Thursday, May 28, 2015

Menelisik Tren “Kopas dari Tetangga Sebelah”


Kalau kebetulan Anda bergabung atau digabungkan ke dalam grup Whatsapp (WA),  BBM atau Line, sering kiranya membaca  'Kopas dari tetangga sebelah....'. Juga jika kebetulan lagi, dalam beberapa grup yang ada 'kopasan' ini akan dikopas berulang-ulang. Karena biasanya sudah membaca di grup yang lain, Anda tinggal men-swipe down isi kopasan. Lalu mengomentarinya pun tidak begitu sulit. Cukup tekan ikon jempol atau ketik 'terima kasih infonya'. Jika 'beruntung' ada pula yang memberi komentar. Komentar ini pun bisa kemudian menjadi debat. Adapun yang memberikan komentar cukup seadanya, tanpa balasan si pemberi kopasan tadi.

Fenomena ini menarik untuk diamati. Namun pada satu sisi, bosan jika mengalaminya sendiri. Grup WA/BBM/Line yang berisi kopasan biasanya hanya berisi hal-hal yang 'trivial' atau biasa-biasa saja. Bukan berarti info atau wejangan yang dibagikan tidak bermanfaat. Saya pun yakin, inti daripada beberapa orang bergabung dalam satu grup adalah berbagi kebaikan. Dan tidak ada salahnya juga berbagi info. Walau, kadang terasa 'hampa'. Ada dua hollowness 'kehampaan' dari tren 'kopas dari tetangga sebelah' suatu dalam grup.

Pertama, adalah hampanya originalitas. Karena memang sudah tertera baik di awal atau di akhir sebuah info, tidak ada yang orisinil dari kopasan. Karena tinggal copy lalu paste di kolom chat, maka jadilah info yang di-share dalam satu grup. Naifnya, kadang satu grup penuh dengan hal-hal kopas ini. Setiap anggota grup berlomba meng-kopas info yang sudah ada, baik baru maupun lama. Bahkan kadang, info yang di-share sudah di-share oleh anggota grup lain sebelumnya.

Karakter individu dalam grup pun luntur karena seringnya mengkopas. Entah dia mahasiswa, teman sejawat, atau publik figur, karena seringnya meng-kopas karakter mereka hilang. Karena ide atau info yang di-share adalah milik orang lain. Kadang, ada juga sumber asli si penulis info. Namun kadang tidak. Karena hanya dikatakan 'kopas dari tetangga sebelah'. Walau info atau ide yang disebar brilian, karena bukan anggota grup sendiri tetap ada kehampaan originalitas. Apresiasi setengah hati kadang diberi untuk si peng-kopas.

Kedua, hampanya interaksi. Ya, kadang info yang disajikan cukup menarik tapi interaksi berasa hampa. Hanya ada notifikasi jempol atau komentar terima kasih. Karena embel-embel besar 'kopas dari tetangga sebelah' ini yang kadang membuat hampa interaksi. Karena mungkin anggota grup berfikiran, info atau ide ini sudah dibaca orang banyak. Sudah dilegitimasi dan 'diiyakan' banyak sekali grup. Sehingga, menyanggah atau mengoreksi info minim ditemui. Anggota grup pun, saya yakin, sudah pernah baca atau malah malas membaca info yang di-share ke dalam grup. Karena sudah saking seringnya dan hanya kopas, interaksi pun ala kadarnya.
(ilustrasi: clipartbest.com)
(ilustrasi: clipartbest.com)

Mungkin berbeda adanya, interaksi dalam grup yang lebih terfokus interest-nya. Baik minat untuk dagang, sharing hobby, mainan, fashion, tekno, dll, grup ini saya fikir lebih hidup. Karena anggotanya memiliki 'homogenitas' interest, interaksi bisa saja lebih intens. Dan info yang dibagikan pun pastinya tidak jauh dari hal-hal interest-nya. Sehingga, corak dari grup dan anggotanya bisa kentara. Semua bisa berkontribusi dan berbagi dalam satu fokus yang signifikan.

Di grup yang lebih 'heterogen', biasanya satu grup pun hanya berisi beberapa orang saja yang berinteraksi. Seolah, dari puluhan atau ratusan anggota, hanya 5-10 orang saja yang aktif. Itupun interaksi mereka bisa ditebak. Setelah memberi terima kasih atau jempol, lalu men-share info 'kopas' lainnya. Anggota lain hanyasilent readers saja atau kadang cukup angguk-angguk membaca satu info atau ide. Bukan karena anggota lain tidak mau chat. Namun kadang karena embel-embel kopas ini yang membuat ide atau info begitu valid. Sehingga, interaksi cukup mengangguk-angguk saja.

Karena luasnya dunia sosmed dalam grup yang mungkin jumlahnya ribuan atau jutaan dalam WA/BBM/Line, info pun bisa tidak pasti kebenarannya. Yang memvalidkan, secara implisit, adalah embel-embel 'kopas dari tetangga sebelah'. Lalu siapakah tetangga sebelah ini? Saya pribadi belum pernah mencoba bertanya siapa 'tetangga sebelah' ini. Karena mungkin, pertanyaan ini akan berputar-putar dari grup ke grup. Karena frekuensi dan intensitas satu info yang di-kopas bersifat infinit, alias tidak terbatas. Mencari 'narsum' info atau ide yang di-share pun agak sulit.

Pernah sesekali saya search nama narsum dari sebuah info di Google. Hasilnya tentunya jutaan dalam sekian detik. Namun secara spesifik menyoal info yang di-share sama sekali tidak relevan atau tidak ada. Jika info benar ada dan narsumnya, saya baru bisa percaya. Namun jika tidak ada info terkait, agak riskan percaya info hoax. Apalagi jika sekadar kopas. Beberapa info pun, kadang tanpa narsum atau sumber. Lagi-lagi karena embel-embel 'kopas dari tetangga sebelah' yang memvalidasi kebenarannya.

Salam,

Solo, 27 Mei 2015

06:45 pm
(reblogged dari Kompasiana di sini)

Author:

0 Comments: