Friday, August 24, 2018

Televisi Indonesia yang Kian Membosankan dan Banal

Televisi Indonesia yang Kian Membosankan dan Banal


Spiritual Pollution - ilustrasi: maggi11.wordpress.com
Kiranya pertama saya beri gambaran sarkas kondisi televisi kita saat ini. 
RCTI. Swasta tua yang tidak bijak adanya. Acaranya berkutat pada sinetron cinta, harta, tahta dan perempuan. Alurnya sama saja, hanya pemerannya berbeda. Ada acara gosip dan berita sebagai selingan. Tapi seperti biasa, berita hanya refabrikasi dari TV/sosmed. Gosip pun, ah Anda sendiri tahu faedahnya.
SCTV. Pengekor tontonan drama semata. TV yang satu ini pun mirip TV tua di atas. Hanya sinetron jadi andalan, plus ragam FTV. Sayangnya kedua suguhan drama itu kini kian picik. Terlalu banyak logo barang jualan ditampilkan besar-besar. 
Tiada juga nilai estetiknya, apalagi ada teknik subliminal. Nol alias minim. Dan acara gosip/berita tak jauh TV sebelah.
Indosiar. TV hampir bangkrut yang kian semrawut. Cuma satu acara yang saya ingat dari TV ini, Patroli. Dan karena Indosiar TV yang merakyat, acara sepakbola dan dangdut juga sering ada. 
Pokoknya meriah dan bisa joget bersama, itu dangdut TV ini. Sepakbola pun menjadi pelipur fans ultras daerah. Judul acara drama sinetronnya pun lucu-lucu kabarnya. Karena judulnya mirip majalah Hidayah.
TPI/MNC TV. Yuuk mari 365 hari terus dangdutan. Konon, TV ini berjuluk Televisi Pendidikan Indonesia. Dulu saya masih ingat cara menghitung rumus Phytagoras. Kini, tak usah ambil pusing. Joget terus mang...! 
Acara kartun negri Jiran andalan TV ini pun cuma di re-run. Sampai-sampai anak bosan, filmnya itu-itu saja. Oya, sinetron anak ala ala fiksi naga-naga pun cukup bikin heran lho.
ANTV. Televisi asal India... Eh Indonesia. Eh...?? Semenjak pagi, TV ini diwarnai film besutan Bollywood. Siang dan malam pun drama Bollywood pun bermunculan. Dan masih ada lho show 'masak aer' yang cuma ketawa-ketiwi tidak jelas. 
Acara reality drama kini menjadi hits di TV ini. Dengan bumbu mistis dan 'reka adegan' plus dramatisasi, cukup menyedot iklan, eh perhatian.
Watching Television - ilustrasi: usa-banks.us
MetroTV. Ini dia TV berita penggagas hyper-partisan  Indonesia. Acara partai empunya TV berita ini kadang ada slot waktu khususon. Pidato sang empunya disiarkan live. Sering pula reportase sekitar satu partai masuk ke dalam berita. Dan karena pro-pemerintah, maka kumpulan beritanya ya soal ABS, kadang. Acara motivasi dan talk show cukup bagus. Walau kini kian jenuh.
TVOne. Sama-sama hyper-partisan, tapi TV ini memang beda kok. Dulu, saat sang pemilik masih getol di dunia politik. TV ini menjadi oposisi pemerintah. Isinya ya tentu saja tentang kegagalan, krisis, kemiskinan, dsb. Dan partai empunya TV ini dan dirinya adalah solusi untuk negara ini. 
Walau kini gerbong partai itu bergeser ke pemerintah. Tapi nuansa dan nafas beritanya masih kontra pemerintah masih ada (baca: masih dijaga).
KompasTV. Sempat dilabeli pro pemeritah, kini jadi independen (masih berusaha). Dengan profil perusahaan induk yang memang mogul media, TV ini cukup mengigit program beritanya. Walau kini berita yang ada masih sama saja dengan TV lain. Hanya (re)framing-nya yang berbeda dari TV ini. Namun bagi para oposan pemerintah, TV ini tetap tidak independen.
Trans7. Selain acara si Unyil, Jejak Petualang, dan MotoGP kok tidak ada yang menarik ya? Sejak berganti dari TV7 ke Trans7, lumayan hidup kreatifitas TV ini. Namun itu dulu. 
Acara andalannya kini hanya mencomot dan di-voice over YouTube. Acara reality show yang lebay pun menjadi andalan. Acara lama Opera-oper-an masih bertahan dengan konyolnya yang itu-itu saja.
TransTV. Sejak 'otak kreatifnya' pindah dan buat stasiun TV baru, TV ini jeblok. Acara gosipnya, alamak ga kuat cyin. Lebay dan penuh drama sekarang. Program berita dengan brand luar negri di TV ini tetap tidak menarik buat disimak. Karena toh isi beritanya tetap mirip TV berita sebelah. Apalagi kadang portal beritanya sudah memberitakan lebih dahulu.
NetTV. Televisi kaum urban, yang kini acaranya monoton. TV yang cukup muda namun berhasil menyedot banyak perhatian. Mungkin karena kerja keras tokoh kreatif yang pindah dari TV sebelah. 
Namun kini serasa hambar programnya. Acara lucu-lucuan masih membesut duo Andre-Sule. Lawakannya pun itu-itu saja. Apalagi dilabeli 'The Best Of.." yang cuma acara 'kliping' re-run. Walau selipan Korean Hallyu cukup berbeda.
Program Televisi - ilustrasi: dream.co.id
Dan TV lain seperti RTV, GTV, dan iNews yang menjadi 'cabang' TV induknya. Tidak ada corak khas dan unik dari TV-TV tersebut. Sedang TVRI dengan tag #KamiKembali, ya masih TVRI. Jadul dengan programnya dan kadang error sinyal siarannya. Walau perlu diakui, TV inilah yang Indonesia banget.
TV dengan basis free-to-air di Indonesia masih berkutat soal promosi produk dan jasa. Tim kreatif dibelakang sebuah program tak lain adalah tim manipulaitf. Mereka diminta membuat acara untuk memasarkan produk. Gebrakan program tanpa mengkhawatirkan rating/iklan saya rasa belum banyak hadir. Atau malah tidak ada?
KPI sebagai perwakilan negara lewat frekuensi siar belum terasa tajinya. Teguran kadang cuma teguran tanpa sanksi tegas. Program acara bisa tetap tayang dengan judul berbeda saja. Apalagi mengatur polusi fikiran berupa iklan yang kian hari kian pintar saja. 
Dari acara berita sampai drama, semua terpampang jelas produk promosinya. Bahkan iklan rokok dengan kemasan berbeda pun tidak disadari oleh otoritas KPI.
Banalitas daur siar tahunan TV kita masih drama-klenik-gosip artis. Berpindah ke TV kabel berbayar pun bukan alternatif murah. Mengganti channel program TV pun bukan solusi. Apalagi kini rata-rata TV disisipi bias politik dan jargon promosi produk. TV kita kini masih tayangan hiburan yang tiada memberi banyak pembentukan karakter bangsa.  
Salam,
Solo, 11 Agustus 2018
11:10 am
(reblog dari Kompsiana disini)

Friday, April 20, 2018

Siapkan Anak Kita Per(ang)gi ke Sekolah

Siapkan Anak Kita Per(ang)gi ke Sekolah

Snapshot Pemukulan Siswa SMP oleh guru - foto: jabar.tribunnews.com
Baru-baru ini, viralnya seorang guru memukuli seorang siswa SMP membuat kita terenyuh. Walau tempat kejadiannya masih diusut, namun kesan yang timbul mengerikan. Tidak semengerikan saat saya menonton tinju bahkan MMA yang sedang digandrungi. Namun begitu dahsyat (raw) dari 36 detik video tadi membuat saya sebagai orang tua prihatin sekaligus takut.
[EDIT] Kabar berita terbaru, bahwa pelaku pemukulan adalah sesama siswa di sebuah SMK di Pontianak. Namun, ada pula kabar yang mengungkap pemukulan ini dilakukan oleh orangtua yang tidak terima anaknya dilecehkan secara seksual. (Berita disini)
Alih-alih mengantar pergi anak saya sekolah nanti. Saya akan mengantarkan mereka perang. Apa sih yang tidak ada di sekolah dan lingkungannya?
Mulai dari kasus perundungan, asusila, penculikan, gedung roboh, sampai peristiwa keracunan atau peristiwa kesurupan ada di sekolah. Seolah sekolah adalah panggung dari pahitnya realitas hidup. Saat anak sewajarnya mendapat pendidikan laik dan mumpumi, yang terjadi kadang tidak demikian. Ada rasa was-was, syak wasangka, bahkan ketakutan saat anak pergi ke sekolah.
Saya pun yakin tidak semua sekolah atau tingkat sekolah mengalami isu tersebut. Namun apa yang terjadi dan terulang juga diberitakan memang tidak sepositif apa yang dilihat dan dirasa. Semua peristiwa ini seolah menyiratkan beberapa hal darurat dalam pendidikan di Indonesia secara menyeluruh.
Pertama, sekolah seakan memagut faham ono rupo ono rego. Sekolah apa yang paling aman, tenteram, dan membuat anak kita punya daya saing? Ya tentu sekolah swasta mahal. Sekolah yang dijaga kualitas dan kuantitasnya pada domain seberapa besar SPP dan uang gedung yang dibayarkan. Mulai dari fasilitas, staf sekolah, guru sampai sekuriti dijamin kehandalannya. Anak kita akan dijaga dan dibuat pintar sesuai apa yang diimpikan orang tua.
Jatuhnya, orang miskin dan tidak mampu memilih anaknya bersekolah di "pokoknya sekolah'" Sekolah yang gurunya saja digaji sepertiga dari UMP Jakarta. Sarana dan prasarana menyesuaikan setoran bulanan dan uang gedung. Orang tua tidak bermimpi banyak anaknya bisa menggantikan BJ Habibi nanti. Setidaknya ia tidak nganggur di rumah dan digosipi tetangga menyoal anaknya yang putus sekolah.
Kedua, pemegang otoritas sudah waktunya memijakkan sistem pada satu fundamen pendidikan nasional. Terlepas dari sistemnya yang gonta-ganti sesuai titah menteri, cukup sistem tunggal dengan penyempurnaan seiring waktu. Usah lagi mencari duit cipratan proyek kurikulum dengan sebutan yang begitu eksostis, namun hasilnya nol. Bahkan saat hasil belum muncul, sudah dibredel dengan sistem baru.
Kekacauan sistem yang mempengaruhi profesi guru, ranah pedagogis, dan cakupan administratif pun terjadi. Dampaknya pun pada siswa, sekolah dan kualitas generasi yang tercipta. Inilah hasil generasi uji coba Sisdiknas yang kadang hanya sekadar mengikuti ego rezim dan tren global. Sistem yang kadang lupa di mana ia berpijak selama lebih dari 70 tahun kita merdeka. Uji trial and error Sisdiknas kini sudah terlalu banyak error-nya daripada goodness-nya.
Saya kira pun tak sedikit cendekia dan praktisi pendidikan negeri ini. Mereka bisa urun rembug untuk menyusun Sisdiknas tunggal dan visioner yang tidak lekang oleh zaman. Sistem yang tidak jauh berbeda 30 sampai 50 tahun lagi. Sistem dinamis namun fundamental yang didasarkan falsafah hidup dalam kebhinnekaan.
Ketiga, kasus-kasus "mengerikan" di atas mungkin urung dihapuskan menyeluruh. Namun mencegahnya berulang di lain tempat dan waktu kiranya bisa diusahakan. Urgensi pengawasan dan pemberdayaan pihak terkait di sekolah dan dinas sudah tinggi. Sedang seolah pemegang otoritas hanya bertindak saat terjadi dan terliput media. Tindakan preventif dinafikan, sedang tindakan kuratif tak jua menyembuhkan penyakit ini.
Jika kasus-kasus di atas terus terulang dan menjadi ritual kuratif belaka, orang tua mana yang tidak khawatir? Anak saya dan Anda mau jadi apa nanti di sekolah? Sekolah seolah penjara kecil bagi anak. Ia mengurung anak setengah hari. Ada hukuman verbal dan fisik, baik dari guru/teman. Ada makanan yang bernarkoba/beracun pun ditawarkan. Belum lagi ditambah tawuran antar siswa/sekolah. 
Anak kita seakan diciptakan untuk menghadapi kerasnya (bahkan kejamnya) hidup di sekolah. Anak kita diberikan sedikit bahkan tidak sama sekali nilai, norma, dan pengetahuan. Entitas-entitas pengembang dan penguat karakter dan ilmu untuk masa depan mereka menjadi kian nihil. Bekali saja anak kita dengan bela diri dan latihan fisik agar kuat berkelahi. Latih mereka bermuka tembok dan acuh pada cemoohan. Sehingga tidak timbul empati dan simpati dari mereka agar tidak dibodohi dan dimanfaatkan orang lain di sekolah.
Mungkin artikel ini terkesan fatalistik dan mengeneralisasi. Namun apa yang terjadi di sekolah dan sistem pendidikan kita beginilah adanya. Saat banyak yang berwacana memperbaiki semua, tarafnya tidak sampai aktualisasi. Terlalu akut sudah penyakit dalam pendidikan kita. Dan saya kira, tidak cuma saya sebagai orang tua khawatir akan apa yang terjadi. Bagi para pendidik, praktisi, dan cendekia ranah edukasi, hal ini menyiratkan gercep pembenahan holistik.
Salam,
Solo, 20 April 2018

10:39 pm
Reblog dari Kompasiana di sini

Tuesday, November 15, 2016

Sebuah Helicopter View Menyoal Full-Day School Mendikbud Baru

Sebuah Helicopter View Menyoal Full-Day School Mendikbud Baru

Berangkat Sekolah - foto: jagawana.com
Sebuah gebrakan dibuat Mendikbud yang baru saja dilantik Muhadjir Effendi menyoal Full-Day School (FDS) menyentak kita semua. Netizen dan publik pemerhati pendidikan pun riuh. Banyak yang mengomentari dengan nyinyir. Ada juga yang masih ragu melihat kebijakan ini akan efektif. Namun banyak pula yang senang akan aturan yang akan di-pilot project nantinya. Pak Mendikbud baru beserta jajarannya masih menggodok konsep. Dan seperti biasa, publik dibuat gamang sekaligus gaduh.

Seolah Muhadjir ingin membuat publik terhenyak lalu meminta kita menengok dan melihat dirinya dengan kebijakan FDS. Ini lho Mendikbud baru yang akan memberikan 'sesuatu' yang lebih daripada yang sudah lalu. Bijak lagi baik kiranya kita mengamati kebijakan ini dengan helicopter view. Bukan sekadar pro atau kontra. Namun juga memandang dari pihak-pihak yang dilibatkan disana. 

Setidaknya ada 4 empat pihak yang terlibat nantinya dalam kebijakan FDS ini. Semua dengan sisi negatif dan positif sebagai dampak FDS. Walau positif dan negatif disini harus perlu dianggap variabel tentatif. Namun setidaknya bisa memberi helicopter view menyoal kebijakan FDS ini.

1. Penentu Kebijakan
Dari sudut policy maker, FDS memang menjadi ujung tombak program kebaruan. Hal ini memberi pembeda dari pendahulu. Mungkin pula hal ini menjadi kewajiban Mendikbud baru dari pemerintah. Dengan kata lain, harus ada gebrakan. Mau tidak mau, enak tidak enak harus ada. Dan kebijakan ini harus siap dijalankan dengan efektif dan efisien. Mengingat pendidikan di Indonesia memang menjadi problema yang kian kusut.

Sisi positifnya, Mendikbud baru bisa memberi bukti pada atasan, dalam hal ini Presiden pada awal kinerjanya. FDS digadang bisa memberikan anak 'pagar' dari aktifitas luar sekolah yang buruk. Negatifnya, FDS ini memang menjadi program sekadar memenuhi sisi kebaruan. Walau konsep FDS diterapkan di beberapa sekolah, namun memukul rata penerapan FDS bisa dianggap kejar setoran.

2. Pihak Sekolah
Dan tentunya sekolah sebagai pelaksana kebijakann FDS memikul beban berat nantinya. Pihak sekolah harus menyiapkan entah sisi akademis atau non-akademis untuk memanjangkan masa tinggal siswa di sekolah. Guru harus memutar otak untuk menginisiasi program seperti pengayaan akademik, membahas PR, membuat karya kriya, dsb. Guru juga akan berkoordinasi organisasi ekstrakurikuler untuk menggodok program baru. Mulai dari UKS sampai mungkin Marching Band akan dijadwalkan kegiatan seusai jam belajar sekolah usai.

Positifnya, pihak sekolah akan dituntut lebih kreatif. Membuat siswa untuk betah di sekolah dengan kegiatan positif menjadi tujuannya. Negatifnya, beban guru akan semakin bertambah. Diberi honor yang seadanya, berdasar budget sekolah yang mungkin sudah berat, guru kiranya akan menggerutu. Pihak sekolah bisa saja mengumpulkan dana dari orangtua. Namun kiranya akan banyak perdebatan menyoal uang iuran.

3. Pihak Orangtua
Bagi orangtua yang bekerja, tentu banyak yang senang kebijakan FDS ini. Pulang kerja anaknya akan sama dengan jam pulang kerja. Namun bagi orangtua yang yang bekerja dari rumah, masih akan gamang. Anak yang biasa ditemui di rumah akan berkurang waktunya dari Senin-Jumat. Apakah efektif anak terus 'dikurung' di sekolah dengan FDS.

Positifnya, orangtua akan dijamin anaknya baik-baik diurus sekolah. Karena FDS adalah keputusan Mentri yang harus dilaksanakan sekolah, anak mereka akan tentu mendapat hal positif di sekolah usai jam belajar. Negatifnya, orangtua harus benar-benar memastikan anaknya kuat untuk sekolah FDS. Kuat bukan sekadar fisik namun juga mental. Karena tidak semua anak betah lama-lama di sekolah.

4. Pihak Siswa
Dan kebijakan FDS ini akan menjadikan siswa 'eksperimen' kembali. Sejak gonta-ganti kurikulum dan program-program penuh kejutan diawal dan mlempem di jalan, FDS diharapkan tidak demikian pastinya. Siswa kembali akan memikul keberhasilan program ini. Siswa yang sudah senang dengan sekolahnya akan lebih senang dengan sekolahnya karena bisa berlama-lama. Sedang siswa yang tidak senang, FDS bisa menjadi neraka.

Sisi positifnya tentu siswa akan mendapat life-skill dan pengayaan akademik dan non-akademik. Hal-hal yang tidak cukup diajarkan dengan jam sekolah konvensional. Mulai dari kursus, ekstrakurikuler, sampai program siraman rohani kabarnya akan dicanangkan. 

Negatifnya, siswa harus benar-benar kuat menerima semua ini di sekolah. dalam hal ini, kuat secara fisik dan mental. Karena program-program tadi bisa saja didapat di luar sekolah. Dan faktor psikologis bosan di sekolah bisa saja terjadi.
Help - ilustrasi: metrovaartha.com
Dan lumrah jika sebelumnya FDS dikaji lebih detail. Dari sekolah swasta yang sudah menerapkan FDS harusnya sudah bisa didapat gambaran detail aa yang sebenarnya didapat dengan FDS. Dan saya kira tidak kurang referensi ilmiah yang sudah meneliti dampak baik dan buruk FDS di sekolah swasta. Pihak Kemendikbud harus benar-benar mendalami hal ini untuk pilot project yang hendak dilaksanakan.

Publik kiranya boleh mengemukakan keberatan setelah kajian literasi yang ada dan pilot-project dianggap kurang memuaskan. Dengan persebaran pendidikan yang timpang di negri ini, FDS bisa membuat washback yang buruk. Banyak dampak FDS yang malah menjadi blunder jika diterapkan di daerah terpencil misalnya. Saat siswa harus berjalan 10 KM ke sekolahnya. Bayangkan mereka harus pulang pukul 5 sore menyusuri hutan. Hal ini berkebalikan tentunya di kota besar. Pulang pukul 5 sore berarti anak benar-benar aman di sekolah sampai mereka pulang ke rumah.

Orangtua pun harus semakin kreatif memanfaatkan kebersamaan dengan anak. Orangtua harus rela mempercayakan pendidikan anak di sekolah selama 10 jam anak di sekolah. Namun harus selalu diingat, manfaatkan dengan baik 2 hari libur anak di akhir pekan. Isi kegiatan positif dengan kedekatan hati di hari Sabtu-Minggu. Jangan malah memanjakan anak benar-benar libur dan sekadar tidur dan bermain game atau gadget.

Kebijakan akan belum terasa bijak jika kemanfaatannya tidak dirasakan. Berfikir negatif 
akan suatu kebijakan pun bisa mengaburkan perspektif positifnya. Namun terlalu yakin akan kebijakan baru pun bisa mementahkan kritik yang sejatinya membangun. Memposisikan perspektif diatas dengan mengawasi segala aspek dan variabel yang terlibat akan lebih bijak. Dan akan lebih berguna lagi, jika ada kontribusi nyata menyoal kebijakan FDS ini. 

Mungkin tulisan saya bisa memberikan hal ini.

Salam,

Wollongong 15 November 2016

07:00 am
(Reblog dari Kompasiana disini)

Monday, November 14, 2016

5 Alasan Mengapa Harus Gabung Kompasiana

5 Alasan Mengapa Harus Gabung Kompasiana

Ilustrasi. listhatcher.com
Tak terasa sudah 3 tahun lebih saya nangkring di Kompasiana. Dari mulai mondar-mandir jadi silent reader. Sampai ikutan teman jadi Kompasianer, sudah 600-an artikel saya buat. Dari verifikasi penulis hitam, hijau sampai biru sudah saya lalui. Dari syarat administrasi unggah KTP sampai bertemu wajah di kantor Kompasiana juga sudah pernah. Dari sekadar bersapa di kolom komentar, sampai ngobrol asyik di Nangkring juga sempat dilakukan. Betah juga saya di Kompasiana.

Lalu kenapa harus di Kompasiana? Saya pribadi punya blog sendiri. 

Pertama, karena Kompasiana 'besar'. Maksudnya secara literal dan implisit. Karena Kompasianer sampai saat ini mencapai ratusan ribu, artikel kita bisa banyak dibaca. Beda dengan follower blogspot saya. Apalagi termaktub eksplisit brand 'Kompas' di Kompasiana. Memang dulu Kompasiana hanya digunakan jurnalis internal Kompas. Namun mengubahnya menjadi situs publik memang mendatangkan hasil. Semua berkat kerja keras bung Pepih tentunya. 

Secara implisit pun Kompasiana besar gaungnya. Sudah banyak sumber berita portal berita mainstream memetik artikel di Kompasiana. Bertahan sampai tahun 2016 pun tentu menjadikan Kompasiana 'senior' di bidang citizen journalism. Sempat muncul artikel Kompasianer di Harian Kompas sebagai apresiasi admin dulu. Namun program ini hilang. Sempat pula ada KompasianaTV. Yang di mana saya pernah numpang eksis beberapa kali, pun hilang di awal tahun ini. 

Sebenarnya 2 program apresiasi Kompasiana tadi menjadi sebuah timbal-balik. Namun entah kenapa dihilangkan? Namun apresiasi tinggi Kompasiana dalam bentuk Kompasianival pun sangat membanggakan. Bagi para calon penerima award Kompasianival tentu menyenangkan. Menjadi sebuah point penting dalam portofolio hidup. 

Pun bisa menjadi cerita membanggakan tersendiri jika bisa dianugrahi salah satu award-nya. Kebetulan saya belum? #BukanPromosi :-)

Kedua, karena Kompasiana adalah media belajar menulis yang berkesan. Baik menulis formal, non-formal dan informal semua bisa di sini. Tulisan serupa jurnal pun sering saya tulis. Apalagi untuk buat sebuah blog competition. Banyak referensi buku atau jurnal saya cantumkan. Tulisan non-formal seperti laporan Nangkring atau reportase suatu event atau tempat banyak pula dibuat. Atau sekadar curhat dengan bahasa sehari-hari juga ada. 

Berwarna, itulah model tulisan di Kompasiana. Walau ada juga tulisan copas atau hoax, admin sudah berusaha memfilter hal ini. Dengan model prosa atau puisi, banyak juga penulis hebat menjadi referensi saya menulis disini. Ada pejabat, penulis novel, akademisi, praktisi, diaspora, dll adalah rupa-rupa Kompasianer. Dan mungkin juga ada orang-orang besar yang mungkin 'bersembunyi' di akun anonimus Kompasiana. Dulu pernah heboh akun Gayus beredar di Kompasiana. #SudahDiPetiEs?

Komentar pedas, manis, asem atau pahit pernah saya terima di artikel saya. Dengan cara 
inilah saya 'dilatih' menjadi penulis. Tulislah artikel politik dengan judul yang mengundang decak kagum. Jangan heran hater/lovers akan segera nimbrung di artikel semacam ini. Dan kadang malah saya yang membuat artikel terkekeh sendiri melihat gontok-gontokan di kolom komentar. Tapi itulah dinamika aspirasi pro-kontra satu isu.
Sumber: www.quotesfrenzy.com
Ketiga, karena banyak blog competition di Kompasiana. Tak ayal hal ini pun mengundang banyak orang ingin bergabung di sini. Hadiahnya pun lumayan daripada menulis artikel di blog denganrate blogger yang standar. Nama-nama besar produsen produk dan jasa sudah pernah membuat blog competition. Dari pihak swasta maupun instansi pemerintah daerah dan pusat juga pernah memajang blog competition mereka. Hebat.

Sudah sering kali saya pun ikutan blog competition. Sayang seribu sayang, tidak pernah menang. #CurCol. Hadiah yang benar-benar pernah saya terima dulu adalah sebuah printer plus scanner. Saya sangat bersyukur sekali menjajal dan mereviewnya. Printer gratis dan 
hanya 'dibayar' 2 tulisan membuat saya sendiri heran. Kata-kata yang saya buat mewujud dalam bentuk printer

Keempat, karena Kompasiana dianggap referensi 'valid' karya ilmiah. Mungkin hal ini masih tentatif untuk parameter ilmiah. Namun artikel saya sendiri sudah hampir 4 kali dijadikan referensi karya ilmiah. Saya Google akun nama dan muncullah beberapa PDF anstrak dan konten lengkap karya ilmiah dari beberapa universitas di Indonesia yang mengutip artikel saya. Membanggakan tentunya. 

Artikel yang kita buat dianggap memiliki indikator 'berisi'. Dan wajar jika mahasiswa atau peneliti mengutip artikel kita. Dan dalam hal ini tentu harus ada link di mana artikel kita ditaut. Sebuah konvensi yang sama-sama menguntungkan. Walau ada juga artikel ilmiah yang salah mengutip nama saya menjadi Lukmato. #NggaApa2

Kelima, karena Kompasiana adalah keluarga Indonesia. Ini yang saya rasakan saat jauh dari tanah air. Dengan Kompasiana, muncul rasa memiliki tanah air air yang lebih banyak. Banyak tulisan Kompasianer di luar negri yang inspiratif. Artikel mereka memberikan analogi, saran, kritik untuk negri sendiri. Dan semua untuk membangun negri sendiri tentunya.

Dan kolom Kompasiana pun menjadi ajang 'silaturahim' Kompasianer. Tidak perlu formal-formal sekali dalam berkomentar. Namun juga harus menjaga etika yang biasanya kita lakukan saat mengobrol saja. Ada pula komentar lucu dan sarkas. Tapi itulah dinamika 'keluarga' Indonesia di Kompasiana. Kompasiana adalah gambaran kecil Indonesia.

Pada akhirnya, sungguh ingin saya hadir Kompasianival sekali waktu. Mungkin banyak penasaran wajah saya seperti apa? Mungkinkah ganteng atau menawan? #Halah. Ingin merasakan bangganya menjadi orang Indonesia di Kompasianival. Berjumpa dan bertegur sapa dengan Kompasianer dari segaa penjuru Indonesia dan dunia, mungkin. 

Dan tentunya ingin terus bersumbang tulisan untuk Indonesia. Walau sederhana atau malah berkesan sangat subjektif. Namun inilah perspektif saya sebagai anak bangsa untuk negerinya. 

Salam,

Wollongong, 14 November 2016

11:00 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)

Sunday, November 13, 2016

Ingat, Beasiswa Bukanlah Hadiah

Ingat, Beasiswa Bukanlah Hadiah

Ilustrasi. Shutterstock
'Beasiswa bukan hadiah.'
Sebuah frasa yang sejak saya menjadi awardee dari institusi pemerintah selalu saya camkan di dalam hati. Bukan coba membebani diri, namun memberi sedikit pengingat seiring saya menempuh studi di negara orang saat ini. 

Mungkin saja saya khilaf jika menganggap beasiswa adalah hadiah. Beasiswa adalah 'hak saya' karena saya pintar. Menjadi 'jatah' saya karena saya berprestasi. Atau merupakan 'hibah' buat saya yang mengabdi pada satu bidang setelah bertahun-tahun. Semoga saya dijauhkan dari berfikiran demikian.

Coba saya analogikan dengan orang-orang yang sekolah di luar negri dengan biaya sendiri. Biaya sendiri baik dari pribadi karena bekerja atau dana berasal dari orangtua. Sifat sentripetal dihasilkan dari sekolah biaya sendiri. 

Maksudnya, tanggung jawab yang ada terfokus pada diri sendiri dan orangtua yang membiayai. Orangtua harus wajib tahu hasil tiap semester misalnya. Atau ada motivasi intrinsik untuk mendapat nilai diatas 80 demi mengejar karir di masa depan. 

Berbeda dengan sifat beasiswa yang sentrifugal. Beasiswa seperti ini saya pikir akan melibatkan dan mempengaruhi banyak orang. Beberapa pihak tersebut seperti:
  1. Pemerintah/institusi; Saya harus mempertanggung jawabkan hasil pra, whilst dan paska studi kepada pemerintah/institusi. Sebelum mendapat beasiswa ada seleksi ketat. Donor beasiswa tentu tidak akan memberi kepada sembarang awardee. Integritas menjadi salah satu poin penting yang diukur. Tentunya saat studi, hal akademis dan non-akademis menjadi tolok ukur integritas yang sudah diukur sebelumnya. Akhirnya, saat studi selesai impact apa yang awardee tersebut bisa dikontribusikan ke negara, institusi tempat bekerja, dan masyarakat secara luas. 
  2. Sekolah/institusi tempat belajar; Sekolah/institusi ini bisa di dalam dan luar negri. Sudah bisa pasti sekolah/institusi memiliki ekspektasi tinggi saat menerima awardee beasiswa. Mereka tahu awardee sudah diseleksi ketat oleh pemerintah/institusi donor beasiswa. Tentu 'standar' atau benchmark awardee juga. Intinya, awardee adalah orang-orang pintar dan berprestasi. Impact untuk sekolah/institusi yang menerima awardee seperti ini adalah prestasi riset/akademis/non-akademis juga tinggi. Bagi sekolah di luar negri bisa memberi mereka data/cultural awareness dari negara awardee. Dan secara ekonomis tentunya revenue. Soal data/riset soal negara awardee, pemegang beasiswa harus menjamin sensitifitas data/riset dijamin oleh pihak kampus. 
  3. Tempat bekerja/institusi profesi. Tentunya tidak semua awardee adalah fresh graduate. Pada program Ph.D, banyak awardee sudah berprofesi di PTN/PTS/BUMN/Swasta asing. Tentunya menerima beasiswa berdampak pula pada tempat mereka dan saya bekerja. Institusi ini berharap kita mendapat banyak hal yang bisa di-share dan diadaptasi di negara atau institusi sendiri. Tentunya hal yang positif dan membangun. Walau impact yang timbul tidak diharapkan spontan, namun indikasi kemajuan sejak awardee kembali bekerja tentu diharapkan. Percuma jika sesusai awardee kembali bekerja di institusinya kemudian membaur dan masuk ke dalam sistem yang lama. Tanpa ada kemajuan berarti dan nyata. Menurut saya pribadi, percuma saja studi jauh-jauh namun tidak ada impact atau sekadar indikasi kemajuan yang terjadi.
  4. Orangtua/keluarga awardee. Orangtua mana yang tidak bangga anaknya mendapat beasiswa? Dan serupa biaya dari orangtua, awardee wajib bertanggung jawab kepada orangtua atau keluarga. Mungkin tidak secara formal memberi laporan tiap semester, namun endurance/daya tahan dan kelulusan menjadi bukti. Saya sendiri harus bisa dan wajib menyesuaikan gaya belajar di tempat studi saya. Gaya belajar autonomous dan critical thinking dominan di negara Barat. Hal yang saya kira tidak semua PT di Indonesia yang menerapkan. Teacher-centered dan spoiled (manja) saya kira masih banyak terjadi, bahkan sampai tingkat perguruan tinggi. Dan lulus juga menjadi bukti kita berhasil. Karena banyak teman dan rekan bercerita kalau studi mereka tidak selesai. Dan banyak hambatan baik internal dan eksternal yang terjadi. Sangat disayangkan memang.
  5. Masyarakat pada umumnya. Baik orang yang saya kenal atau tidak. Jika mereka tahu saya penerima beasiswa mungkin ada pertanyaan terbersit dalam hati mereka. Apa yang sudah kamu berikan untuk negara/masyarakat? Kamu kan dibiayai negara kuliahnya? Ingin dan harapan saya hanya, sebelum mereka bertanya demikian sudah ada hal yang mungkin kecil bisa dirasakan orang banyak. Tidak perlu muluk-muluk riset untuk mengkoloni planet Mars misalnya. Namun bersumbangsih opini dan aspirasi di ranah profesinya sendiri mungkin menjadi indikasi awal kontribusi. Tentunya dalam diri setiap awardee, ada keinginan mereka untuk bermanfaat bagi nusa dan bangsa. Sebuah klise yang orangtua kita ucap dulu saat ditanya cita-cita sejak SD. Yang saya kira menjadi doa terwujud saat ini dan nanti.
Tentunya, beasiswa bukan hadiah.

Dengan biaya hidup yang tinggi di negeri orang. Atau dalam konteks sekolah di negeri sendiri, kuliah tidak mengeluarkan biaya pribadi. Kadang terbersit betapa enak dan 'sejahteranya' awardee. Terus saya coba ingatkan diri, jika beasiswa bukan cuma-cuma diberikan pemerintah/institusi. Ada hal yang harus dibuktikan. Pihak donor beasiswa tentu berharap banyak pada awardee seperti saya. Apalagi jika menyangkut beasiswa negara.

Jika kuliah biaya sendiri bertanggung jawab ke ibu kandung. Maka kuliah berbeasiswa negara bertanggung jawab ke ibu pertiwi. Ke negara yang sudah mau menjaminkan investasi berupa biaya kuliah ke saya sebagai pribadi yang dianggap layak menerima beasiswa. Banyak pihak yang berharap pada saya. Beban yang ada ini bukan seharusnya menjadi hambatan. Namun tantangan yang harus saya jawab.

Sudahkah saya memberi sesuatu untuk negara? 

Salam,

Wollongong, 13 November 2016

09:00 am
(Reblog dari Kompasiana disini) 

Saturday, November 12, 2016

Pixel, Substitusi Ara dan HTC serta Pesaing iPhone 7

Pixel, Substitusi Ara dan HTC serta Pesaing iPhone 7

Google Pixel phone - foto: appleinsider.com
Akhirnya, Google merilis smartphone miliknya sendiri. Bukan "numpang" nama pada Nexus atau HTC atau LG. Tapi benar-benar smartphone Google sendiri bernama Pixel. Boleh dikatakan Pixel adalah substitusi Ara dan HTC secara detail. Smartphone besutan asli Google ini 'di-benchmark' premium. Namun, di pasar apakah Pixel bisa bersaing dengan iPhone 7?

Jeroan Pixel cukup mumpuni. Disematkan RAM 4 GB dan ROM 32 GB, Pixel didorong CPU Adreno 530 pada chip Snapdragon 821 dengan CPUquad-core 1,6 Ghz. Layar 5,5 inchi dengan Gorilla Glass 4 menampilkan 16 juta warna dengan kepadatan pixel 534. Kamera belakang ber-mega pixel 12 dengan kamera depan 8 MP. Dengan shutter f/2/0 cukup lumayan karena dilengkapi laser auto fokus. Fitur metal unibody dibuat splash dan dust proof. Dikabarkan fitur fast-charging bisa mengisi penuh baterai cukup 15 menit. 

Sepertinya Google Pixel adalah substitusi dari Ara phone. Ara phone adalah smartphone modular atau bongkar-pasang. User bisa memakai part atau bagian yang penting saja sesukanya, Namun project Ara phone dihentikan pada September bulan lalu tanpa alasan pasti. Persis seperti Google Glass yang terhenti di medio 2015 lalu. Selengkapnya dapat dilihat di artikel tentang Ara Phone dan Google Glass. 

Pixel sejatinya adalah hasil karya engineer HTC. Namun, HTC dengan skala produksi yang tidak banyak. Serta banyaknya keluhan user, Pixel sepertinya menjadi jalan keluar Google. Walau HTC sudah mengeluarkan debut HTC 10, namun sepertinya kalah saing dengan iPhone7. Ditambah, menurunnya saham HTC di pasar membuat HTC berada di ambang gulung tikar. Google Nexus pun sepertinya sudah usang. Dengan update Android yang cenderung lama, Pixel akan dijalankan dengan Android Nougat.

Dengan dirilisnya iPhone7, apakah Pixel bisa menjadi pesaingnya? Secara resmi, PIxel akan dirilis pada tanggal 20 Oktober nanti. Sedang Apple sudah sejak 3 bulan lalu sudah membuat promosi besar untuk iPhone7. Dalam hal promosi, Pixel sepertinya kalah saing dalam hal timing dan durasi. Namun, untuk pasar smartphone pada umumnya, kebaruan menjadi penting. Saat orang melihat banyak cela di iPhone7. Mungkin Pixel adalah jawaban untuk mendapat smartphone yang lebih baik.

Dalam video promo Pixel bahkan menyinggung iPhone7. Saat iPhone7 menghilangkan jack 3,5 mm dan membuat earbud untuk wireless audio. Pixel masih menyematkan audio jack 3,5 mm ini. Dalam bermain warna unibody, Pixel memberi opsi warna yang cukup nyleneh Really BlueQuite Silver, dan Very Black. Dan untuk harga, Pixel tidak akan lebih mahal dari iPhone7. Diprediksi kisaran Pixel akan berada di $650. Jauh di bawah iPhone7 yang berada di kisaran $1,000.

Dan bagi pengguna Android, Pixel menjanjikan kebaruan. Baik dari segi brand, OS dan spec. Namun dalam hal daya saing, apakah Pixel hanya sekadar proyek seperti Google Glass yang berhenti di tengah jalan? Kita tunggu saja.

Referensi: cnet.com | gsmarena.com | theverge.com

Salam,

Wollongong, 12 November 2016

03:00 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)

Friday, November 11, 2016

Menyelami Tragedi 'Salah Kamar'

Menyelami Tragedi 'Salah Kamar'

Sumber ilustrasi: alluremedia.com.au
"Aduh, salah kamar!"
"Maaf salah kamar."
"Eh kok ke share di grup ini? Maaf"

Pernah Anda mengetik salah satu pesan diatas? Atau apapun yang Anda ketik ketika mengalami tragedi 'salah kamar'. Bukan makna sebenarnya 'kamar' secara fisik. Kamar di sini berarti grup, kanal, team, atau apapun di platform medsos kita. Grup yang berjejelan di WhatsApp misalnya. Atau deretan kanal di Telegram. Atau rentetan chat grup di FB Messenger. Atau apapun itu, mungkin sekali dua kali waktu pernah kita atau anggota grup sambangi dengan tragedi 'salah kamar'.

Dan menjadi fenomena mahfum di era gadget yang semakin personal seperti sekarang. Berinteraksi di platform chat lebih memberi sensasi buat kita. Dan tidak bisa dipungkiri bagi techno geek seperti saya, punya banyak grup memberi dunia saya lebih berwarna. Namun dalam beberapa hal juga memberi unsur 'ketidaknyamanan'. Baca artikel saya Bahagia Kekinian Dilegitimasi Media Sosial.

Oke kita kembali ke tragedi salah kamar. Mari kita longok sejenak apa sih yang sebenarnya meng-ignite salah share, pencet, atau select ini. Setidaknya ada tiga hal yang saya sudah berhasil tangkap. Hal-hal berikut bersifat tentatif. JIka ada hal yang lebih valid dan ilmiah, silahkan saja diberikan di kolom komentar. Dan saya merangkumnya ke dalam istilah Triple Over.

Over pertama adalah over number of groups. Jika sudah menginstal media sosial, minimal Facebook, akan banyak orang yang memasukkan kita ke grup buatannya. Lalu obrolan bersambut. Kadang grup juga bisa sepi. Dan akhirnya ada grup-grup gosip kecil juga dibuat. Lambat laun, grup akan semakin banyak. Dan saking banyaknya, kita akan lebih memilih grup yang lebih seru, serius, atau blak-blakan saja. Preferensi ini memang personal. Tapi banyak juga penyebabnya. Baca tulisan saya Inilah Hal-Hal Yang Membuat Grup Chat Ramai dan Kok Grup WA-ku Sepi?

Over kedua adalah over excited. Saat ada meme, berita, atau posting yang begitu seru, men-share bisa salah kamar. Karena kita begitu senang, marah atau bersemangat, sampai lupa harusnya dishare di grup 'The Gokilers', ternyata berakhir di grup tempat bekerja 'PT Angin Ditolak', misalnya. Betapa malu dan salting tentunya saat meme, berita, atau posting salah kamar. It's fine jika postingnya serius atau 'netral' dalam hal politis, agama, atau bahasa. Jika meme yang kadung di-share berkonotasi negatif, tentu kita langsung meminta maaf. Dan mau tidak mau, beberapa aplikasi tidak bisa me-retracted (menarik kembali) post yang sudah di-share.

Over ketiga adalah over gloomy. Ini masih terkait over kedua, namun berlawanan 
secara nature-nya. Saat kita begitu sedih, galau, dan kalut pikirannya, bisa pula kita ketik atau chat di kamar berbeda. Mungkin pula sudah 3 paragraf diketik saat sudah dipost, baru tahu curcolnya disebar di grup alumni. Inginnya curhat di grup "Rumahku Surganya" yang berisi 5 orang. Eh malah terlanjur di-post di grup "Alumni Kampus Biru Merona" berisi 250 orang. Perasaan akan beralih dari kalut menjadi sangat kalut. Walau mungkin ada anggota grup yang bersimpati, namun muka merah tidak bisa ditahan tentunya. 
Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan untuk meminimalisasi 'salah kamar'? Ada beberapa hal yang bisa saya sarankan.
  1. Me-mute notifikasi beberapa grup/kanal/chat grup yang tidak 'begitu penting'. Beberapa platform sosmed bisa melakukan ini. Namun setting untuk durasi harus selalu kita cek,
  2. Melihat isi berita/meme/posting dengan teliti. Karena kadang yang men-share posting sendiri tidak membaca apa yang di-share. Alih-alih berbagi hikayat damai, malah jadi alamat ramai di grup,
  3. Bersabar dalam men-share posting. Ya, sering-seringlah lakukan cek-n-ricek sebelum berita/meme/posting copas disebar. Dalam hal ini mengontrol emosi dan perasaan. Karena dua over tadi bisa jadi mengurangi fokus kita #BukanKurangAqu*,
  4. Pastikan ada paket data/wifi/koneksi internet. Karena sudah pasti tidak bisa share/post segala hal tanpa kebutuhan dasar platform sosmed ini. #Hehehe
Semoga bermanfaat.

Salam,

Wollongong, 11 November 2016

11:28 pm 
(Reblog dari Kompasiana disini)

Friday, October 21, 2016

Yuk Kita Peringati Hari Diciptakannya Emoticon

Yuk Kita Peringati Hari Diciptakannya Emoticon

Emoji People - foto: thehandsindia.com
Anda sering menggunakan emot :-) di kolom komentar? Di pesanWhatasapp? BBM? Instagram, Facebook, Twiter, dsb? Sampai saat ini ada ribuan emoticon atau emot di dunia sosmed dan internet. Namun tahukah Anda siapa 'pencipta' smiley? Dan mengapa smiley diciptakan?

Tahukah Anda emot :-) sudah berusia 33 tahun? Tepatnya pada tanggal 19 September 1982 pukul 11:41 malam, emot :-) diciptakan. Dan pencipta smiley adalah seorang profesor asal US, Scott E. Fahlman. Beliau adalah staf pengajar di Carnegie Mellon Pittsburgh US. Dengan simbol yang jika dilihat perspektif 90 derajat menjadi senyum, :-) pertama kali ia kirim melalui email ke rekannya.

Alasannya cukup sederhana. Ia ingin membedakan mana email yang serius dan mana yang bukan. Saat itu ia sedang ada dalam diskusi membahas tentang fisika. Dalam emailnya tersebut Fahlman menulis, "I propose the following character sequence for joke marker. :-)
Scott E. Fahlman - foto: dailymail.co.uk
Sebelum 2002, Fahlman masih diragukan jika dialah pencipta smiley. Namun berkat kerjasama tim dari Microsoft, email yang memuat smiley ini ditemukan. Sebelumnya, ada yang menemukan smiley ‘;)’ di teks pidato Abraham Lincoln di tahun 1862. Namun ahli tata bahasa menganggap ini hanya typhological error atau typo untuk tanda ‘);’.
Dan sejak 1980-an, emot pun mulai dipergunakan secara global. Sampai saat ini ada 3 jenis besar emoticon dalam ASCII atau American Standard Code for Information Exchange. 3 tipe ini adalah western style (Latin), eastern style (Kaomoji) dan 2 channel type.

Yang pertama adalah Latin-type. Seperti emot :-) ciri utamanya harus dilihat dengan perspektif 90 derajat. Sedang yang kedua adalah Kaomoji (kao = wajah) atau Japanese emoticon. Ciri utamanya adalah karakter tidak perlu dilihat 90 derajat seperti (>.<). Sedang 2 channel yang juga sub-type adalah Kaomoji. Bedanya dibuat dengan karakter double-byte, seperti m9(^Д^).

Karena kreativitas dan ciri khas emot, beberapa emot memiliki karakter kuat. Seperti ~(_8^(I) untuk Homer Simpson yang ditemukan tahun 2007. Atau yang lebih umum seperti <3 em="" menunjukkan="" nbsp="" style="box-sizing: border-box;" untuk="">heart
 atau love. Di Kaomoji mungkin lebih unik lagi, seperti >゜))))彡 untuk menggambarkan ikan.
Monalisa Smili in Emoji - ilustrasi: gizmopod.com
Di komputer seperti Microsoft Word, emoji :-) akan langsung berubah menjadi bulat dengan senyum. Hal ini karena by-default, ASCII sudah mengkode karakter tadi untuk otomatis berubah. Begitu pun yang akan terjadi di platform seperti email, chat di sosmed, aplikasi smartphone dan blogEmot ini akan berubah lebih berwarna dan beragam di platform aplikasi.

Seperti menjadi sebuah konvensi tidak tertulis, emot mewakili perasaan. Alih-alih menulis perasaan dengan kata atau kalimat, emot :-( sudah menggambarkan kesedihan. Tidak heran emot atau emoticon atau emoji berkembang sangat pesat. Karena sifatnya yang padat makna dan efisien, emot akan terus beragam. 
Selamat ulang tahun :-) 
Here’s a birthday cake for you...
           , , , , ,    
        _|||||_   
      {~*~*~*~}  
    _{*~*~*~*}_ 
      `-----------`

Salam,

Wollongong, 21 Oktober 2016

02:52 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)