Adalah bagaimana seorang manager nguwongke (memanusiakan, Jawa) pegawainya yang menjadi tantangan. Bagaimana sebuah entitas akhir dari bekerja adalah menerima upah atau gaji, juga harus difahami dengan seksama. Jangan sampai, pekerja atau pegawai merasa bekerja tapi tidak mendapat upah yang sepadan. Jangan sampai pula ada rasa tidak puas terpupuk akibat upah yang tidak sepadan. Walau, yang namanya diri atau ego, sebesar apapun upah, tetap akan terasa kurang. Disini, seorang pemimpin atau setingkat manager, harus mau memahami dan merasakan langsung aktifitas pegawai. Apakah sudah sepadan atau setidaknya cukup dengan upah yang harus dibayarkan.
Dampak yang saya sendiri rasakan, dengan minimnya upah kerja serasa tanpa gairah. Bukan berarti saya tidak mau bekerja. Namun, ada rasanya hati 'ngedumel' saat beraktifitas. Gaji atau upahnya sedikit, kok minta kinerja yang maksimal. Kalau cuma dibayar sedikit, kok minta hasil yang baik. Lha cuma digaji apa adanya, kok minta apa yang ada dari saya semua. Sebuah kontemplasi hati, dengan aura negatif. Hal yang seolah menghambat langkah kaki beranjak ke tempat kerja. Hal yang seolah membisikkan saya untuk cuek dan santai saja bekerjanya nanti. Dan macam-macam hal yang intinya, membuat kerja tanpa gairah, soulless.
Bukan cuma sekali, seorang manager meminta saya ikut dalam satu program. Sudah beberapa kali, dan saya sudah sangat faham apa yang dimaui. Bahkan, saya sudah tahu berapa bayaran yang akan saya dapat. Jika menolak, apa daya seorang junior yang kalah level. Nanti bisa dianggap sombong dan menolak pekerjaan. Akhirnya, mengiyakan dengan sedikit rasa was-was. Jangan-jangan nanti upah atau gajinya sedikit seperti dulu. Jangan-jangan gaji yang diterima telat. Sampai akhir program, mungkin saja gaji baru bisa diterima. Syak wasangka yang selalu benar adanya jika berurusan dengan manager tersebut.
Lalu, semua kembali ke titik awal saya bekerja. Bekerja ikhlas dan bermanfaat. Sebuah prinsip yang mulai klise dan bias saat kehidupan semakin rumit dan mahal. Saat teman-teman lain sudah meloncat tinggi ke atas garis kelas menengah atas. Saya masih berjuang disini mengais upah-upah yang seadanya diberikan. Lalu, wejangan mencari sambilan kerja juga terngiang. Mencari 'sumur rejeki' yang lain. Guna menambah pundi-pundi kehidupan yang tidak lagi sendiri. Ada beban ekonomi yang harus selalu ringan dibawa bersama keluarga.
Pemimpin atau manager atau boss, saya fikir juga tidak mudah menjalani tanggung jawabnya. Namun, ada baiknya memahami kerja pada posisi si pegawai atau pekerja. Bukan saja gaji atau upah yang layak. Namun juga perhatian dan komunikasi. Jika ada perhatian yang baik dan tidak terlalu bossy dari manager atau pemimpin. Keluhan pekerja bisa terlihat dan difahami. Jika komunikasi baik dan terjaga. Keluhan dan kritikan dari pekerja akan mudah terlontar di depan manager, bukan di belakangnya. Dan sifat utama leadership mampu benar-benar terlihat dari seorang manager.
Akhirnya, semua kembali kepada diri masing-masing, saya pun begitu. Mensyukuri rejeki yang sudah didapat. Walau sedikit, namun berkah. Itu saja.
Salam,
Tangerang, 06 Januari 2015
09:52 am
0 Comments: