Friday, April 20, 2018

Siapkan Anak Kita Per(ang)gi ke Sekolah

Snapshot Pemukulan Siswa SMP oleh guru - foto: jabar.tribunnews.com
Baru-baru ini, viralnya seorang guru memukuli seorang siswa SMP membuat kita terenyuh. Walau tempat kejadiannya masih diusut, namun kesan yang timbul mengerikan. Tidak semengerikan saat saya menonton tinju bahkan MMA yang sedang digandrungi. Namun begitu dahsyat (raw) dari 36 detik video tadi membuat saya sebagai orang tua prihatin sekaligus takut.
[EDIT] Kabar berita terbaru, bahwa pelaku pemukulan adalah sesama siswa di sebuah SMK di Pontianak. Namun, ada pula kabar yang mengungkap pemukulan ini dilakukan oleh orangtua yang tidak terima anaknya dilecehkan secara seksual. (Berita disini)
Alih-alih mengantar pergi anak saya sekolah nanti. Saya akan mengantarkan mereka perang. Apa sih yang tidak ada di sekolah dan lingkungannya?
Mulai dari kasus perundungan, asusila, penculikan, gedung roboh, sampai peristiwa keracunan atau peristiwa kesurupan ada di sekolah. Seolah sekolah adalah panggung dari pahitnya realitas hidup. Saat anak sewajarnya mendapat pendidikan laik dan mumpumi, yang terjadi kadang tidak demikian. Ada rasa was-was, syak wasangka, bahkan ketakutan saat anak pergi ke sekolah.
Saya pun yakin tidak semua sekolah atau tingkat sekolah mengalami isu tersebut. Namun apa yang terjadi dan terulang juga diberitakan memang tidak sepositif apa yang dilihat dan dirasa. Semua peristiwa ini seolah menyiratkan beberapa hal darurat dalam pendidikan di Indonesia secara menyeluruh.
Pertama, sekolah seakan memagut faham ono rupo ono rego. Sekolah apa yang paling aman, tenteram, dan membuat anak kita punya daya saing? Ya tentu sekolah swasta mahal. Sekolah yang dijaga kualitas dan kuantitasnya pada domain seberapa besar SPP dan uang gedung yang dibayarkan. Mulai dari fasilitas, staf sekolah, guru sampai sekuriti dijamin kehandalannya. Anak kita akan dijaga dan dibuat pintar sesuai apa yang diimpikan orang tua.
Jatuhnya, orang miskin dan tidak mampu memilih anaknya bersekolah di "pokoknya sekolah'" Sekolah yang gurunya saja digaji sepertiga dari UMP Jakarta. Sarana dan prasarana menyesuaikan setoran bulanan dan uang gedung. Orang tua tidak bermimpi banyak anaknya bisa menggantikan BJ Habibi nanti. Setidaknya ia tidak nganggur di rumah dan digosipi tetangga menyoal anaknya yang putus sekolah.
Kedua, pemegang otoritas sudah waktunya memijakkan sistem pada satu fundamen pendidikan nasional. Terlepas dari sistemnya yang gonta-ganti sesuai titah menteri, cukup sistem tunggal dengan penyempurnaan seiring waktu. Usah lagi mencari duit cipratan proyek kurikulum dengan sebutan yang begitu eksostis, namun hasilnya nol. Bahkan saat hasil belum muncul, sudah dibredel dengan sistem baru.
Kekacauan sistem yang mempengaruhi profesi guru, ranah pedagogis, dan cakupan administratif pun terjadi. Dampaknya pun pada siswa, sekolah dan kualitas generasi yang tercipta. Inilah hasil generasi uji coba Sisdiknas yang kadang hanya sekadar mengikuti ego rezim dan tren global. Sistem yang kadang lupa di mana ia berpijak selama lebih dari 70 tahun kita merdeka. Uji trial and error Sisdiknas kini sudah terlalu banyak error-nya daripada goodness-nya.
Saya kira pun tak sedikit cendekia dan praktisi pendidikan negeri ini. Mereka bisa urun rembug untuk menyusun Sisdiknas tunggal dan visioner yang tidak lekang oleh zaman. Sistem yang tidak jauh berbeda 30 sampai 50 tahun lagi. Sistem dinamis namun fundamental yang didasarkan falsafah hidup dalam kebhinnekaan.
Ketiga, kasus-kasus "mengerikan" di atas mungkin urung dihapuskan menyeluruh. Namun mencegahnya berulang di lain tempat dan waktu kiranya bisa diusahakan. Urgensi pengawasan dan pemberdayaan pihak terkait di sekolah dan dinas sudah tinggi. Sedang seolah pemegang otoritas hanya bertindak saat terjadi dan terliput media. Tindakan preventif dinafikan, sedang tindakan kuratif tak jua menyembuhkan penyakit ini.
Jika kasus-kasus di atas terus terulang dan menjadi ritual kuratif belaka, orang tua mana yang tidak khawatir? Anak saya dan Anda mau jadi apa nanti di sekolah? Sekolah seolah penjara kecil bagi anak. Ia mengurung anak setengah hari. Ada hukuman verbal dan fisik, baik dari guru/teman. Ada makanan yang bernarkoba/beracun pun ditawarkan. Belum lagi ditambah tawuran antar siswa/sekolah. 
Anak kita seakan diciptakan untuk menghadapi kerasnya (bahkan kejamnya) hidup di sekolah. Anak kita diberikan sedikit bahkan tidak sama sekali nilai, norma, dan pengetahuan. Entitas-entitas pengembang dan penguat karakter dan ilmu untuk masa depan mereka menjadi kian nihil. Bekali saja anak kita dengan bela diri dan latihan fisik agar kuat berkelahi. Latih mereka bermuka tembok dan acuh pada cemoohan. Sehingga tidak timbul empati dan simpati dari mereka agar tidak dibodohi dan dimanfaatkan orang lain di sekolah.
Mungkin artikel ini terkesan fatalistik dan mengeneralisasi. Namun apa yang terjadi di sekolah dan sistem pendidikan kita beginilah adanya. Saat banyak yang berwacana memperbaiki semua, tarafnya tidak sampai aktualisasi. Terlalu akut sudah penyakit dalam pendidikan kita. Dan saya kira, tidak cuma saya sebagai orang tua khawatir akan apa yang terjadi. Bagi para pendidik, praktisi, dan cendekia ranah edukasi, hal ini menyiratkan gercep pembenahan holistik.
Salam,
Solo, 20 April 2018

10:39 pm
Reblog dari Kompasiana di sini

Author:

0 Comments: