa tulisan sederhana ini. Mau mencoba memahami, kenapa saya lebih senang berkomentar daripada menulis artikel sendiri.

Alasan pertama, mungkin mengisi waktu di Kompasiana. Daripada menjadi silent reader, mungkin numpang komentar bisa melepas penat. Apalagi ada artikel kawan Kompasianer yang aduhai indahnya, jari rasanya ingin mengapresiasi dengan vote dan komentar. Lalu, lama kelamaan jadi asyik sendiri menebar komentar. Yang tadinya ada ide menulis, mulai meredup sendiri. Dalam hati beralasan, idenya ditulis nanti saja. Yang kadang, nanti itu berarti tidak sama sekali.

Alasan kedua, menjaga tali perkawanan di Kompasiana. Saya yakin, komentar yang dibuat lebih dari sekadar apresiasi. Ada makna persahabatan disana. Juga bukan asal cuap-cuap artikel teman Kompasianer lain. Ada ikatan 'keluarga Kompasianer' dibalik setiap komentar. Kadang juga banyak terselip doa dalam komentar. Juga, dalam komentar akan pula dapat merangkul teman baru di Kompasiana. Entah dia mem-follow atau kita follow, aktivitas Kompasianer tersebut akan terlihat dinamikanya. Dari komentar sederhana di dunia maya, ada rasa ingin jumpa nantinya di dunia maya.

Alasan ketiga berkomentar mengafirmasi keinginan untuk menulis. Ya seperti tulisan ketebelece saya ini. Karena beberapa hari ini di Kompasiana hanya numpang komentar. Akhirnya ingin menulis kenapa saya lebih suka komentar. Akun saya bukan akun tuyul, siluman atau bayaran yang cuma tabrak komen lalu kabur. Yang pastinya, akun-akun seperti ini memiliki niat yang kurang baik. Buat saya berkomentar harus hati-hati. Dibalik artikel dan pesannya, ada hati dan perasaan si penulis yang harus dijaga. Dan baiknya menjadi bijak dalam berkomentar. Walau beromentar di dunia maya, kadang rasa yang muncul terbawa ke dunia nyata. (Lihat artikel saya: Ctrl+W atau Submit, Be Wise)

Mungkin alasan Kompasianer lain disini berbeda-beda menyoal kenapa terus berkomentar. Mungkin karena ada yang sedang dalam perjalanan. Sehingga hanya dengan HP dan bukan laptop mengunjungi Kompasiana. Ada juga yang memang sedang 'berpuasa' menulis demi mendapat tulisan yang bermutu. Atau, memang memilih jalan sunyi untuk sekadar berkomentar di Kompasiana. Apapun alasan itu, berkomentar tidak menjadikan Kompasianer makna Kompasianis.

Salam,

Solo, 25 Maret 2016

11:18 am
(Reblog dari Kompasiana disini)

Author:

0 Comments: