Friday, February 26, 2016

Sepeda Bencong dan Microaggression Masyarakat Kita

(Pemberian Sepeda Pink Dari Presiden di SMP Negri 4 Pontianak - foto: jawapos.com)
Namun, bocah itu tak mau mengambil hadiah sepeda tersebut. Alasannya, sepeda tersebut jenis sepeda mini berwarna merah jambu, yang biasa digunakan oleh perempuan.

"Ndak mau, sepeda 'bencong'," ujar siswa tersebut.

Sontak seluruh Pejabat Negara, termasuk Gubernur Kalbar dan sejumlah Menteri tertawa mendengarnya. Mereka pun menyarankan siswa tersebut untuk membawa terlebih dahulu sepeda tersebut. (berita:kompas.com)
Saya coba menerka di benak saya saat seorang bocah SD kelas IV di Pontianak menerima sepeda pink dari Presiden Jokowi. Polos, tanpa tedeng aling-aling dan tentunya jujur. Apa yang ia katakan adalah perkataan hati. Sekat atau filter antara hati dan mulut tidak ada. Tidak serupa orang dewasa yang harus mempertebal sekat hati-mulut demi basa-basi dan social harmony. Lucu dan menjadi hal yang wah jika seorang anak mengucap 'sepeda bencong' di depan audiens. Tapi akan sarkastik dan tidak sopan jika diucap orang dewasa. Pun itu adalah anak SMP atau SMA. Yang umum dicap sudah bisa membedakan mana baik dan mana buruk.

Sepeda bencong memang terdengar lucu. Tapi pada satu sisi, tercium wangi tidak sedap microagression masyarakat kita. Disadari atau tidak disadari, ucapan sepeda bencong mungkin menyakiti mereka-mereka dari kalangan. Namun karena dicuap seorang anak SD kelas IV, apa mau dimarahi si anak ini? Namun kentara sekali, jika apa yang sudah tertanam di benak anak kelas IV yang polos, jujur dan cenderung innocent ini, penanaman agitasi pada satu kelompok minoritas.

Microagression (Mag) atau pencercaan yang cenderug subtle atau tersembunyi terhadap golongan minoritas sudah dikenal sejak 1970 di US. Terutama mereka yang secara tidak sadar membuat golongan minoritas merasa di-bully atau dimarjinalkan dalam masyarakat. Mag di US timbul akibat gesekan rasial. Dan Mag lebih banyak terjadi pada golongan Afro-American dan Hispanic. Mag memang terjadi secara halus, namun menyakitkan bagi kaum minoritas yang diacu. 

Seperti ucapan Joe Biden pada saat kampanye 2008 melawan Barack Obama adalah contoh Mag. Ucapannya "...the first mainstream African-American who is articulate and bright and clean and a nice-looking guy." Sekilas ucapan Biden terkesan apik dan sopan. Namun bagi banyak Afro-American ini adalah Mag. Tersirat, pesan Biden menyatakan bahwa Afro-American lain terstigma kasar, jahat dan tidak cerdas.

Microaggression Kita, Ditanamkan Sejak Kecil?

Kembali mengulik ucapan 'sepeda bencong' anak SD kelas IV diatas, Mag nyata juga di Indonesia. Dimana hal ini sepertinya belum menjadi keprihatian pihak berwenang. Apalagi dalam hal ini dalam kurikulum formal di sekolah. Cerminan ucapan anak SD kelas IV ini harusnya bisa menjadi pandangan puncak gunung es. Hal ini baru hal kecil yang mungkin bagi sebagian orang sepele. Namun dalam keseharian, ada beragam Mag yang kian tertanamkan dan terekam secara tidak sadar oleh banyak generasi bangsa. Jika terulang atau terjadi isu yang benar-benar merugikan atau menyakiti kaum minoritas tertentu. Mungkin belum ada gerak dan greget mereka yang berwenang dalam hal ini.

Dan jangan anggap sepele Mag pada anak. Keberagaman manusia dengan ras, suku, preferensi seksual, okupansi, dll adalah rahmat. Bahkan agama yang saya peluk menganggap keberagaman adalah rahmat. Seperti ucapan 'bencong' pada berita seorang anak SD di Pontianak di atas, betapa orangtua atau lingkungan sekitarnya bisa membentuk Mag sejak dini. Mungkin saja orangtua atau lingkungan sekitar mencap 'bencong' dengan petanda warna 'pink' adalah lucu. Namun jika sudah menjadi konsumsi publik, hal ini menjadi fatal. 

Secara psikologis, anak usia SD kelas IV sekitar 10-11 tahun sudah bisa memahami aturan dan norma. Sayangnya, mengenalkan latensi Mag, mungkin masih minim. Jangankan di kurikulum sekolah, di keluarga mungkin belum sadar. Sayangnya, masyarakat kita yang cenderung tersebar dan mengalami kesenjangan pemerataan, urusan Mag adalah nihil. Yang mereka serap dari televisi atau norma negatif yang turun temurun tentang memarjinalkan satu kaum minoritas adalah jamak adanya. Tidak ada yang salah dengan mencap orang bencong, homo, lesbi, miskin, anak haram, dll. Tingkat sarkasme pun lesap karena menganggap penuturnya adalah seorang anak.

Sayangnya, saat ada 'pembenaran' atas Mag yang diingat dan diucap sejak kecil anak bisa tumbuh kian sarkastik. Mungkin tidak heran banyak masyarakat kita yang mudah marah dan mengejek satu kaum. Atau main hantam dan bakar satu golongan yang dicap kafir dan menyimpang. Kaena mungkin sejak kecil Mag adalah pembenaran secara sosial. Jalan diskusi dan lebih santun mungkin menjadi pilihan kesekian, saat Mag sudah tertanam. Perduli dan menjaga harmonisasi dengan memberi kaum minoritas hidup sebagai manusia merdeka, bisa jadi hal yang enggan dilakukan.

Jangan Pula Membiarkan, Didik dan Beri Kepahaman dan Contoh

Saya agak ragu jika pemahaman Mag ini akan coba diurai di kurikulum sekolah. Sedang saat ini amtenar pemangku kebijakan pendidikan masih sibuk mengurusi infrastruktur dan pengawasan program yang telah ada. Ada baiknya, pemahaman akan bahaya Mag dimulai dari rumah. Terutama didahului oleh orangtua. Karena dengan begitu, diharapkan anak mengerti mana Mag atau sekadar canda biasa. Mudah-mudahan pula, anak tidak sekadar menertawai canda 'lucu' pada kaum minoritas tertentu. Mereka bisa klik rasa empatinya dari pada rasa humornya. Karena anak tahu, saat yang lain tertawa ada kaum minoritas diluar sana tersiksa karena mereka 'berbeda'.

Bentengi generasi masa depan dengan menerima perbedaan. Tapi juga jangan hanya membiarkan. Karena membentengi anak dengan karakter dari orangtua, akan lebih mengokohkan anak sebagai seorang yang bersahaja. Ia tahu kapan dan dimana canda atau tuturan yang mungkin saja menyinggung kaum tertentu. Karena orangtuanya pun, tahu dan faham serta tidak mempraktikkan Mag di kehidupan.

Sebagai orang dewasa, saya pun mencoba berbagi keresahan ini bagi pembaca. Saya yakin tidak ada orangtua yang ingin anaknya 'jago' dalam mencaci atau mencerca. Saya pun yakin, tidak ada orangtua yang ingin mencontohkan hal buruk pada anaknya. Mag memang halus dan cenderung tanpa kita sadari lakukan. Ada baiknya kita sebagai orang dewasa belajar. Andai saya berada di acara di Pontianak itu, saya akan merasa sedih melihat si anak berucap demikian. Lucu bagi sebagian orang, namun tidak dengan saya.

Menerima perbedaan dan tidak cenderung mencaci maki mereka yang yakin akan jalan berbeda yang mereka tempuh, adalah tanda manusia yang bijak. Jika bisa merubah pun, kita harus tahu dan faham kenapa mereka berbeda. Tidak sekadar mencaci dan bahkan mengasingkan mereka dengan pasung Mag. Karena dalam tiap agama apapun, kasih sayang adalah kunci hidup harmonis manusia. 

Salam,

Solo, 26 Februari 2016

11:18 am
(Reblog dari Kompasiana disini)

Author:

0 Comments: