Saturday, May 24, 2014

Sampai Lulus, Mahasiswa Hanya Butuh Google Kok


(ilustrasi: my-fashion-school.blogspot.com)
(ilustrasi: my-fashion-school.blogspot.com)

Sungguh, seorang mahasiswa bisa lulus atas bimbingan Mbah Google. Mulai dari tugas-tugas dari dosen, sampai skripsi pun bisa dilakukan dengan Google. Dan bagi saya, ada tantangan ngeri-ngeri sedap yang saya hadapi. Sebagai penyuka bidang ilmu bahasa Inggris, jujur penguasaan bahasa Inggris lebih 'baik' mahasiswa. Mulai dari vocabulary sampai flow of ideas suatu makalah tugas, baik dan menarik sekali untuk dibaca. Dan ketika saya minta mereka untuk menulis saja satu kalimat lengkap bahasa Inggris, amburadul semua. Dan mengakulah mereka jika tugas makalah hanya sekadar search+copas+print Mbah Google.

Fenomena ini ngeri untuk saya. Karena kecenderungan meng-copas bisa saja menjalar sampai penyusunan skripsi mereka. Jatuhnya, mereka melakukan plagiasi. Walau di kampus saya sudah ada fasilitas online untuk mengecek plagiasi dengan program Turnitin. Namun aplikasinya secara faktual masih minim. Soft file yang dipindai tingkat plasgiasinya masih tidak semua fakultas melaksanakan. Dan faktanya untuk jurusan tempat saya mengajar. Mahasiswa baik dalam skill speaking dan listening, namun lemah dalam structuredan writing.

Walau secara umum, jurusan Bahasa Inggris dianggap 'keren', di lapangan banyak mahasiswa yang shock. Ternyata yang mereka pelajari jauh dari yang namanya kerena. Mata kuliah content yang semakin dalam pemahamannya membuat mahasiswa mumet. Kadang merevisi sampai dua-tiga kali. Dan tidak heran banyak yang akhirnya menjalani kuliah dengan bimbingan mbah Google. Semua tersedia disana. Apalagi menyoal makalah, presentasi, bahkan sampai skripsi.

Hasil dari plagiasi sederhana, (search+copas+print), ini menjadi pola yang umum. Karena semasa SMA hanya mendapat bekal seadanya dalam bahasa Inggris. Kadang mahasiswa menjalani kuliah cukup mengikuti arus. Kalau temannya mengerjakan tugas makalah, satu sumber tinggal mengganti nama dan NIM. Atau malah karena masih ada beberapa orangtua yang memaksa anaknya untuk masuk kuliah jurusan bahasa Inggris. Karena prospek yang cerah saat bekerja nanti. Belum tentu. Karena semua kembali kepada skill mahasiswa sendiri di lapangan.

Ditambah lagi minat baca yang (sangat) minim mahasiswa. Menjadikan pola plagiasi mewabah. Konyolnya, kadang makalah yang dibuat mahasiswa dengan tema tertentu seakan awut-awutan. Antara judul dan isi sama sekali tidak nyambung. Mentang-mentang artikel di suatu website serupa judulnya, kadang sama sekali tidak dibaca isinya. Semena-mena karena berbahasa Inggris, dengan judul mirip di-copas mentah oleh mahasiswa. Semua dilakukan karena kepepet dan tidak membaca isi. Ya sudah, nilai makalah tugas pun apa adanya.

Sehingga ada kesan dosen adalah pengedit dan penilai makalah di internet. Yang banyak disodorkan mahasiswa adalah hasil copas+print semua yang ada disana. Beberapa dosen pun saking malasnya memahami isi tugas mahasiswa, hanya memberi nilai. Karena bahasa Inggris yang ada dalam makalah jauh berbeda dalam keseharian interaksi dosen-mahasiswa. Walau tidak semua, ada beberapa mahasiswa (bisa dihitung jari) yang memang mengerjakan tugas dengan ide sendiri. Saya sangat apresiasi karyanya, walaumorat-marit (acak-acakan, Jawa). Setidaknya ia jujur pada diri sendiri.

Atau mungkin secara makro pendidikan menengah yang salah kaprah dalam memfasilitasi siswa dalam belajar bahasa asing. Yang saya tahu, banyak mahasiswa saya diajarkan dengan model konvensional (baca: disuapi). Belajar bahasa serupa belajar Fisika. Semua dengan rumus dan pola. Walau sejatinya bahasa adalahexposure (pemaparan) dan practice (latihan). Bukan sekadar menjelaskan dan mengerjakan LKS. Apalagi setelah itu gurunya keluar sekolah dan belanja di pasar. Gawat ini.

Dan latahnya lagi, UN menjadikan bahasa Inggris sebagai mata uji. Salah kaprah kiranya penentu kebijakan menetapkan bahasa asing menjadi penentu lulus. Lha wong bahasa asing bukan bahasa kedua. Bahasa daerah yang notabene dijadikan lingua franca sehari-hari malah dimarjinalkan. Sifat asing bahasa Inggris seolah menjadi pembenaran mata uji bahasa Inggris di-UN-kan. Buat apa, toh bahasa Inggris masih asing. Semua lini kehidupan di Indonesia masih menggunakan bahasa Indonesia. Beda kiranya di Singapore atau Malaysia. Disana bahasa Inggris adalah bahasa kedua.

Dan sisi 'superioritas' bahasa Inggris dengan segala sifat globalnya menyingkirkan bahasa daerah. Seolah bahasa Inggris adalah pihak kolonial yang disanjung dan diangkat. Akibatnya, perspektif 'keren' mahasiswa pada bahasa Inggris menjadi sesat. Kerennya hanya permukaan (tuturan), namun saat menyelami lebih dalam kebanyakan mereka akan shock. Literasi asing di internet pun dicari. Dengan peran Mbah Google yang kian hebat mahasiswa dimanjakan. Dosen mereka adalah Mbah Google. Karena berbahasa Inggris secara default. Dan berisi banyak literasi berbahasa Inggris. Semuanya tinggal search+copas+print.

Mungkin ini sekadar pengalaman saya pribadi. Ada mungkin pengalaman Kompasianer sendiri?

Salam,

Solo 23 Mei 2014

02:33 pm

(reblogged from Kompasiana, Mey 24 2014, 09:36 am)

Author:

0 Comments: