Saturday, March 26, 2016

Hilangkan Stigma Kaum Pendatang

(ilustrasi: payload19.cargocollective.com

Sebuah fenomena tahunan seusai Lebaran, ‘serbuan’ orang kampong terjadi di kota-kota besar. Mungkin diksi ‘kampung’ terlalu kasar bagi sebagian orang. Eufemismenya pun dibuat menjadi ‘kaum pendatang‘ atau ‘kaum urban’. Toh esensinya sama saja. Secara tidak sadar pun, kalau sudah sampai kota besar dan tinggal di Jakarta, embel-embel orang kampung beringsut  hilang. Nada bicara dan logat kampung pun hilang. Dahulu bilang aku dan kamu. Kalau sudah di Jakarta diganti dengan lho dan gue.

Tidak, tidak ada yang salah dengan kaum pendatang atau gaya kekotaannya nanti. Tidak pula ada larangan mereka yang mencari penghidupan layak di kota besar demi masa depan. Orangtua saya pun pendatang pada era awal 90-an. Dan pada akhirnya menetap di kota satelit sekitaran Jakarta. Hidup pun berubah sejak itu.
Hidup di desa kecil seperti di Jateng mungkin menggambarkan dystopia dari tahun ke tahun. Di desa paling hanya macul sawah dan ngangon kambing. Di kota lebih enak. Bisa kerja di pabrik atau di kantor. Setidaknya mencoba peruntungan untuk sekadar mencari pengalaman. Kalau gagal, bisa kembali pulang ke desa. Itu pula yang menggelayuti fikiran orangtua saya.

Yang menjadikan axioma ‘sapa suruh datang Jakarta’ adalah naifnya orang kota menyikapi para pendatang. Saya heran saja, banyak talkshow yang memandang fenomena ini sebagai ‘aib’. Seolah dalam tiap fikir orang-orang kota tertera ‘Ngapain sih orang-orang kampung datang ke Jakarta? Udah sumpek disini’ Tanpa bercermin siapa diri mereka sendiri.

Naifnya Mereka ‘Orang Kota’

Ada seorang reporter melaporkan peningkatan jumlah orang di arus balik di sebuah stasiun kereta di Jakarta. Lalu menyimpulkan sepertinya ada tambahan kaum pendatang. Walau di layar TV jelas terpampang ada marga di akhir nama si reporter. Marga yang menandakan asal atau etnik si reporter dari sebuah daerah di Sumatra. Entah ada fikiran naïf atau tidak, ia melaporkan seolah ‘serbuan’ ini umum dan menjadi jargon ‘bad news is good news’ dalam sebuah berita.

Lalu ditayangkan pula talkshow menyoal ‘penanganan’ serbuan orang kampung ke Jakarta. Dengan gegap gempita, seorang pejabat dengan nama khas Jateng pun menjabarkan langkah-langkah pencegahan. Mulai dari operasi yustisi sampai pemulangan akan dilakukan. Entah si pejabat ini sadar atau tidak, embel nama khas Jateng yang ia sungging di nama lengkapnya mencerminkan ia adalah pendatang juga.

Baik si reporter atau pejabat ini, seolah merasa dirinya sudah menjadi orang Jakarta seutuhnya. Sedang mereka lupa, orangtua atau bahkan dirinya sendiri juga dahulu adalah pendatang. Wajar jika secara nalar sederhana, yang melarang atau mencegah kaum urban ini adalah penduduk asli Jakarta, atau orang Betawi. Namun sayang, bahkah Gubernur dan Wagub DKI Jakarta sendiri berasal dari luar daerah Jakarta.

Mungkin bagi sebagian orang  Jakarta, kaum pendatang adalah parasit. Mereka datang, menambah padatnya Jakarta. Atau mungkin juga menambah angka kriminalitas. Jika mereka datang tidak dengan skill dan ijazah dari desa mereka yang mumpuni. Ah, tanpa sadar juga mereka atau kakek nenek mereka yang juga pendatang, datang dengan apa adanya.

foto: bisnis.com

Hilangkan Stigma Kaum Pendatang

Lalu pertanyaan pun menggelayut. Apakah Jakarta masih bisa dianggap tujuan kaum pendatang? Saat kebanyakan isi penduduk Jakarta sendiri adalah pendatang. Lihat saja ketika mudik, lengangnya Jakarta, penduduknya banyak pergi mudik. Betapa indah Jakarta sebagai kota jika lengang. Namun saat arus balik terjadi, DKI Jakarta tak lain adalah kota para pendatang. Mungkin jika saya bisa bilang, Jakarta adalah melting pot orang Indonesia dengan beragam suku atau etnis. Jakarta tetap menjadi kampung halaman orang Betawi. Namun di satu sisi ia milik orang Indonesia secara utuh.

Dan naïf rasanya mendengar jika pembangunan di desa harus ditingkatkan, guna mencegah fenomena ini. Desa bagaimanapun akan tetap maju dan membangun. Desa tidak mungkin stagnan. Namun percepatan pembangunan, secara analogi akan lebih cepat Jakarta dan kota besar tentunya. Juga godaan mencari penghidupan akan terus ada seusai Lebaran, atau di kesempatan lain di desa. Dengan pemudik yang kembali ke kampung halaman, maka ia menjadi contoh sukses di perantauan. Tidak ada yang salah untuk mereka yang ada di desa mencoba mencari hidup di Jakarta.

Tapi di Jakarta yang padat dengan pendatang lama yang sarkastik pun mencoba menolak kaum pendatang baru. Sudahi saja istilah ‘serbuan orang kampung’ atau wacana debat ‘sapa suruh datang Jakarta?’ saat pembicaranya pun orang-orang yang dulunya adalah orang kampung. Sehingga, wajar jika Jakarta tidak lagi disematkan wacana ‘terkena serbuan kaum urban’. Hilangkan dan biarkan waktu yang menuntun para pendatang kembali ke desa jika gagal di Jakarta.

Dengan tidak menampik jasa orang Betawi membangun Jakarta, peran pendatang pun banyak terasa. Mulai dari pimpinan Jakarta yang bukan orang asli Jakarta pada control birokrasi. Sampai pedangan asongan dari luar jawa yang membuat roda ekonomi berputar. Pendatang pun membangun Jakarta dengan caranya. Walau banyak pula yang menyerah dan pasrah untuk kembali ke daerah asalnya.

Banyak kenalan saya yang pernah sekali waktu merantau di Jakarta. Lalu mereka kembali ke desanya. Semua karena mereka tidak mampu bersaing di Jakarta. Karena saya pun yakin, para pendatang yang datang dengan skill dan kecakapan apa adanya, akan bekerja di Jakarta dengan apa adanya. Setidaknya sampai mereka jenuh dan bosan lalu memutuskan kembali ke desa. Entah kembali macul di sawah atau ngangon kambing di ladang.

Salam,

Solo, 26 Maret 2016

08:00 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)

Author:

0 Comments: