Friday, January 16, 2015

Bu, Kalau Antri di Belakang, Bukan di Samping

(foto: nurulfdlyh.blogspot.com)
(foto: nurulfdlyh.blogspot.com)

Beberapa hari lalu, saya membayar cicilan ke kantor Pos dekat kampus. Di depan loket untungnya sepi. Saya segera serahkan nomor angsuran dan menunggu petugas kantor Pos mencetak resi pembayarannya. Tiba-tiba ada seorang ibu muncul di samping saya, tepat di depan loket. Sambil clingak-clinguk melihat petugas kantor Pos. Si ibu seolah terburu-buru. Melihat saya 'menutupi' pandangnya, saya tengok si ibu. Si ibu yang kira-kira berusia 40 tahunan ini hanya bisa tersenyum simpul. Untung pula, resi pembayaran saya sudah selesai dicetak. Dan kembalian sudah disiapkan petugas kantor Pos. Saya bergegas dari depan loket untuk si ibu segera menyelesaikan urusannya. Antri kok di samping, bukan di belakang?

Keluar dari kantor Pos, pemandangan yang hampir serupa terjadi di depan loket bank. Beberapa mahasiswa 'ngantri' dengan cara memenuhi kiri-kanan loket bank. Bergumul dan berjubel berdesakan puluhan mahasiswa di depan loket, seolah mahasiswa yang sudah 'dewasa' tidak tahu cara mengantri. Mengantri dengan cara di samping sepertinya sudah 'lazim' dalam fikiran orang yang tidak sabaran. Satu melanggar dengan menyela antrian, mungkin yang lain turut serta.

Sembari berjalan kembali ke kantor dosen, saya teringat kejadian yang serupa di Jakarta. Waktu itu saya dan putri saya selesai mengantri makanan di salah satu fastfood vendor di TMII. Kebetulan kami menunggu di samping antrian di depan meja layanan. Karena pesanan kami jadi dalam tiga menit. Saya pilih berdiri di samping meja layanan, daripada duduk agar yang datang bisa duduk. Tiba-tiba seorang ibu nyelonong ke samping kami lalu memesan dan pesanannya langsung dibuat. Lalu ada beberapa orang yang ikut mengantri di belakang si ibu ini. Seorang yang mengantri lama lalu protes dan meminta antrian dibenahi kembali. Si pelayan pun bingung dan orang-orang yang sudah ikut ngantri di samping, malu-malu mereka mundur mengantri dari belakang kembali.

Mental Tidak Sabar dan Egosentrisme Akut

Tidak saja saat kita mengantri dengan berdiri. Saat berkendara dan dalam kondisi macet pun, masih ada yang nekat 'nyodok' arus berlawanan. Semua tak lain mencerminkan mental tidak sabar. Dan memuaskan hasrat egosentrisme yang akut. Mereka inilah orang-orang yang tidak ingin memahami suasana yang ada. Saat semua sabar mengantri, emosi mereka mudah tersulut. Mereka bersumbu pendek alias tidak sabaran. Maunya cepat dan praktis. Walau tidak sadar, merekalah yang membuat semuanya menjadi lama dan rumit. Mental tidak sabar mereka mudah sekali menyebar. Jika satu tersulut, maka sumbu-sumbu pendek yang lain pun tersulut.

Ditambah, egosentrisme akut yang tidak menghormati sesama. Sama-sama antri dan dalam kondisi macet, ingin cepat tidaklah mungkin. Lalu mengantri lewat samping atau menyela pengantri yang lain pun dilakukan. Semua agar dirinya bisa cepat dilayani. Tidak sama sekali memikirkan mereka yang sudah antri lama. Tidak pula terbersit betapa kesabaran pengantri yang sudah lama, tersia percuma. Semua karena egosentrisme diri yang akut. Perduli amat dengan urusan dan derita orang lain. Selama yang diingini tercapai cepat dan tak perlu repot antri. Itu yang mereka lakukan.

Adakah terbersit malu buat mereka yang mengantri di samping, bukan di belakang? Atau nurani mereka sudah begitu bebal, bahkan untuk bisa berempati?

Salam,

Solo, 16 Januari 2015

09:41 am
(re-blogged dari Kompasiana di sini)

Author:

0 Comments: