Ahmad Dhani - foto: aktualpost.com |
"Untuk RT dan RW, kita mau
coba asumsi setiap RT diberikan gaji Rp 5 juta perbulan, dan setiap RW
diberikan Rp 10 juta per bulan," kata Ahmad Dhani kepada wartawan di
Jakarta Utara, Minggu (6/3). (berita: merdeka.com)
Entah statement Ahmad Dhani
(AD) ini semata sebuah manuver 'penarik' perhatian publik dan media atau bukan.
Nampaknya model-model janji manis seperti sering didengar pra-kampanye.
Merumpun dengan PKB, AD merasa jumawa bisa memenangkan Pilkada DKI tahun depan.
Ditambah gaya berfikir congkak dan nyleneh sebagai artis dan musisi, AD menjadi
megalomania. Seseorang yang menggilai kekuasaan. Setelah harta, dan perempuan
bisa dikuasainya, tahta kini diincarnya. Mencoba peruntungan meraih level
tertinggi segitiga Maslow, self-actualization.
Namun dengan cara yang tidak kreatif.
Cara
berkampanye yang primordial dan self-fulfilment coba diterapkan AD. Kenapa
primordial? Lalu kenapa self-fulfilment. Primordial atau cenderung primitif dan
bernuansa monoton salah kiranya dijadikan metode berkampanye. Janji manis
dan wishful-thinking memberi
gaji 5-10 juta Rupiah per bulan untuk RT/RW menyentuh kebutuhan ekonomi.
Kebutuhan yang sejatinya memang harus dipenuhi individu. Namun sayangnya,
kebutuhan yang sepertinya kurang ditelaah jika dikaitkan dengan janji kampanye.
Terdengar manis ditelinga untuk banyak orang. Namun akan habis tergilas logika.
Dari data
jakarta.go.id di tahun
2013 saja, ada 30 ribuan RT yang tersebar di 267 kelurahan. Plus
jumlah RW yang mencapai 2 ribuan yang tersebar di 44 kecamatan. Dikalikan
5-10 juta Rupiah perbulan dikalikan per-tahun. Berapa triliun yang harus
dikeluarkan. Belum ditambah beban gaji pegawai Pemda yang juga mencapai 22%
atau 13 triliun dari APBD di tahun 2014. Mungkin pula AD melihat numerasi lurah
di DKI Jakarta yang mencapai 33 juta per-bulan. Dengan asumsi bahwa 5-10 juta
untuk RT/RW masih 'rasional' untuk mendongkrak kinerja RT/RW. Padahal dengan
gaji 33 juta per-bulan, banyak lurah yang mengundurkan diri.
Lalu
menjadikan janji kampanye seperti ini pun wishful thinking. Sebuah berandai-andai yang
secara fakta sulit di-ACC logika. Mereka yang mendengar janji ini, terutama
petugas di RT/RW senang. Sehingga menggoda akal yang sudah bercampur baur
dengan angan. AD sudah membujuk dengan janji kampanyenya. Namun tidak dengan
kekuatan argumen. AD tidak belum membeberkan data dan statistik nominal yang
dijanjikan. Ya, jumlah 10 juta terdengar wah. Apalagi kerja sukarela sebagai
RT/RW memang sudah saatnya diperhatikan. Tapi tidak dengan kesan dikibuli
seperti ini.
Digaji
salah satunya. Namun bukan dengan asal oceh dan menebar janji. Janji kampanye
primordial dan wishful thinking seperti ini semata menarik perhatian. Mencari
sensasi, bukan esensi. AD pun menjajal janji manis ini untuk 'menyerang' posisi
incumbent dan cagub lain yang ikut. Sebuah pernyataan yang membuat orang
berfikir untuk menyetujui. Tapi bingung dengan apa harus setuju. Sedang
parameter data anggaran untuk menyisihkan 5-10 juta per-bulan belum gamblang
disediakan AD.
"Jadi
sangat mungkin RT RW digaji Rp 5 juta Rp 10 juta. Bisa jadi masyarakat
kondusif, bebas narkoba, bebas prostitusi dan online. Jakarta jadi bebas
terorisme. Saya yakin bahwa RT dan RW ketika digaji segitu semuanya bisa
disanggupin, meskipun bukan saya nanti gubernurnya," terangnya. (berita: merdeka.com)
Solar Eclipse 2012 - foto: dailymail.co.uk |
Lalu bagaimana analogi gerhana
matahari total dengan AD? AD adalah perumpamaan fenomena anomali konstelasi
per-caguban DKI Jakarta. Saya yakin AD akan meluncurkan lagi janji-janji
manisnya lagi. Saya yakin pula janji manisnya akan semanis madu. Dengan
popularitas dan mindset yang nyleneh, AD selalu menyulut kontroversi. Mungkin
semua demi tujuan bisnis. AD muncul menjadi balon cagub DKI menjadi penegas
artis dengan bibir manis namun prestasi mringis.
Gerhana
matahari total hanya bisa dilihat dengan kacamata khusus. Bukan dengan mata
telanjang, karena akan mencederai mata. Begitupun melihat AD. Harus ada filter
khusus menyaring janji kampanyenya. Filter yang disebut logika. Tidak perlu
mentah-mentah memahami janji manis yang penuh sensasi. Jika tidak ada kacamata
khusus gerhana matahari, lihat pantulannya di baskom air. Begitupun melihat AD.
Lihat di televisi saja apa yang diucapkan. Tidak perlu melihat orangnya. Bisa
gemas bertanya soal janji manisnya.
Dan
gerhana matahari total pun akan hilang. Tidak lama namun indah, gerhana
matahari total adalah anomali langit. Janji para balon cagub DKI memang manis.
Namun itu hanya janji langitan yang kadang tidak bisa diraih dengan logika
kebumian. Biarlah gerhana matahari muncul lain waktu di tempat dan waktu
berbeda di dunia ini. Biarlah pula janji manis politisi yang berebut kuasa
beredar di konstelasi langitan. Karena kami di bumi hanya ingin bukti bahwa
janji bisa dibuat di bumi.
Saya
bukan warga Jakarta. Namun mencoba melihat apa dibalik janji AD beserta
simbolisasi tersiratnya.
Salam,
Solo, 11
Maret 2016
10:27 am
(Reblog dari Kompasiana disini)
0 Comments: