(Wanderlust - ilustrasi: slideshare.net) |
Siapa sih yang tidak ingin piknik. Sebuah
aktifitas leisure time yang selalu didamba tiap akhir pekan, waktu liburan
panjang sekolah, atau hari-hari libur plus kejepit. Bersama keluarga, teman,
kekasih bahkan sendiri, piknik menjadi kenikmatan relatif untuk setiap kita.
Pilih objek wisata alam, kuliner, budaya atau sejarah di seluruh pelosok
Indonesia bisa dilakukan. Atau bagi yang berduit banyak atau model pengalaman
backpacker, keluar negri oke juga. Namun, karena pemerintah gencar-gencarnya
memamerkan slogan 'Pesona Indonesia'. Dan dunia pun mengakui Indonesia memiliki
rangkaian objek wisata eksotis. Baik yang sudah terpromosikan maupun belum.
Dan istilah 'Kurang Piknik' pun selalu menjadi
pemandangan sehari-hari. Baik di sosial media atau sekadar obrolan ringan,
nampaknya kita semua dihinggapi dengan cepat epidemi stress. Karena orang malas
kerja, atau mahasiswa yang ogah-ogahan kuliah dicap sebagai mereka yang kurang
piknik. Rasa tidak betah dan ingin segera mencari hideways untuk sejenak
melepas penat menjadi 'epidemi'. Yang kadang penyakit ini malah membuat bekerja
atau belajar tidak bergairah. Alih-alih menyelesaikan semua pekerjaan. hati, fikiran
dan raga kadang sudah merasa di tempat tujuan.
Wanderlust, Mungkin
Menjangkit
Adalah sebuah keniscayaaan modern, dimana
orang harus bekerja dibawah naungan korporasi. Bekerja dan terus bekerja
atas nama kesejahteraan pribadi adalah jargon muluk para korporat dengungkan.
Bahkan ada axioma nyleneh buat para pekerja bahwa: "Semakin kita bekerja
keras, semakin kaya para konglomerat". Alih-alih pekerja bisa menikmati
waktu luang, lembur untuk uang menjadi iming-iming. Lalu pekerja pun merasa
jika tambah uang, maka tambah lama dan menyenangkan waktu piknik nanti. Dengan
angan berjuta akan keindahan tempat wisata dan suasanya yang tenang
menyenangkan. Bisa saja, Anda terjangkit wanderlust.
What do suppose will
satisfy the soul, except to walk free and own no superior. (Park E. Robert 2012)
Seolah piknik adalah penenang jiwa-jiwa yang gusar
dan lelah, memikirkannya sudah menjadi ekstasi tersendiri. Ini adalah
sebuah wanderlust. Wanderlust, yang bisa difahami sebagai keinginan
atau angan-angan untuk bepergian. Seperti seorang yang bebas dari perintah dan
pekerjaan, piknik adalah konteks yang sesuai untuk manusia modern. Walau Park
sendiri mengacu wanderlust untuk the Hobo atau para Bohemian yang
cenderung hidup menggelandang dan bebas. Namun esensi kebebasan tersirat
mencerminkan psikologis wanderlust. Walau Park sendiri dengan tegas merasa
wanderlust bertentang sekali nilai status dan perusahaan. Sederhananya,
wanderlust adalah penyakit sosial.
Dalam hal ini, berandai-andai yang berlebihan
bisa menghambat produktifitas. Kejenuhan dan impuls untuk bisa lari dari
rutinitas kehidupan sehar-hari seperti kebanyakan orang, adalah awal dari wanderlust.
Orang akan mencoba perubahan atas nama perubahan itu sendiri. Lalu menjadi
kebiasaan yang menjadi candu yang kemudian bergerak dalam lingkaran setan.
Semakin ia ingin terus lari dari kenyataan, semakin ia harus melakukannya.
Sehingga, ia mengorbankan hubungan sosial dan korporasi demi mengejar romatisme
kebebasan individu. (Park: 2012)
(Catarsis - ilustrasi: revistasexcelencias.com) |
Dalam kajian psikologi,
jiwa-jiwa wanderlust bisa
masuk ke dalam karakter Tipe Subliminal. Dalam karakter Tipe Subliminal,
pelepasan ego memang dapat dilepaskan (channel) dengan baik. Namun tetap, pada
tipe ini wanderlust memunculkan konflik antara keinginan instingtif dan sistem
ego. Jika konflik sudah wanderlust 'akut',
maka karakter akan masuk ke dalam karakter Tipe Reaktif. Dan secara spesifik
jatuh ke sub-tipe reaction-formation.
Dimana
karakter reaction-formations ini akan menunjukkan kamuflase keinginan mendalam
dengan cara melebih-lebihkan perilaku dan counter-cathexis (catarsis penahan
energi mental). Seseorang akan terus bekerja demi rencana piknik yang lebih
menyenangkan saat liburan nanti misalnya. Ia menyimpan keinginan namun dengan
ketat ia tutupi keinginan itu dengan terus bekerja. Dengan terus menyibukkan
diri, maka keinginan untuk segera piknik bisa hilang. Walau, keinginan itu
menghantuinya selalu. Pada titik tertentu, bahkan wanderlust ini bisa masuk
kategori gangguan bipolar. (Gerson: 1993)
Jadi
wanderlust adalah penyakit? Walau belum ada parameter pasti mengukur hal ini,
tapi kondisi berangan-angan ingin piknik terlalu sering juga tidak baik.
Karena dalam dimensi kasuistik wanderlust mungkin tersingkap pada surface saja.
Namun jika kita amati disekitar kita, bisa saja hal ini terjadi. Apalagi mereka
yang selalu memposting soal 'Kurang Piknik' sedang mereka selalu sibuk dibalik
meja. Atau mereka yang mengeluh untuk segera berwisata kepad teman dan
keluarga, namun belum menyempatkan diri saat sempat. Kita patut waspada.
Referensi: Gerson
1993 | Park
E. 2012 | Wikipedia.org
Salam,
Solo, 22 Februari 2016
01: 42 pm
(reblog dari Kompasiana disini)
0 Comments: