Saturday, May 14, 2016

Sini Saya Nasehati Kamu




Ada kalanya, saya merasa tua memberi wejangan untuk mahasiswa. Merasa bak seorang yang memiliki banyak pengalaman. Dan dengan posisi dan petuah yang sudah didapat, bisa menasehati siapapun. Memang baik memberi nasihat. Namun kadang jika saya bercermin, saya mungkin tidak lebih baik dari yang saya nasehati. Atau malah memang tidak lebih baik dari yang saya beri nasehat. Semakin panjang lebar memberi nasehat, semakin saya malah merunduk merenung. Benarkah apa yang saya ucapkan tadi baik untuk mereka. Sedang saya sendiri kadang tidak bisa berbuat baik seperti yang saya ucapkan.

Easier said than done. Memang mungkin lidah tak bertulang. Atau mungkin ego dengan dihiasi jabatan, senioritas dan usia mudah saja memberi nasehat. Kalau sudah berumur, memiliki jabatan juga senior wajarlah memberi nasehat. Tentunya akan menjadi hal yang umum diterima. Sebuah konvensi maya yang jamak diterima oleh sebuah akal. Mau tidak mau semua di dengar. Dan ada baiknya apa yang dinasehati dilakukan. Jika tidak, maka akan ada 'mental burden' atau beban mental. Jika ada keburukan yang terulang, maka jelas ada nasehat yang tidak dijalankan.

Baik memang baik isi sebuah nasehat. Dan tidak akan diterima akal sehat jika nasehat berisi kejahatan. Namun sebuah refleksi akan terus 'menghantui' si pemberi nasehat. Benarkah apa yang diucapkan dilaksanakan si pemberi nasehat? Saya pun kadang merasa tidak pantas memberi nasehat. Ah, siapa saya memberi nasehat. Apa nasehat saya nanti didengar. Karena saya fikir, saya harus baik dulu sebelum saya bisa memberi kebaikan kepada orang lain. Salah-salah saya dianggap sok suci jika memberi nasehat tapi toh melakukan hal yang buruk.

Mungkinkah nasehat adalah katarsis atas ketidakmampuan seseorang. Mungkin saja ada orang yang menasehati namun orang terdekat padanya malah berbuat kebalikan. Isi nasehatnya sangat baik dan menginspirasi. Namun keluarga, dan sanak saudaranya berbuat kebalikan dari isi nasehat. Si pemberi nasehat seolah mencari pelampiasan atas ketidakmampuannya membenahi mereka, dengan memberi nasehat pada orang lain. Dan si pemberi nasehat pun merasa hebat. Merasa dipandang usia, jabatan, dan kepiawaiannya dalam menasehati. Singkatnya, setidaknya ada yang mendengar nasehat si pemberi nasehat. 

Saya malu dan kadang terus sungkan memberi nasehat untuk orang lain. Biarlah perbuatan, perkataan dan perilaku saya yang secara tidak langsung menjadi contoh. Because action speaks louder than words. Perbuatan akan lebih mengena daripada wejangan secara verbal. Walau saya pun yakin, wejangan verbal pun baik. Dengan dasar, perbuatan si pemberi nasehat terlihat nyata dan baik adanya. Dampaknya, saya fikir akan lebih hebat daripada sekadar menasehati secara verbal.

Mungkin ada 'ruh' dalam nasehat yang bisa tertangkap hati orang yang diberi nasehat. Karena ruh ini menyiratkan kepastian dan kejujuran. Ruh ini berisi kepastian, jika nasehat yang diberi berasal dari orang yang tepat. Seseorang yang benar-benar bisa dipegang omongan dan perbuatannya. Ia tidak cuma menggelar wacana, namun aplikasinya. Mungkin ruh itu terucap secara halus oleh hati si pemberi nasehat. Dan nasehat yang berisi 'ruh' ini akan lebih mengena ke hati.

Dan saya... saya sendiri bukan pemberi nasehat yang baik. Saya cuma bisa sekadar berwacana tanpa ada aplikasinya. Biarlah saya terus berusaha memperbaiki diri. Jika sudah baik, saya tetap yakin saya kurang pantas memberi nasehat. Jika ada yang meminta nasehat, saya coba berikan. Jika tidak ada, maka masih ada yang tidak baik pada diri saya.

Salam,

Solo, 14 Mei 2016

03:00 pm
(Reblog dari Kompasiana disini)

Author:

0 Comments: