(ilustrasi: payload19.cargocollective.com |
Sebuah fenomena tahunan seusai
Lebaran, ‘serbuan’ orang kampong terjadi di kota-kota besar. Mungkin diksi
‘kampung’ terlalu kasar bagi sebagian orang. Eufemismenya pun dibuat menjadi
‘kaum pendatang‘ atau ‘kaum urban’. Toh esensinya sama saja. Secara tidak sadar
pun, kalau sudah sampai kota besar dan tinggal di Jakarta, embel-embel orang
kampung beringsut hilang. Nada bicara dan logat kampung pun hilang.
Dahulu bilang aku dan kamu. Kalau sudah di
Jakarta diganti dengan lho dan gue.
Tidak,
tidak ada yang salah dengan kaum pendatang atau gaya kekotaannya nanti. Tidak
pula ada larangan mereka yang mencari penghidupan layak di kota besar demi masa
depan. Orangtua saya pun pendatang pada era awal 90-an. Dan pada akhirnya
menetap di kota satelit sekitaran Jakarta. Hidup pun berubah sejak itu.
Hidup di
desa kecil seperti di Jateng mungkin menggambarkan dystopia dari tahun ke
tahun. Di desa paling hanya macul sawah
dan ngangon kambing.
Di kota lebih enak. Bisa kerja di pabrik atau di kantor. Setidaknya mencoba
peruntungan untuk sekadar mencari pengalaman. Kalau gagal, bisa kembali pulang
ke desa. Itu pula yang menggelayuti fikiran orangtua saya.
Yang
menjadikan axioma ‘sapa
suruh datang Jakarta’ adalah naifnya orang kota menyikapi para
pendatang. Saya heran saja, banyak talkshow yang
memandang fenomena ini sebagai ‘aib’.
Seolah dalam tiap fikir orang-orang kota tertera ‘Ngapain sih orang-orang kampung datang ke Jakarta? Udah
sumpek disini’ Tanpa bercermin siapa diri mereka sendiri.
Naifnya Mereka
‘Orang Kota’
Ada
seorang reporter melaporkan peningkatan jumlah orang di arus balik di sebuah
stasiun kereta di Jakarta. Lalu menyimpulkan sepertinya ada tambahan kaum
pendatang. Walau di layar TV jelas terpampang ada marga di akhir nama si reporter.
Marga yang menandakan asal atau etnik si reporter dari sebuah daerah di
Sumatra. Entah ada fikiran naïf atau tidak, ia melaporkan seolah ‘serbuan’ ini
umum dan menjadi jargon ‘bad
news is good news’ dalam sebuah berita.
Lalu
ditayangkan pula talkshow menyoal
‘penanganan’ serbuan orang kampung ke Jakarta. Dengan gegap gempita, seorang
pejabat dengan nama khas Jateng pun menjabarkan langkah-langkah pencegahan.
Mulai dari operasi yustisi sampai pemulangan akan dilakukan. Entah si pejabat
ini sadar atau tidak, embel nama khas Jateng yang ia sungging di nama
lengkapnya mencerminkan ia adalah pendatang juga.
Baik si
reporter atau pejabat ini, seolah merasa dirinya sudah menjadi orang Jakarta
seutuhnya. Sedang mereka lupa, orangtua atau bahkan dirinya sendiri juga dahulu
adalah pendatang. Wajar jika secara nalar sederhana, yang melarang atau
mencegah kaum urban ini adalah penduduk asli Jakarta, atau orang Betawi. Namun
sayang, bahkah Gubernur dan Wagub DKI Jakarta sendiri berasal dari luar daerah
Jakarta.
Mungkin
bagi sebagian orang Jakarta, kaum pendatang adalah parasit. Mereka
datang, menambah padatnya Jakarta. Atau mungkin juga menambah angka
kriminalitas. Jika mereka datang tidak dengan skill dan ijazah dari desa mereka
yang mumpuni. Ah, tanpa sadar juga mereka atau kakek nenek mereka yang juga
pendatang, datang dengan apa adanya.
foto: bisnis.com |
Hilangkan Stigma Kaum Pendatang
Lalu
pertanyaan pun menggelayut. Apakah Jakarta masih bisa dianggap tujuan kaum
pendatang? Saat kebanyakan isi penduduk Jakarta sendiri adalah pendatang. Lihat
saja ketika mudik, lengangnya Jakarta, penduduknya banyak pergi mudik. Betapa
indah Jakarta sebagai kota jika lengang. Namun saat arus balik terjadi, DKI
Jakarta tak lain adalah kota para pendatang. Mungkin jika saya bisa bilang,
Jakarta adalah melting
pot orang Indonesia dengan beragam suku atau etnis. Jakarta
tetap menjadi kampung halaman orang Betawi. Namun di satu sisi ia milik orang
Indonesia secara utuh.
Dan naïf
rasanya mendengar jika pembangunan di desa harus ditingkatkan, guna mencegah
fenomena ini. Desa bagaimanapun akan tetap maju dan membangun. Desa tidak
mungkin stagnan. Namun percepatan pembangunan, secara analogi akan lebih cepat
Jakarta dan kota besar tentunya. Juga godaan mencari penghidupan akan terus ada
seusai Lebaran, atau di kesempatan lain di desa. Dengan pemudik yang kembali ke
kampung halaman, maka ia menjadi contoh sukses di perantauan. Tidak ada yang
salah untuk mereka yang ada di desa mencoba mencari hidup di Jakarta.
Tapi di
Jakarta yang padat dengan pendatang lama yang sarkastik pun mencoba menolak
kaum pendatang baru. Sudahi saja istilah ‘serbuan
orang kampung’ atau wacana debat ‘sapa suruh datang Jakarta?’ saat pembicaranya
pun orang-orang yang dulunya adalah orang kampung. Sehingga, wajar jika Jakarta
tidak lagi disematkan wacana ‘terkena
serbuan kaum urban’. Hilangkan dan biarkan waktu yang menuntun para
pendatang kembali ke desa jika gagal di Jakarta.
Dengan
tidak menampik jasa orang Betawi membangun Jakarta, peran pendatang pun banyak
terasa. Mulai dari pimpinan Jakarta yang bukan orang asli Jakarta pada control
birokrasi. Sampai pedangan asongan dari luar jawa yang membuat roda ekonomi
berputar. Pendatang pun membangun Jakarta dengan caranya. Walau banyak pula
yang menyerah dan pasrah untuk kembali ke daerah asalnya.
Banyak
kenalan saya yang pernah sekali waktu merantau di Jakarta. Lalu mereka kembali
ke desanya. Semua karena mereka tidak mampu bersaing di Jakarta. Karena saya
pun yakin, para pendatang yang datang dengan skill dan kecakapan apa adanya, akan
bekerja di Jakarta dengan apa adanya. Setidaknya sampai mereka jenuh dan bosan
lalu memutuskan kembali ke desa. Entah kembali macul di sawah atau ngangon kambing di
ladang.
Salam,
Solo, 26
Maret 2016
08:00 pm
(Reblog
dari Kompasiana disini)
0 Comments: