(Sexism - ilustrasi: blogs.bath.ac.uk) |
Banyak orang, bahkan saya
sendiri, mungkin aneh membaca judul 'Harta,
Tahta dan Perempuan'. Kebanyakan dari kita akan langsung
menyandingkan kata 'Wanita' setelah 'Harta dan Tahta'. Karena toh sudah menjadi
konvensi bersama dan demi keserasian rima ' a-a-a' maka 'Wanita' tepat dirasa.
Sebuah konsensus yang secara tidak sadar menjadi peng-iyaan bersama untuk
istilah tersebut. Atau demi estetika rima, kata 'Wanita' akan lebih klop. Namun
tidak dengan kata 'Perempuan'. Yang secara konsensus tidak umum dan secara
ritmik mengganggu estetika rima.
Lalu apa
salah dengan kata 'Wanita' atau 'Perempuan'? Mungkin itu yang akan coba Anda
pertanyakan? Tidak ada yang salah, secara rima dalam kata 'wanita'. Namun yang
coba saya garis bawahi adalah betapa sebuah konvensi kata 'wanita' atau
'perempuan' itu sudah wajar. Bahkan Anda yang kebetulan perempuan, membaca dan
memahami kata 'wanita' sebagai salah satu kata ganti adalah wajar demikian.
Namun sadarkah kita, jika kita sudah tidak dengan sengaja mengaplikasikan
pemahaman sexist?
Wanita
atau dalam etimologi Jawa berasal dari kereta-basa 'wanita = wani ditoto' (berani
ditata). Mensimbolisasikan wanita sebagai 'subornasi' dari sesuatu yang
menatanya. Dengan kata lain, kaum pria adalah yang menata. Dalam budaya
partriarki, hal ini diangap innate atau
dari sananya. Atau secara morfologis, kata 'wanita' sendiri tersirat kepriaan
di dalamnya. Jika mengacu akhiran pada kata 'dermawan dan dermawati' maka imbuhan -wan mengacu pria.
Maka tamsilannya, kata 'wanita' terdiri atas kata wan-ita. Dalam hal ini, acuan
pria tetap ada. Hal ini juga terjadi di bahasa Inggris dalam mengacu kata
ganti she.
Dimana kata she tetap
memiliki unsur maskulin s-he.
Atau kata lain seperti female (femme-male), woman (wyf-man/wife-man) adalah beberapa
contoh lain.
Bahasa Sexist, Tersirat dan Tersurat
Kajian
metaforis kata 'she'
dalam bahasa Inggris telah memicu kontroversi demikian panjang. Sehingga
muncullah gerakan anti-sexist yang
mencoba mencerabut dominasi pria dalam bahasa. Mungkin sampai ada yang
mewacanakan menggati kata 'history' sebab ada possesesive pronoun (kata ganti
kepunyaan) his- dalam history. Wacana yang
kemudian didukung pergerakan femisme tahun 1970-an di Amerika. Dan sampai
sekarang ekuilubrium yang coba dicari penganut feminis terus dibenturkan dengan
kultur partriarkal.
As we saw
in discussing seminal, metaphorical etymologies that are no longer
transparent -- metaphors that are not only dead but also obscured by
changes in form -- can be interesting evidence of past attitudes but
generally do not have a lot to do with the significance of current uses.
But transparent metaphors, even if dead and not revivified in some way,
can indeed still reinforce the kinds of conceptual connections that
motivated their initial uses. (Ecker &
McConnell-Ginet: 2003)
Dalam
membahas etimologi seminal,
atau metafora yang tidak lagi terlihat, menjadi bukti masa lampau yang tidak
begitu berpengaruh saat ini. Namun metafora transparan, bahkan jika sudah tidak
ada atau dikembalikan, tetap memiliki kaitan konseptual yang lalu mendorong
penggunaan awal.
Mari kita
kembali dalam konteks 'wanita' dan 'perempuan' diatas. Kedua kata ini
memiliki 'kasta' dalam bahasa Melayu. Kata wanita lebih tinggi daripada
perempuan. Karena merunut pemahaman 'perempuan' menurut KBBI adalah
1) orang (manusia) yg mempunyai puki,
dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui. Karena puki sendiri
mengacu kepada organ genital wanita. Dan mungkin dalam beberapa bahasa daerah
di Indonesia, kata ini sudah cukup deregatoris. Sedang 'wanita' sendiri adalah
salin-suara dari wani
ditoto dalam bahasa Jawa.
Sehingga,
'perempuan' sendiri memiliki metafora seminal yang mungkin bagi banyak orang
tidak menyadari arti implisit. Dan kaitannya dengan istilah konsensus pun
dianggap netral. Atau setidaknya baik-baik saja. Sedang metofora transparan
dalam kata 'wanita' sendiri menimbulkan pemahaman yang jika sudah bisa difahami
secara literal morfologis, terlihat maknanya. Dan bisa saja, tingkat 'kasta'
yang terjadi bisa sebaliknya. Perempuan lebih tinggi dibanding wanita.
Sehingga
istilah wanita dan perempuan pun dicopot pasang dalam bidang pemerintahan. Pada
tahun 1987 sampai 1999 ada Mentri Peranan Wanita untuk kemudian diganti Mentri
Pemberdayaan Perempuan pada 2001. Untuk kemudian diganti kembali menjadi Mentri
Pemberdayaan Wanita tahun 2004. Lalu pada 2009 dicopot kembali kata 'Wanita'
untuk diganti 'Perempuan'. Sedang saat ini, Kementrian ini juga merangkul
Perlindungan Anak selain Pemberdayaan Perempuan.
Lalu Mau Pilih Mana, Wanita atau Perempuan?
Benturan
maskulinitas dan budaya yang terus diwariskan menjadi salah satu
'serba-salahnya' kita sebagai penutur. Baik kata 'wanita' dan 'perempuan'
sendiri memposisikan wanita sebagai subordinat dan objek. Dalam kata 'wanita'
wanita adalah objek semata yang patut ditata oleh pasangannya. Dengan kata
lain, wanita harus mau dan siap untuk ditata sedemikian rupa, berdasar
pasangannya. Lalu, dalam kata 'perempuan' sendiri terdapat istilah yang
deregatoris. Kata 'perempuan' mengacu pada siapa saja yang secara seksual
memiliki vagina. Sehingga hal ini menimbulkan segregasi secara fisik dan
seksualitas. Terlepas dengan gender atau peran dalam masyarakat. Mereka yang
memiliki vagina pada akhirnya akan tetap menjadi objek 3M, Macak, Masak Manak (berdandan,
memasak dan beranak).
Baik
'wanita' maupun 'perempuan' dalam etimologi bahasa tetap tidak bisa digantikan.
Agak aneh jika coba saya ciptakan istilah gender-neutral seperti misalnya nerian. Kata yang
tidak sama sekali ada kaitan kultur atau berbau maskulinitas. Bahkan kata ini
pun tanpa arti etimologis. Tau ada kata ganti untuk wanita yaitu gadis
dalam bahasa Indonesia. Yang saya kira kesan metaforis gadis
menjadi peyoratif. Atau terjadi penyempitan makna hanya pada mereka yang
belum menikah. Oleh sebab itu anak SMA bisa disebut gadis.
Untuk
saat ini, karena mengacu pada pemerintah maka kata 'perempuan' lebih 'klik'.
Sehingga dalam hal ini, kata 'wanita' berada dibawah 'kasta' daripada perempuan.
Dan kembali pada istilah 'Harta, Tahta, dan Wanita' yang dulu kita fahami untuk
sebaiknya diganti. Dalam hal ini menjadi 'Harta, Tahta, dan Perempuan'.
Terlepas dari konvensi atau rima yang kurang enak didengar.
Referensi: Ecker
& McConnell-Ginet. 2003. Language and Gender. Cambridge University Press. | kbbi.web.id | siperubahan.com | wikipedia.org.id
Salam,
Solo, 23 Februari 2016
11:00 am
(reblog dari Kompasiana disini)
0 Comments: