Futurama Meme Whinning - ilustrasi: memecrunch.com |
Untuk urusan akademik, saya akui
mahasiswa banyak mengeluh. Ada mengeluh dengan cara yang baik dan ada juga yang
kurang baik. Yang baik yaitu disampaikan langsung ke Kepala Prodi atau dosen
bersangkutan. Yang tidak baik biasanya melalui jalut ngrasani (berumor, Jawa)
di belakang. Keluhan yang ada biasanya memang terkait ranah akademik, seperti
nilai, makul, PPL, KRS dan KHS. Sedang untuk koridor non-akademik seperti
persoalan pribadi, keuangan, lingkungan kampus, dll jarang dibahas secara
terbuka.
Dan saya
menyoroti keluhan mahasiswa sebagai suatu wabah yang mudah menular. Akhirnya,
banyak mahasiswa yang tadinya oke-oke saja menjadi ikut mengeluh. Seperti
contoh yang baru saja menjadi 'rumor' panas mahasiswa saya di kampus. Mereka
merasa magang yang menggantikan PPL (Praktek Pengalaman Lapangan) di sekolah
yang tiga kali periode memberatkan. Apalagi magang ini dilakukan pada saat
mereka libur kuliah. Mahasiswa yang harusnya liburan di rumah harus susah payah
magang mengajar di satu sekolah.
Liburan
mereka habis untuk mengajar bukan di rumah. Apalagi mereka yang rumahnya jauh
atau di luar pulau Jawa. Banyak yang menolak, namun sayang hanya dibelakang
saja. Sedang menyampaikan langsung kepada pihak Biro PPL langsung tidak berani.
Beberapa mahasiswa keberatan lalu mengompori kebijakan magang yang memberatkan
ini. Maka banyaklah yang terjangkit keluhan yang dirumorkan.
Mahasiswa
Hardliner dan Ngikuters
Mengeluh
itu wajar jika dirangkai dalam koridor yang baik. Baik secara penyampaian dan
tata krama. Namun jika hanya di belakang lalu menciptakan 'kegalauan masal',
ini yang menjadi tidak baik. Dan tentu, semua dimulai dari beberapa
mahasiswa Hardliner.
Mahasiswa Hardliner atau
garis keras ini memang mahasiswa yang kritis dalam mengkritik. Namun kadang
tidak kritis saat menyangkut ranah akademik. Mereka menjadi semacam provokator
dengan cara berfikir mereka. Kritis yang cenderung memiliki kepentingan. Bukan kepentingan
kesejahteraan bersama. Namun lebih pada perspektif diri dan pemuas ego semata.
Dalam
contoh mengeluh magang menggantikan PPL diatas, bisa terlihat. Ada kepentingan
yaitu magang mencerabut hak mereka untuk liburan. Tanpa banyak mencoba menelaah
kebijakan atau pengalaman, bahkan bertanya ke pihak terkait. Mahasiswa Hardliner ini
mengompori teman-temannya untuk sama-sama mengeluh. Karena satu 'penderitaan',
akhirnya mereka greneng-greneng (menggosip,
Jawa) di belakang. Akhirnya menular dari satu mahasiswa ke mahasiswa lain.
Muncullah 'kegalauan masal' dari kebijakan magang menggantikan PPL ini. Dan
mahasiswa yang terjangkit 'kegalauan masal' inilah yang saya sebut Ngikuters.
Miliki
Sudut Pandang yang Lebih Kritis
Jika
ditelaah dan mereka mengeluh ke pihak yang benar. Kebijakan magang ini
sebenarnya malah baik. Pertama, saat universitas lain masih menerapkan PPL 3-6
bulan, universitas ini sudah menerapkan magang dengan waktu 3 bulan. Dan ini
sesuai dengan standar KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) 2014 untuk
LTPK. Disana diterangkan bahwa Fakultas Keguruan wajib melaksanakan magang
untuk mahasiswanya. Karena menyangkut peraturan tingkat pusat, maka kebijakan
magang ini pun diterapkan. Jika ditelaah dari waktunya, magang saat libur malah
menjadikan magang semakin efektif.
Kalender
sekolah SD/SMP/SMA yang rata-rata berbeda dengan kalender akademik Perguruan
Tinggi, atau kuliah tentunya menguntungkan mahasiswa. Selain mahasiswa dapat
lebih fokus magang karena tidak terganggu jadwal perkuliahan. Mahasiswa pun
akan lebih tidak capek dan terbebani. Bayangkan saja jika mahasiswa harus
kuliah dan magang di hari yang sama. Bukankah sangat melelahkan. Waktu liburan
malah membuat mahasiswa magang di sekolah lebih bisa menjadi satu dengan suasana
sekolah. Waktu libur yang hanya 1-2 bulan tidak ada salahnya magang di sekolah.
Selain menambah jam terbang mahasiswa mengajar. Tentunya membuat mahasiswa
tidak gagap mengajar nantinya. Selepas kalian lulus dan hendak menjadi guru,
magang di sekolah selama 3 periode tentunya memberi pengalaman lebih dari
mahasiswa Keguruan lain. Dan itulah intinya menjadi guru profesional. Yaitu
memperbanyak jam terbang mengajar.
Mengeluh,
Penyakit Menular Generasi Saat Ini
Seperti
sudah menjadi penyakit, mengeluh sepertinya sudah menyebar sedemikian luas.
Mulai dari jalan raya, sampai dunia maya generasi muda mudah sekali mengeluh.
Tentu bukan mengeluh yang teraspirasi dengan jalan yang baik. Namun lebih
menonjolkan emosi semata dan menyulut rasa benci yang masif. Tentu, dengan
dasar egosentrik dan perspektif sempit, keluhan ini menjadi wabah. Saat ada
satu anak muda benci dan dengan nada kritis ala ego dan perspektif sempit.
Kadang mereka yang tadinya tidak tahu apa-apa jadi ikut-ikutan mengeluh.
Dengan
rasionalitas yang cenderung dangkal mereka menyebar rumor. Walau pastinya
mahasiswa atau generasi muda yang dapat berfikir dewasa. Ternyata banyak
kedewasaan hanya simbolisasi secara fisik. Namun secara esensi berfikir
mahasiswa banyak yang terombang-ambing. Dengan kata anak gaul sekarang, mereka
'rentan galau'. Dan kegalauan ini kadang terus menghinggap sampai mereka
menginjak semester akhir. Tidak heran banyak mahasiswa 'abadi' karena galau
akan pilihan studinya. Tidak heran banyak mahasiswa DO karena kegalauan yang kalut
bertahun-tahun. Jadilah mahasiswa dewasa secara simbolisasi fisik dan esensi
berfikir. Karena kalian Maha-Siswa.
Salam,
Solo, 29 Maret 2016
02:00 pm
(Reblog
dari Kompasian disini)
0 Comments: