Monday, December 29, 2014

Sampai Kapan Arogansi Motor Gede Di Jalan Berakhir?

(liustrasi: fineartamerica.com0
(liustrasi: fineartamerica.com0
Hari kemarin dan hari ini, saya bolak-balik Solo-Jogjakarta menemani mahasiswa lomba Debat di UMY. Dan seperti sudah umum diketahui, jalur Solo-Jojga selalu padat dan ramai ketika weekend tiba. Apalagi liburan hari Muharram 14536 H yang tepat jatuh pada Sabtu 25 Oktober ini. Jalur setelah Bandara Adi Sutjipto sudah mulai padat merayap. Penuh dengan mobil pribadi atau motor yang sepertinya akan berlibur akhir pekan. Ditambah lampu selepas flyover Janti, yang kadang membuat antrian mobil mengular. Terutama selepas pukul 3 sore kemarin. Jam pulang kantor plus arus pelancong yang hendak ke Jogja atau sekitarnya, mulai menumpuk. Dan beberapa kali bersliweran dengan arogan dan angkuhnya, rombongan bikers.

Rombongan motor gede yang biasanya berbondong-bondong dengan negbut dan arogan 'menguasai' jalan raya. Ada rombongan motor gede yang memang ber-CC besar. Mulai dari Harley Davidson sampai Ducati ada dalam rombongan. Raungan mesin ber-CC besar ala Harley tentunya tidak asing. Apalagi jika sudah bersatu dalam kelompok. Akan ada satu atau dua polisi atau voor-rijder yang mengiringi. Ditambah sirene meraung-raung sepanjang jalan. Plus speaker phone yang mengusir dan menyingkirkan pengendara lain yang menghalangi rombongan moge ber-CC besar. Seolah jalan raya ini milik mereka. Lampu merah diterabas. Semua agar semua motor mampu melaju diatas 80 km/jam atau lebih. Entah mobil atau motor, semua yang menghalangi akan disingkirkan.

Sebenarnya, bukan saja moge ber-CC diatas 1000 CC yang juga arogan di jalan. Jika sudah beramai-ramai dan banyak rombongan moge ber cc 250 seperti Kawasaki Ninja, atau bahkan ber-CC 130 seperti RX-King, mereka menjadi raja jalanan. Menerabas lampu merah atau menyingkirkan pengendara lain di jalan, bukan lagi rahasia. 

Walau tidak menggunakan 'jasa aparat'dengan voor-rijder, biasanya mereka memiliki tim voor-rijder sendiri. Dengan sirene meraung-raung dan beberapa motor. Mereka 'mensterilkan' satu lajur demi rombongan moge (mogean) mereka. Momok arogansi dan show of force ala pengendara moge CC sedang ini, menjadi umum ditemui. Terutama di jalur antar kota ditambah waktu weekend yang cukup lama. Merekalah raja jalanan. Aparat seolah diam atau memang takut?

Fenomena Pembiaran Touring Urakan Dengan Moge

Saya yakin, Anda pun pernah menyaksikan atau bahkan menjadi korban para pengendara atau rider moge yang touring ini. Sebuah fenomena umum yang seolah menjadi pembiaran oleh pihak aparat. Dan yang sempat saya saksikan. Bahkan aparat ikut dalam rombongan touring moge ber-CC besar. Atau voor-rijder itu adalah aparat bodong, tidak ada yang tahu pasti.

Liputan6.com, Jakarta - Kegiatan touring atau kopi darat (kopdar) kerap dilakukan oleh komunitas motor, baik di dalam kota maupun luar kota. Tak ada yang salah dengan kegiatan positif ini. Sayangnya, beberapa oknum dari komunitas motor masih saja kerap pasang aksi sok jagoan dengan tak mengindahkan etika berlalu lintas.

Salah satu contohnya terjadi pada Sabtu (30/8/2014) saat kegiatan touring dilakukan oleh sekelompok pemotor berikut. Touring tak bertanggung jawab ini dilakukan oleh pengguna motor besar saat melintas di Jalan Raya Bogor, Cibubur, Jakarta Timur. (berita: otomotif.liputan6.com)

Walau banyak para pengendara yang mengeluh atau bahkan menjadi korban arogansi mereka, tapi mereka tidak tahu kemana harus mengadu. Sedang aparat yang berada di jalan saja juga mengatur lalin agar rombongan ini bisa lewat. Prasangka pengguna jalan lain adalah iring-iringan ini juga aparat. Atau malah 'membayar'  aparat untuk mensterilkan lajur mereka. Bahkan untuk moge ber-CC sedang, kadang aparat pun hanya diam menyaksikan mereka bertindak bak raja di jalan raya. Pengendara lain pun ciut nyali jika mau menegur mereka. Pilih mengalah dengan hati dongkol, daripada kendaraan dan keselemtan diri terancam.

Orang Dewasa Tanpa Etika Di Jalan Raya

Saya yakin benar, iringan-iringan touring moge ini berisi orang-orang dewasa. Semua sudah aqil baliq untuk 
membedakan dengan mudah, mana yang baik atau buruk. Atau malah, memang memiliki prinsip hidup yang baik. LIhat saja, mereka mampu membeli moge dengan harga ratusan juta rupiah. Semua tentu didapat dengan kerja keras dan prinsip hidup yang teguh. Mereka bekerja dan berkarya dengan menganut nilai atau value dalam hidup. Dan sewajarnya, mereka akan memiliki etika. Etika yang merupakan soft-skill dalam hidup. Sebuah unggah-ungguh (sopan santun, Jawa) dalam komunikasi interpersonal dalam hidup. Begitupun di jalan raya.

Etika yang sebenarnya mudah dilakukan. Cukup dengan tertib dan mengikuti rambu-rambu jalan yang ada. Semua demi keselamatan dan kenyaman dalam berkendara. Suatu hal yang cukup sederhana yang sepertinya sulit dipahami. Jika sudah menyangkut show of force dalam satu kelompok. Aturan yang ada hanya sekadar nama dan simbol-simbol belaka. Toh, mereka punya uang untuk 'membeli' aturan mereka sendiri. Bahkan, mereka juga punya nyali untuk melanggar. Karena mereka berada dalam massa. Dimana menyulut amarah semudah membalikkan tangan. Satu diganggu, maka satu kelompok akan reaktif menanggapi.

Walau tidak semua iringan-iringan moge yang memang urakan dijalan. Dulu, pernah saya temui iringan moge yang benar-benar patuh aturan. Mereka berhenti di lampu merah. Dan ngebut saat memang jalur sepi dan lengang. Tidak membunyikan strobo atau sirene. Mereka sopan di jalan. Dan saya pun salut pada mereka. Walau moge mereka memang besar. Jiwa mereka pun adalah jiwa besar. Memiliki prinsip utilitarian yang patut diteladani. Jangan mentang-mentang motor besar. Besar pula ego dan arogansi pengendaranya.
Semoga ke depan, aparat bisa benar-benar tegas pada iring-iringan moge yang urakan.

Salam,

Tangerang,  28 Desember 2014

08:35 pm
(reblogged dari Kompasiana di sini)

Author:

0 Comments: