ilustrasi: associationnow.com |
Anak kita yang lahir di era TV flat screen, tablet, smartphone
dan laptop tidak bisa dipungkiri akan mengenalnya cepat atau lambat. Ada anak
yang mengenalnya, atau dikenalkan pada usia yang dini. Ada pula beberapa
orangtua yang begitu ketat, maka screen
time pun dibatasi. Screen
time (ST), atau waktu menonton dan bermain gadget akan menjadi
'dilema' jika dihadapkan pada play
time (PT) yang seharusnya dilakukan anak-anak. Bermain, baik
di dalam ruang maupun di luar, adalah cara anak belajar. Banyak orangtua pun,
kini memilih screen
time lebih lama agar anak mereka juga belajar.
Lalu,
bagaimana mengatur ST dan PT agar anak tumbuh dengan 'wajar diusianya'.
Mendiang Steve Jobs, pendiri Apple pernah diwawancarai jurnalis menyoal anak
dan teknologi yang ia ciptakan. Sang jurnalis menyangka anak-anak Steve Jobs
juga senang akan karya anaknya. Sedang Jobs dengan datar menjawab "Mereka
tidak pernah menggunakannya.
Kami
membatasi penggunaan teknologi untuk anak di rumah kami." Hal ini pun
terjadi dengan Jonathan Ive, desainer dari iPad. Ia menerapkan batasan yang
ketat pada teknologi untuk anak kembarnya yang berusia 10 tahun. Sedang bagi
Pierre Laurent, mantan manajer marketing Intel dan Microsoft, dan saat ini
developer startup percaya ST bagi anak dilakukan setelah anak berusia 12 tahun.
Dan ini yang diterapkan pada anak-anaknya. Karena teknologi akan menyita minat
dan waktu anak, memberi anak gadget di usia dini mendatangkan sedikit manfaat.
Dan kini, setelah anaknya berusia 12 tahun, ia juga mampu memahami gadget yang
ada dengan baik. Sedang Johnny Taylor, developer ari game World of Warrior memilih
batasan yang lebih longgar.
Karena ia
tahu teknologi adalah bagian dari keluarga mereka, sebagai orangtua aktifitas
lain pun harus diperhatikan. Dengan iPad, tablet Nexus dimainkan anak-anak
mereka, password untuk download disimpan oleh Johnny sendiri. Serupa dengan
Anne Wojcicki, istri dari Sergey Brin, memberi gadget pada anak juga harus
dengan aturan. Anaknya memiliki iPod touch agar anaknya bisa mengirim pesan
saat ia pulang dari sekolah. Game pun haruslah edukasional, seperti BrainPop
menurut Anne.
Orangtua,
Konsistenlah Dengan Aturan ST dan PT Untuk Anak
Saya
sendiri menerapkan aturan yang cukup longgar untuk ST anak saya. Ia
diperbolehkan untuk menonton televisi, namun diselingi oleh bermain.
Menontonnya pun hanya film-film kartun siang dan sore hari. Waktunya pun
tidak dibatasi. Namun putri saya tahu kapan ia harus berhenti
menonton. Sedang pagi dan siang ia banyak bermain dan belajar. Bermain
baik bersama temannya di rumah atau di luar rumah, atau bersama istri saya.
Atau bermain gadget pun hanya malam hari ketika saya di rumah. Baik dengan HP
saya atau istri saya. Itupun tidak lebih dari 1 jam. Karena ia kadang bosan
sendiri dengan game yang ia mainkan.
Yang
kadang dilupakan orangtua adalah, gadget bukan alat pengalih perhatian anak.
Kadang saya perhatikan, gadget adalah pengalih perhatian anak saat orangtua
sibuk mengobrol di meja makan. Gadget diberikan agar anak duduk diam di meja
restoran. Atau saat mereka bersedih, smartphone dengan game lucu pun menjadi
pelipur tangis anak. Atau memberi anak tontonan Disney Channel agar anak tidak
main diluar rumah. Sedang orangtua sibuk sendiri saat anak menontonnya. Seolah
gadget dan televisi adalah 'penyelamat' orangtua. Lalu di mana peran
orangtua?
Konsistensilah
kuncinya. Orangtua pun harus membatasi dirinya pada eksposure dari ST. Pilih
waktu menonton TV, bermain gadget atau bekerja di depan laptop saat anak
istirahat atau tidur. Saat orangtua dan anak berkumpul, lakukan PT dengan
optimal. Melukis, mewarnai atau kegiatan outdoor ada baiknya lebih banyak
dilakukan.
Sedang ST
sendiri pun, anak baiknya didampingi orangtua mereka. Atur waktunya dan berikan
pemahaman tentang apa yang ia mainkan di gadget. Juga, baca dengan teliti game
yang hendak diunduh untuk anak kita. Saya sendiri, untuk berinteraksi dengan
gadget putri saya hanya diperbolehkan selepas Maghrib. Itupun tidak kami
tawarkan ia mau main atau tidak. Jika kami sibuk bermain, maka gadget tidak
kami berikan. Atau saat kami pergi, bermain gadget di kendaraan pun tidak kami
lakukan. Kami lebih pilih putri kami melihat sekitar dan belajar semua yang ada
di jalan raya. Baik kendaraan atau aturan-aturan sederhana di jalan. ST untuk
putri kami pun selalu kami dampingi.
Kami
menyadari, ST pun adalah bagian dari anak belajar. Karena menjauhkan anak dari
teknologi pun sulit. Karena teman-temanya pun diluar secara langsung atau tidak
langsung, mengekspos anak saya dengan teknologi. Jadi, ST pun harus bisa
membawa manfaat. Semua agar anak tahu mana yang layak atau tidak layak baginya.
Karena anak yang 'polos' atas teknologi mugkin jatuhnya akan overuse pada produk
teknologi. Menghindarkan anak dari teknologi pun, jalan yang akan sulit
ditempuh orangtua di abad 21 saat ini.
Artikel
terkait dari saya: Kenalkan
Anak Pada Gadget, Why Not?
Referensi: theguardian.com
Salam,
Solo, 10 Maret 2016
09:30 am
(Reblog dari Kompasiana disini)
0 Comments: