Tuesday, June 28, 2016

Gerakan Semesta Pendidikan ala Indonesia, Kembali ke Pancasila


SD-SMP-SMA - foto: duniadosen.com
SD-SMP-SMA - foto: duniadosen.com

Jika menelisik kata semesta, maka tak lepas dari manusia, alam dan sistem yang berada di dalamnya. Ketika semua komponen verjalan dan berpadu dengan sinkron, tak ayal harmonisasi terjadi. Begitupun jika mengaitkan konsep pendidikan dengan semesta. Karena konteks semseta kta berada di Indonesia, maka manusia, alam dan sistem mengacu ke-Indonesiaan kita. Konsep yang sejatinya telah lama dicetuskan forefathers NKRI. Konsep dan falsafah dasar bangsa, yaitu Pancasila. Namun sepertinya semesta pendidikan Indonesia lupa akan hal ini.

Indonesia sebagai negara multi-agama, multikultur dan multietnis, tak pelak mesti menjadikan Pancasila tuntunan berbangsa. Karena sifat sauvinisme pada satu agama, kultur dan etnis tertentu sering menimbulkan gejolak. Terutama dalam hal pendidikan. Sayangnya, hal ini yang mungkin belum bisa ditangkap oleh sistem pendidikan di Indonesia. Ke-Indonesiaan kita lupakan. Referensi asaing dalam menyusung perangkat pendidikan seperti kurikulum malah menjadi patokan.

Disharmoni dalam Semesta Pendidikan itu Nyata

Semesta pendidikan Indonesia adalah semesta yang unik dan berdiri sendiri. Para pencetus merdekanya negara ini memberi visi dan misi mereka untuk Indonesia sekarang dan di masa depan berupa Pancasila. Sayangnya, Pancasila dalam Sisdknas sepertinya hanya menjadi formalitas dalam UU No. 20 tahun 2003. Serupa undang-undang yang dibuat pada umumnya. Namun secara praktikal, Pancasila belum bisa menjadi pegangan dalam Sisdiknas.

Contohnya saja, dalam pasal 1 ayat 2 ditulis "Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman." Dalam frasa .. dan tanggap terhadap tuntutan perubahan jaman. Era informasi-teknologi saat ini, jika dikaitkan dengan pasal ini maka tidak relevan.

Pemerataan pendidikan yang lebih cenderung ke bagian Barat, membuat pasal 1 ayat 2 menjadi tidak relevan. Apalagi jika jaman sekarang menuntut peserta didik dan tenaga pendidik melek IT. Tak ayal, semua hal yang dituntut oleh jaman menjadikan sistem pendidikan disharmoni. Saat di pulau Jawa banyak sekolah yang sudah bisa melakukan UN secara online, banyak daerah lain harus gigit jari. Mungkin baru saat Mendikbud berganti, mereka baru mendapat perangkat komputer di sekolah.

Pendidikan kita yang dituntut oleh jaman menjadikannya lupa akan 'kulitnya'. Pancasila yang digadang menjadi fondasi kemudian malah menjadi fromalitas belaka. Apakah peserta didik harus bisa memakai komputer dulu atau faham dirinya adalah orang Indonesia. Idealnya memang meng-Indonesiakan orang  Indonesia dalam sistem pendidikan. Faktanya, peserta didik diminta melek teknologi dan wajib bisa bahasa asing dulu. Proporsi menjadikan peserta didik sesuai tuntutan jaman lebih banyak daripada meng-Indonesia-kan mereka.

Semesta pendidikan pun tak lepas dari manusia yang beraktifitas di dalamnya. Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu." Dan kata 'bermutu' jika disandingkan pada realitasnya maka menjadi relativitas kedaerahan. Bagi anak yang bersekolah di pelosok, memiliki sekolah bertembok sudah disebut bermutu. Lain halnya siswa yang bersekolah di pusat kota pastinya. Semesta pendidikan yang tercipta bersifat parsial dan menyebar. Sifatnya pun relatif jika disanding dengan mindset kata 'bermutu'.

Chaos - ilustrasi: openforum.com
Chaos - ilustrasi: openforum.com

Belum lagi tenaga pendidik yang menghuni semesta pendidikan. Dalam pasal 1 ayat 5 tertera "Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan." Disini terjadi anomali idealitas. Karena jika disebut 'tenaga', maka tenaga yang keluar perlu diapresiasi. Faktanya, banyak tenaga kependidikan belum merasakan jerih payah mereka layak. Tidak heran jika keadilan pada mereka yang belum diangkat dan diberi fungsi honorer pun berteriak untuk bisa diangkat. Karena honorer dianggap mengabdi, maka mindset otoritas pendidikan mungkin terdistorsi. Karena mendidik menjadi mau mereka. Semau pemangkmu kepentingan pula mereka dibayar. Karena toh mereka mengabdi. 

Disharmoni pun terjadi. Karena peserta didik mengalami ketimpangan mutu. Ditambah tenaga pendidik yang selalu memikirkan kesejahteraan hidupnya. Mendidik dengan falsafah Pancasila pun terlupakan. Semesta pendidikan riuh akan perbaikan sarpras sekolah dan tuntutan upah. Yang tertulis dalam UU Sisdiknas begitu relatif, bahkan multi-tafsir, membuat semesta pendidikan tumbuh melambat. Tuntutan jaman coba terus diikuti. Namun membawa masalah disharmoni yang kian pelik.

Dampaknya, sistem semesta pun aus dan mudah usang. Saat terjadi tuntutan jaman yang kian berat. Ketimpangan mutu sekolah dan tenaga pendidik yang terus nelangsa dengan gajinya, sistem pun terseok. Sebaik dan sebagus apapun sistemnya akan berjalan terseok. Gonta-ganti komponen agar rusak yang terjadi bisa teratasi dibuat insidentil. Tidak heran jika berganti mentri berarti berganti kurikulum. Karena dalam pasal 1 ayat 3 diterangkan "Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional." 

Jika satu komponen seperti kurikulum di-update (baca: diganti), tak ayal harmonisasi sistem terganggu. Maka komponen pendidikan lain yang terkait dan terpadu pun harus menyesuaikan komponen yang diganti. Saat peserta didik masih meraba buku pelajaran dengan kurikulum baru dan guru masih sibuk mengurus adiminstrasi kepegawaiannya, kurikulum baru pun masuk. Semesta dimana manusia dan sistem berpadu terusik. Tak ayal, semesta pendidikan bak di-reboot. Semua demi kepentingan tuntutan jaman.

Padahal tuntutan dasar yang paling dasar menjadikan manusia Indonesia sebagai bangsa Indonesia kian dilupakan.

Saatnya Kembali ke Dasar Negara untuk Semesta Pendidikan

Semesta pendidikan Indonesia seharusnya kembali ke 'trahnya'. Tidak perlu menekankan tuntutan jaman agar manusia Indonesia bisa bersaing. Saat identitas sejati mereka di dunia kian tergerus. Peserta didik malah makin bangga dengan mindset ke-Barat-baratan daripada menjadi Indonesia. Yang terjadi saat pemenuhan IT tanpa didampingi ideologi dasar yang kuat adalah individu dunia maya sesungguhnya. Individu yang tanpa batas negara, agama, kultur dan etnis. Andai mereka bisa menjadi individu yang bercorak Indonesia, mereka akan bisa berbudaya di dunia maya.

Perlu dibaca dan difahami ulang penjabaran Pancasila dan UUD 1945 untuk menjadi semestanya pendidikan Indonesia. Sudah banyak yang mengkritisi pemikiran amtenar pendidikan di atas sana. Mereka semua cendekia yang tidak terbatas ilmu dan kemanfaatannya. Namun sepertinya sudah lupa akan hal yang esensi, yaitu meng-Indonesiakan orang Indonesia. Karena toh anak SMP/SMA lebih takut nilai ujian bahasa Inggrisnya jeblok daripada nilai PkN yang biasa saja. Adakah usul konkrit menjadikan Pendidikan Kewarganegaraan (PkN) menjadi salah satu mapel dalam UN?

Konsep pendidikan sebagai gerakan semesta harus ditarik dari falsafah Pancasila. Falsafah hidup yang mempersatukan bangsa Indonesia. Keunikan dan kekhasan tiap kultur dan etnis menjadi patokannya. Semua ditautkan dengan konsep keagaamaan dan kearifan lokal. Sanggup dan mampu kiranya para amtenar dan cendekia bangsa ini menyusun gerakan semesta pendidikan berdasarkan Pancasila. Ditambah doktor dan peneliti yang sudah sekolah dan malang melintang di dunia pendidikan dalam dan luar negri.

Pelajar Lepas Balon - foto: tribunnews.com
Pelajar Lepas Balon - foto: tribunnews.com

Bandingkan, pelajari, adaptasi dan bumikan pendidikan dalam semesta Pancasila. Tidak usah lagi banyak copas pendidikan negara lain yang memang cocok untuk negara mereka sendiri. Menjadikan pendidikan Indonesia serupa Finlandia menjadi kenisbian yang relatif. Yang secara kontemporer dan visioner yang harusnya menjadi patokan kita sebagai bangsa penggerak gerakan ini adalah Pancasila, bukan yang lain. Tak sulit jika manusia, sistem dan alam dalam semseta pendidikan saling berpadu dan berfokus demi kebaikan bersama.

Di tanggal 2 Mei kemarin kita sudah memperingati Hardiknas. Dan bulan Mei ini menjadi Bulan Pendidikan Kebudayaan Nasional. Dan dalam momen 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, mari bersama mencoba merefleksi bentuk semesta pendidikan kita. Sudah saatnya slogan Revolusi Mental yang didengungkan pemerintah kita dijadikan pendorong memaknai Pendidikan Sebagai Gerakan Semesta. Kemendikbud beserta jajarannya harus mulai berbenah menjelang 2 tahun kepemimpinannya.

Belum banyak yang kita rasakan dalam semesta pendidikan yang berubah. Usah lagi perbanyak memenuhi tuntutan dunia dengan era yang berubah. Pendidikan sebagai pondasi kesinambungan bangsa sebaiknya harus kokoh. Kembali ke dasar negara sebagai pendorong semesta yang membangun menjadi jalan keluarnya. Pancasila berserta UUD 1945 sudah menggariskan hal ini. Visi pendiri bangsa sudah cukup jelas. Keragaman tidak semena-mena dikungkung dalam semesta pendidikan dari negara asing. Karena kita sudah punya dasarnya sejak dahulu.

Sudah saatnya manusia, sistem dan alam dalam semesta pendidikan negara untuk bangkit. Karena kita tahu kita bangsa kuat dan hebat.

Salam,

Solo, 28 Juni 2016

02:00 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)

Author:

0 Comments: